PENYUSUNAN kekuatan negara adidaya di Samudra Pasifik berlangsung diam-diam, tapi dalam ketegangan penuh. Baik Amerika Serikat maupun Uni Soviet tanpa henti menggerakkan "bidak-bidak caturnya" mencari posisi paling strategis. Pangkalan angkatan laut Subic dan basis angkatan udara Clark di Filipina adalah bagian dari pergulatan itu. Kedua basis militer itu adalah sebuah mata rantai kekuatan AS di Pasifik. Maka, sungguh janggal ketika Menteri Luar Negeri Filipina Raul Manglapus memasalahkan basis-basis militer ini, sementara di Kongres AS justru beredar pendapat bahwa kedua pangkalan ini penting tapi tidak vital. Pokoknya, "Bukan soal hidup atau mati." Apa betul? Perhitungan strategi militer jauh lebih kaku daripada penilaian politik seperti yang terlontar di Kongres AS. Penyusunan kekuatan di Pasifik yang terpecah ke wilayah strategis Pasifik Utara, Selatan, dan Barat ternyata tak bisa dipisah-pisahkan. Hon John C. Dorrance, ahli masalah pertahanan Pasifik dari Departemen Luar Negeri AS, berpendapat, kedua pangkalan militer AS di Filipina itu tak tergantikan. "Kehilangan kedua pangkalan Ini akan mengakibatkan Laut Cina Selatan dan selat-selat di Indonesia menjadi terbuka bagi penyerangan Uni Soviet," tulisnya dalam sebuah artikel di Asia Pacific Defence Forum, Maret 1986. Menurut Dorrance, peran Subic dan Clark malah sedang meningkat. Kondisi kedua basis militer itu kebetulan memungkinkan limpahan tanggung jawab. Menurut evaluasi CSIS (Central of Strategic and International Studies) Universitas Georgetown, Amerika Serikat, pada 1980, Subic dan Clark adalah pangkalan militer terbesar AS di luar wilayahnya. Kedua basis itu bukanlah sekadar sebuah pos transit seperti pangkalan-pangkalan militer AS di Pasifik Selatan. Selain tempat berlabuh, pangkalan AL Subic di Zambales dan Bataan yang meliputi areal seluas 6.303 hektar (mengikuti perjanjian 1979) memiliki fasilitas logistik dan dok reparasi yang mampu melayani 60% keperluan satuan AL Pasifik AS, Armada VII. Pusat Komunikasi Dinas Intelijen Strategis San Miguel di Zambales dan Tarlac adalah bagian dari pangkalan AL itu. Pusat mata-mata ini diperlengkapi peralatan elektronik mutakhir, yang paling canggih, dan dioperaslkan ratusan agen dinas rahasia CIA (Central Intelligence Agency) dan NSA (National Security Agency). Tugasnya adalah mengawasi gerak Uni Soviet dari pangkalan AL Cam Ranh ke Asia Tenggara dan Pasifik, selama 24 jam penuh. Operasi mata-mata ini ditunjang kehadiran landasan pesawat udara Subic, Cubi Point. Dari landasan ini diterbangkan pesawat mata-mata antikapal selam P-3C Orion, yang bertugas mengamati gerak kapal selam Uni Soviet di Laut Cina Selatan, Samudra Hindia, dan Samudra Pasifik Selatan. Basis AU Clark seluas 4.517 hektar adalah pusat komando satuan tempur udara AS Gugus Tugas 77, yang memiliki enam jenis pesawat. Dua yang terkenal, pesawat buru sergap F-5 Tiger dan F-4E Phantom II. Kedua pesawat ini dikenal sebagai pembawa peluru kendali berkepala nuklir, Tomahawk. Total jenderal, pangkalan AL Subic dan basis AU Clark AS di Filipina adalah salah satu pusat komando dalam jajaran angkatan perang AS. Dorrance menilai, dalam perkembangan terakhir, kedudukan pusat komando ini menjadi semakin penting, mendesak peran basis angkatan udara AS di Guam dan pusat komando angkatan perang wilayah barat AS, Pearl Harbor, di Hawaii. Meningkatnya peran Subic dan Clark diakibatkan dua hal bertambahnya secara mendadak kekuatan kapal selam Uni Soviet di Pasifik Selatan dan berkembangnya fungsi pangkalan AL Uni Soviet di Cam Ranh, Vietnam. Reaksi Uni Soviet ini bukannya tanpa sebab. Justru Amerika Serikat yang terlebih dahulu menjalankan "bidak catur". Seluruh ketegangan muncul ke permukaan di tahun 1982. Ketika itu dalam mengomentari ketegangan nuklir di Eropa, AS mengeluarkan ancaman, "akan mengadakan kontra-ofensif di titik pertahanan Uni Soviet yang sangat lemah." Kelemahan yang dimaksud AS itu adalah Pasifik Utara. Di Pasifik Utara, Uni Soviet memang terjepit total. Pada posisi ini negara itu diimpit dua kekuatan musuh: sekutu-sekutu Amerika Serikat, dan Cina. Di punggungnya, di perbatasan Sino-Soviet sepanjang 6.600 kilometer, Uni Soviet diancam jajaran peluru kendali berkeala nuklir Cina CSS-X 4. Dalam perang jarak pendek kekuatan Cina ini mengancam pula lintas kereta api Trans-Siberia, satu-satunya jalur logistik bagi wilayah pertahanan timur. Sementara itu, di sisi lain, basis-basis militer Soviet untuk wilayah Pasifik harus berhadapan dengan Jepang dan Korea Selatan. Posisi pangkalan angkatan laut Soviet, Vladivostok, yang merupakan pangkalan armada Pasifik Uni Soviet, terkurung lingkaran basis-basis militer AS di Korea Selatan dan Jepang. Pintu keluar pangkalan angkatan laut ini cuma dua selat kecil, La Perouse dan Tsushima, yang berbatasan langsung dengan Jepang dan Korea Selatan. Bila kedua selat ini disumbat, Vladivostok praktis mati. Pangkalan kapal selam Soviet Petropavlovsk di Semenanjung Kamchatka sama parahnya. Selain terletak jauh dari jantung pertahanan Uni Soviet, juga mudah dihancurkan satuan pengebom AS yang ditempatkan di basis AU Amerika Serikat di Kepulauan Aleutia yang berjarak hanya 800 kilometer dari sana. Melihat keadaan yang terjepit ini, dengan bernafsu AS meningkatkan kekuatannya di Pasifik Utara. Inilah latar belakang rujukan AS dan Cina, dengan tujuan menjepit Soviet di Pasifik Utara. Juga, naiknya anggaran belanja pertahanan Jepang sampai di atas 1% GNP -- pada catatan NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara) 1,59% GNP. Amerika Juga menurunkan mesin perang kelas beratnya di wilayah pertahanan itu, antara lain menempatkan pesawat buru sergap F-16 di basis AU Misawa, Jepang Utara pesawat pengintai canggih AWACS di basis AU Okinawa dan pesawat-pesawat pengintai U-2 di Korea Selatan. Latihan perang menutup Selat La Perouse dan Tsushima hingga kini dilakukan AS secara reguler, bersama Jepang dan Korea Selatan. Menghadapi desakan ini, Uni Soviet menyusun strategi perlawanan dengan memancing kekuatan AS untuk berkonfrontasi di Pasifik Selatan dan Barat. Segera setelah ancaman AS dilontarkan, wilavah pertahanan armada Pasifik Soviet diperluas sampai ke Timur Tengah. Tujuannya agar jalur logistik armada ini tidak bergantung pada Vladivostok, yang bisa terkurung sewaktu-waktu. Soviet juga memindahkan peran basis-basis nuklirnya di Semenanjung Kamchatka ke kapal-kapal selam pembawa peluru kendali nuklir, yang disebar ke seantero Pasifik Selatan dan Barat, dengan Cam Ranh sebagai pangkalannya. Untuk menggeser ladang perang ke arah selatan itu, Uni Soviet menghimpun kekuatannya secara besar-besaran di Pasifik Barat. Pangkalan AL Cam Ranh di masa kini menjadi pusat komando 2 kapal induk, 85 kapal perang, 103 kapal selam taktis, dan 31 kapal selam pembawa peluru kendali nuklir. Di basis AU Da Nang, juga di Vietnam, dihimpun kekuatan angkatan udara yang terdiri dari 1.820 pesawat buru sergap dan 355 pengebom, di antaranya TU-22 Backfire, pengebom paling ampuh yang mampu mencapai kawasan Asia Tenggara dalam waktu satu hari. Ladang perang memang bergeser akhirnya. Pusat komando kekuatan Soviet yang terbentang dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia kini berpindah dari utara ke Pasifik Barat -- Cam Ranh. Kekuatan yang diutamakan adalah kapal selam -- baik penyerang maupun pembawa senjata nuklir. Jalur organik untuk menghubungkan kekuatan di kedua samudra itu adalah perairan Pasifik Selatan dan Asia Tenggara, khususnya Selat Malaka, Selat Sunda, dan Selat Lombok. Untuk membangun jalur ini, Soviet mengadakan berbagai pendekatan diplomatik ke negara-negara Pasifik Selatan, dan berhasil. Negara itu juga menyebar ratusan ribu kapal penangkap ikan tuna di Pasifik Barat dan Selatan, yang dilengkapi peralatan mata-mata canggih dan sebenarnya bertugas membuat peta relung dasar laut, bagi jalur kapal selam. Memperhitungkan kemungkinan perang, Soviet, menurut Dorrance, menyiapkan kekuatan untuk menutup Selat Malaka dan selat-selat di Indonesia. Tujuannya, mencegat jalur angkatan laut AS dari Hawaii ke Timur Tengah, untuk melindungi jalur kapal selamnya. Inilah yang memancing AS meningkatkan kekuatannya di Pasifik Barat: Subic, Clark, Guam, dan Okinawa. Pertahanan AL jajaran komando ini pada catatan terakhir memiliki kekuatan: 6 kapal induk, 91 kapal perang, 42 kapal selam taktis, dan 4 kapal selam pembawa peluru kendali nuklir. Kekuatan angkatan udaranya meliputi 990 pesawat buru sergap dan 12 pengebom. Konfrontasi yang menjadi-jadi inilah yang mengundang "reaksi Pasifik". Negara-negara Pasifik Selatan berjuang menolak tumbuhnya ladang perang di wilayahnya, dengan menyatakan kawasannya sebagai wilayah bebas nuklir (South Pacific Nuclear Free Zone). Selandia Baru, yang semula bersekutu dengan AS dan Australia dalam pakta pertahanan Anzus, demi daerah bebas nuklir, berani ambil risiko melepaskan diri. ASEAN menyiapkan rencana yang lebih luwes: Asia Tenggara sebagai wilayah damai (Zone of Peace, Freedom, and Neutrality). Menlu Manglapus, kendati bertujuan lain, formalnya mengisyaratkan bahwa: mengesahkan kehadiran basis militer asing di Asia Tenggara dan Pasifik sama saja artinya dengan membiarkan ladang perang nuklir meruyak di depan mata. Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini