Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa kalangan menilai proses pemilihan Presiden Filipina pada 2022 lalu memiliki kemiripan dengan dinamika pilpres di tanah air. Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.
Kemenangan Bongbong tidak bisa hanya dilihat dari dinamika semasa kampanye pilpres Filipina tahun 2022 lalu. Joget-joget yang ia lakukan, kampanye medsos secara masif, terstruktur dan sistematis serta penghindaran mengikuti debat-debat publik, memang merupakan pakem baru dalam kampanye Presiden pada pilpres Filipina. Tulisan ini merangkum percakapan personal penulis dengan beberapa sarjana politik dan aktivis pro-demokrasi yang telah berlibat sejak revolusi People Power EDSA I tahun 1986 hingga titik balik demokratisasi di negara tetangga kita. Apa yang terjadi di Filipina adalah revolusi mental, perlu menjadi refleksi bersama dan membuat langkah antisipasi.
Kembalinya Dinasti Marcos
Kemenangan spektakuler Bongbong Marcos, bukanlah terjadi dalam semalam. Kenyataannya, dinasti Marcos telah melakukan perencanaan atas serangkaian operasi politik selama tiga dasawarsa sebagai upaya untuk kembali ke jantung pentas politik nasional Filipina. Setidaknya ada lima hal yang menganulir sejarah demokratisasi Filipina dalam kurun waktu 36 tahun semenjak Ferdinand Marcos senior melarikan diri mencari suaka di Hawaii.
Hal pertama dan utama adalah upaya memutarbalikkan narasi sejarah masa kediktatoran Marcos senior semasa kurun waktu diterapkannya Martial Law pada 1972 yang berdampak pada pelanggaran HAM, skandal korupsi dan penguasaan sumberdaya ekonomi oleh kapitalis kroni. Dengan tekun, bani Marcos memproyeksikan masa kediktatoran tersebut sebagai zaman keemasan Filipina, di mana pembangunan infrastruktur, industrialisasi, dan maraknya investasi asing menjadi komoditas jualan semasa kampanye. Slogan seperti ‘lebih enak zamanku tho’ digaungkan oleh dinasti Marcos (Brookings 13 Mei 2022).
Maka tidak heran jika dinasti Marcos kemudian memilih untuk menggunakan medsos secara masif, sistematis, dan terstruktur, karena medsos tidak mengenal aturan publikasi yang mensyaratkan kebenaran fakta dan divalidasi sesuai kaidah jurnalistik. Dengan keterbukaan medsos dan media digital tim kampanye Bongbong dengan bebas memproduksi informasi bahkan propaganda memutarbalikkan sejarah kelam Martial Law.
Tidaklah mengherankan jika Bongbong tidak pernah mau hadir dalam forum dialog atau debat, karena ia tidak sanggup memberikan jawaban yang menyakinkan atas pertanyaan-pertanyaan terkait kekejaman dan keserakahan Marcos senior selama memimpin. Pun, Bongbong menghindari wawancara dengan media massa yang kritis dalam pemberitaan sesuai pakem jurnalistik. Sebagai gantinya, ia lebih memilih membuat gimmick dan berjoget agar terhindar atau menghindari diskursus publik yang substantial.
Kedua, adalah pengaburan sejarah masa kediktatoran Marcos senior. Sejarah kelam masa Martial Law sejak 1972 hingga 1986 mengakibatkan belasan ribu orang hilang, diculik, disiksa maupun dihukum tanpa melalui pengadilan yang adil, serta praktek korupsi yang dilakukan oleh pengusaha-pengusaha kroni Marcos senior yang memperoleh privilege dan keistimewaan seperti monopoli dan konsesi terutama pada sektor sumberdaya alam tidak pernah dituliskan dalam catatan sejarah. Masa kegelapan tersebut tidak menjadi bahan ajar sehingga generasi muda Filipina tidak memiliki pengetahuan akan sejarah hitam dalam perjalanan bangsanya.
Tanpa penjelasan sejarah, terutama di sekolah-sekolah kepada generasi muda, maka warga Filipina yang lahir setelah peristiwa EDSA I tahun 1986 tidak memiliki informasi tentang masa kelam tersebut. Karenanya, tidaklah mengherankan jika Bongbong dan tim kampanyenya menyasar generasi yang tidak mengalami peristiwa kelam otoritarian sebagai kelompok pemilih yang menjadi sasaran utama kampanye. Gencarnya kampanye melalui media sosial dilakukan sebagai bagian dari upaya cuci dosa masa lalu dan membuat propaganda untuk menghadirkan kembali zaman keemasan Filipina semasa Marcos senior.
Faktor ketiga, klan Marcos menikmati impunitas secara hukum dan politik. Semenjak kabur ke Hawaii dan meninggalkan tiga ribuan pasang sepatu di istana Malacanang dan menggondol kekayaan hasil korupsi, keluarga Marcos nyaris tak tersentuh hukum. Sewaktu Marcos senior meninggal, kemudian Presiden Cory Aquino memberikan pengampunan pada Imelda dan diperbolehkan kembali ke Filipina. Sejak kepulangannya pada tahun 1991, Imelda disambut bak superstar di ilocos Norte kampung halaman sekaligus benteng basis politik dinasti Marcos.
Beberapa kali dinasti Marcos diajukan ke pengadilan terkait pelanggaran HAM dan korupsi, tetapi dengan koneksi, kekayaan dan pengaruh politik, mereka terbebas dari jeratan hukum terutama terhindar dari penjara. Memang pengadilan anti korupsi (Sandigabayan) pernah menjatuhi denda ratusan miliar sebagai bukti Marcos senior melakukan korupsi, tetapi jumlah tersebut jauh lebih kecil dibandingkan kekayaan negara yang mereka jarah. Hingga kini, tidak ada satupun dari klan Marcos, bahkan ibu suri Imelda yang dipenjarakan akibat keterlibatannya dalam perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan kekayaan yang masih segudang, mereka dapat dengan leluasa berkontestasi dalam pemilu. Imelda sendiri mencoba peruntungan dengan maju sebagai kandidat Presiden pada pemilu 1992 dan 1998, walau gagal. Akan tetapi, putera dan puterinya, Bongbong dan Imee berhasil menjadi anggota parlemen dan kepala daerah dari kampung halaman mereka (Rappler.com, 25 Februari 2017).
Faktor keempat adalah kolaborasi antar klan politik. Klan politik di Filipina telah bermetamorfosis menjadi dinasti karena memonopoli kekuasaan daerah selama beberapa generasi. Tentu saja dalam menjalankan pemerintahan di daerah dan menjadi perwakilan di pentas politik nasional, para dinasti menggunakan beragam instrumen kekuasaan dan kekerasan agar tetap bercokol. Praktek penyalahgunaan kekuasaan secara masif ini tentu saja menjadi titik lemah bagi para trapo (traditional political clan) (The Guardian, 20 Mei 2022).
Slogan kampanye unity (persatuan), adalah bentuk kompromi sekaligus kolaborasi antar dinasti politik. Bongbong Marcos dan Rodrigo “Digong” Duterte berhasil meyakinkan para trapo berkolaborasi untuk memenangkan Bongbong dan Sara sebagai jaminan kejahatan publik yang mereka lakukan akan mendapatkan impunitas. Sebaliknya jika Leni Robredo memenangi Pilpres, impunitas para trapo akan terancam. Selain itu, ruang gerak mereka dalam memanipulasi kekuasaan, menggunakan keistimewaan dan pengaruh politik menjadi lebih terbatas, seperti pada masa Presiden Noynoy Aquino, sebelum masa Duterte.
Bagi dinasti Marcos, memenangkan Pilpres adalah momen untuk mencuci dosa dinasti tersebut semasa martial law. Sedangkan bagi Duterte, dengan Sara memenangkan kursi wapres adalah jaminan pelanggaran HAM berupa eksekusi tanpa proses pengadilan (extra judicial killing) ala petrus masa Orba, dalam bingkai kebijakan war on drugs, tidak diproses untuk sementara waktu (The Guardian, 20 Mei 2022). Tentu saja, pada pilpres berikutnya, Sara berpeluang besar menjadi Presiden, mengingat Bongbong tidak akan bisa ambil bagian dalam kontestasi elektoral.
Kelima, melenggangnya Bongbong dan Sara pada kontestasi pilpres lalu, tidak bisa dilepaskan dari langkah sistematis dan terstruktur yang dilakukan oleh Duterte dalam membonsai oposisi, baik oposisi dari kelompok politik maupun oposisi dari masyarakat sipil, termasuk Gereja Katolik. Selama 6 tahun kepemimpinannya, Duterte mampu melumpuhkan kelompok oposisi, terutama dari masyarakat sipil melalui kombinasi beragam instrumen, persuasi, kooptasi dan intimidasi. Alhasil, penyelenggaraan pemilu tanpa mendapatkan pengawalan dari publik untuk menghindari kemungkinan terjadinya kecurangan pemilu (Nikkei Asia, 27 April 2022).
Hal ini jauh berbeda dengan kekuatan people power pada pemilu 1984 dan 1986 lalu, di mana kelompok masyarakat sipil, gereja, universitas, bahu membahu mengawasi praktek kecurangan pemilu. Mereka saat itu terhimpun dalam wadah NAMFREL (National Independent Movement for Free Election) dengan spartan mengawasi dan membuktikan kecurangan yang dilakukan oleh Marcos senior. Keberhasilan NAMFREL membongkar kecurangan secara masif dan vulgar kemudian memicu gerakan People Power EDSA I dan melengserkan dinasti Marcos.
Revolusi Mental
Kembalinya dinasti Marcos ke tampuk pimpinan nasional Filipina, bagi sebagian pihak merupakan arus balik dari gelombang revolusi yang menuntut perubahan politik, sosial dan ekonomi Filipina dari tangan para cacique dinasti. Setelah 36 tahun, dinasti Marcos, simbol dekadensi politik dan kebangkrutan ekonomi Filipina yang membuat negara tersebut digelari sebagai ‘the Sickman from Asia’ kembali ke istana Malacanang.
Revolusi People Power yang menginspirasi banyak perubahan politik di Asia, menjadi mental. Filipina Kembali ke titik nadir. Ironis karena hanya dibutuhkan waktu kurang dari 4 dasawarsa untuk mementalkan revolusi. Fenomena Bongbong ini sekaligus membunyikan lonceng alarm bagi banyak pegiat demokrasi di berbagai belahan dunia. Peristiwa people power yang heroik dan legendaris tersebut, berhasil diputarbalikkan oleh dinasti Marcos dengan dalih suara rakyat yang akan memutuskan. Sejatinya, kelima faktor diatas dikerjakan secara sistematis, terstruktur dan masif selama 30 tahun sejak kepulangan mereka dari pengasingan di Hawaii tahun 1991.
Dalam salah satu kutipan media, Bongbong berseloroh bahwa Imelda Marcos, ibu suri legendaris, telah memimpikan dirinya menjadi Presiden semenjak ia berusia 3 tahun, bahkan sebelum Ferdinand Marcos menjadi Presiden (Nikkei Asia 27 April 2022). Persistensi akan hasrat tersebut menjadikan Imelda sebagai permaisuri dan ibu suri yang menahkodai dinasti politik sehingga berhasil mengantarkan suami dan anak sulungnya menjadi presiden Filipina. Imelda tentu telah kembali menyusuri ruang demi ruang di istana Malacanang, dan kemungkinan bertemu dengan 3 ribu pasang sepatu yang ia tinggalkan sewaktu kabur ke Hawaii. Bagi kalangan aktivis pro-demokrasi Filipina, hal ini adalah mimpi buruk.
Tanpa dipungkiri, kita pun berada di persimpangan jalan sejarah. Pemilihan Presiden secara langsung yang kelima kali, akan menentukan sejarah ke depan. Apakah demokratisasi Indonesia akan terkonsolidasi sesuai dengan proyeksi dari Guillermo O’Donnell dan Philippe Schmitter atau stagnan dalam kubangan para oligarki seperti proyeksi Thomas Carothers, hasilnya ada ditangan kita. Bijaklah memilih dan jaga pemilu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini