TIDAK seperti biasa suasana di Jalan Raya Persahabatan, yang menghubungkan pangkalan udara Clark dan Kota Angeles, sepi dan mencekam. Sejak tiga warga Amerika dan seorang Filipina tewas diberondong di sini, Rabu 28 Oktober silam, kehidupan yang ceria di sekitar Clark lenyap seketika. Jam malam diberlakukan di kedua pangkalan, Clark dan Subic, personel AS dilarang keluar kamp. Memang, kapal induk USS Midway tetap meluncur ke arah Teluk Subic pekan lalu, tapi kunjungan rekreasi tentara AS ke Clark -- yang terletak 81 km utara Manila -- dari basis yang lain, kini dihentikan. Apalagi gerilyawan komunis mengancam akan menembak setiap warga Amerika, sementara NDF (Front Demokratik Nasional) mengeluarkan pernyataan politik. NDF memperingatkan Amerika agar tidak mencampuri urusan dalam negeri Filipina. Lebih jauh, sayap politik Partai Komunis Filipina ini menegaskan, jika peringatan ini tidak digubris, Amerika harus membayar mahal, "dengan nyawa ataupun harta." Buat Washington, gertakan NDF itu mungkin bukan apa-apa, tapi tampaknya semua personel Amerika di Clark dan Subic untuk pertama kali merasa terancam. Pangkalan Clark, yang selama ini hanya dikawal satpam bersenjatakan pentungan, kini dipatroli ketat oleh tentara gabungan AS-Filipina, lengkap dengan tentara bersenjatakan pistol dan senapan otomatis M-16. Pihak-pihak tertentu, termasuk Senator Juan Ponce Enrile, keberatan karena patroli itu tampak sebagai tantangan terhadap kedaulatan Filipina. Toh patroli yang diperdebatkan itu tidak mencegah seorang gerilyawan komunis menyerang satpam yang bertugas 1,5 km dari pangkalan Clark. Maka, ketegangan semakin meruncing. Sejak kudeta militer yang gagal, 28 Agustus berselang, Manila semakin tidak aman. Kini bahkan dua pangkalan. AS, Subic dan Clark, dianggap rawan. Olongapo dan Angeles -- dua kota yang menurut Mayor Thomas J. Boyd tiap hari menggaet US$ 1 juta dari bisis Subic dan Clark -- mendadak sepi. Mayor Francisco C. Nepomuceno memperkirakan, bisnis Kota Angeles anjlok 70%, sejak insiden terjadi dan patroli diberlakukan. "Tak ada GI, tak ada uang," kata Sol, seorang pramuria, kepada Seth Mydans, wartawan The New York Times yang belum lama ini dibolehkan meliput ke kawasan sekitar Clark. Dengan 96.000 orang bekerja dan bermukim di sekitar pangkalan udara itu, Angeles memang terbukti lahan subur untuk ribuan warga Filipina. Demikian pula Olongapo, kota pelabuhan utama di Subic, yang dalam tempo 12 tahun penduduknya melonjak dari 50.000 menjadi 250.000 orang. Di kedua kawasan itu, warga Amerika dikabarkan hidup dalam suasana persaudaraan dengan orang Filipina -- sebanyak 42.000 orang bekerja di kedua pangkalan. Di dalamnya termasuk para pengacara, insinyur, montir mobil, tukang jahit, pembuat mebel, pembersih gedung, dan satpam. Di samping itu, ada usaha sampingan besar-besaran yang bisa juga disebut industri hiburan. Di situ tertampung ribuan pramuria, tukang pijit, pemain musik, penyanyi, dan WTS. Tidak terkecuali anak-anak kecil di bawah 10 tahun yang berkeliaran di sana sampai pukul 02.00 dinihari, menjajakan permen karet. Adalah orang-orang ini yang terpukul sekali, karena bisnis tiba-tiba terhenti. Di Angeles, lebih dari 300 bar tutup sementara, begitu pula toko-toko dan restoran. Seorang sopir jeepney -- opelet Filipina yang digambari warna-warni -- merasa dirinya ditimpa kiamat tiba-tiba. "Matilah aku. Tak ada lagi bisnis di sini. Makan pun susah," keluhnya. Tapi buruh-buruh Filpina yang bekerja di pangkalan Clark dan Subic belum akan terkena bencana ekonomi dalam waktu dekat ini -- setidaknya sampai kontrak sewa pangkalan Amerika itu berakhir (dan tidak diperpanjang lagi) tahun 1991 nanti. Mereka terhitung tenaga kerja yang dibayar murah -- pernah mogok menuntut kenaikan upah -- tapi nasibnya masih lebih baik ketimbang buruh perkebunan tebu atau kelapa. Amerika menghabiskan US$ 82 juta per tahun untuk seluruh pekerja Filipina tersebut. Ini berarti Paman Sam berada pada urutan kedua sebagai pembayar gaji terbesar, sesudah pemerintah Filipina sendiri. Washington masih harus menyisihkan US$ 42 juta per tahun untuk membayar petugas dan karyawan Amerika yang bekerja di kedua pangkalan. Jumlah ini masih ditambah sekitar US$ 40 juta untuk marinir dan pelaut yang "terdampar" beberapa kali setahun di Teluk Subic. Pangkalan AL Subic adalah basis militer AS terbesar di luar Amerika, lengkap sebagai pusat logistik berikut fasilitas reparasi. Ke sinilah semua kapal dari Armada ke-7 AS biasanya dipimpin kapal induk USS Midway -- akan datang untuk servis. Biasanya, rombongan besar muncul enam minggu sekali, dan itulah masa panen yang dinanti-nantikan lebih dari 5.000 pramuria dan WTS Olongapo. Kendati persinggahan Armada ke-7 hanya tiga hari, kehadirannya mengguncang Olongapo. Bayangkan saja kalau sekali turun sampai 15.000 pelaut. Neon sign yang bertuliskan "Bir yang paling dingin dan perempuan yang paling hangat di muka bumi", sudah menceritakan segala-galanya. Sepanjang Jalan Magsaysay, Olongapo, berjejer panti pijat, diskotek yang ingar-bingar, tempat mandi uap, juga kios ketangkasan. Industri hiburan Olongapo memang serba lengkap. Curahan uang yang mereka harapkan juga cukup deras. "Bayangkan dolar yang bisa saya kumpulkan beberapa hari ini," kata Raquel Marquez, tanpa malu-malu. Dia adalah satu dari puluhan gadis asal Negros -- pulau gula yang sejak tahun lalu terancam bahaya kelaparan -- yang mengadu nasib ke Olongapo. Sudah sembilan bulan ayahnya kehilangan pekerjaan, dan sejak itu Raquel tidak punya pilihan lain. Ia pun merantau ke Olongapo, bekerja di sebuah panti pijat. Kebetulan sekali, kedatangan Armada ke-7 membawa rezeki tambahan. "Mungkin, saya bertemu 10 sampai 15 pelaut malam ini," kata Raquel lagi. "Itu berarti 2.000 peso (sekitar US$ 100), dan semuanya akan saya kirim ke kampung. Bisnis kilat semacam ini bukan tanpa risiko. Raquel tidak menceritakan adakah dia menggunakan obat bius atau tidak, tapi pemakaian narkotik cukup meluas di sana. Pastor Shay Cullen, yang sudah 16 tahun bermukim di Olongapo, memastikan bahwa kondisi kehidupan di kota itu telah menjangkitkan masalah narkotik. Suasana dan tuntutan kerja begitu menekan, hingga sebagian besar WTS hanya bisa bertahan dengan bantuan narkotik. Hal lain yang menimbulkan masalah ialah kebodohan wanita-wanita penghibur, yang bahkan tidak mengerti manfaat pil antihamil. Memang ada organisasi sosial "Gabriela" yang berusaha memberi penerangan gratis, tapi jangkauan mereka terbatas. Tak heran jika dalam tempo 9 bulan sesudah panen yang ditaburkan Armada ke-7 berlahiranlah bayi-bayi keturunan Amerika di Olongapo. Kalau saja jalan nasib tidak berubah, bayi-bayi ini sekali waktu akan menggantikan ibu mereka di pelbagai bar dan panti pijat kota itu -- ini kalau pangkalan Subic masih dipertahankan di situ. Lebih buruk dari anak-anak yang dilahirkan tanpa ayah adalah wabah AIDS, penyakit sangat ditakuti tapi sampai kini hanya ditangani secara insidental di Olongapo dan Angeles. Soalnya, disinyalir ada sekitar 28 wanita penderita AIDS di kawasan itu ketularan AIDS dari tamu-tamu Subic yang ditolerir untuk tetap mencari nafkah seperti biasa. Alasannya: dengan membiarkan mereka bekerja, akan lebih mudah memonitornya. Tapi jika mereka dilarang bekerja, wanita pembawa AIDS itu bisa saja pergi ke tempat lain, menularkan penyakitnya ke wilayah yang tidak bisa dilacak. Yang seperti ini lebih gawat, demikian menurut Klinik Kesehatan Sosial Olongapo. Tidak dijelaskan mengapa penderita AIDS tidak dilokalisasi saja di satu rumah sakit, atas biaya pemerintah. Kenyataan seperti ini memang tidak masuk akal, terutama di satu negara yang 20 tahun lalu tercatat sebagai yang paling makmur di Asia Tenggara. Kementerian Kesehatan Filipina telah mengajukan permintaan pada Pentagon agar warga AS yang bebas AIDS saja yang ditugasi di Subic dan Clark. Belum diketahui bagaimana reaksi Washington, sementara Manila kini sangat direpotkan oleh keberingasan gerilyawan komunis. Dua puluh tahun lalu, para pendekar hak asasi di Filipina seperti Lorenzo Tanada dan Almarhum Jose Diokno sudah menggemakan protes terhadap Clark dan Subic. Keduanya menolak bukan semata-mata dari pandangan picik kaum nasionalis, seperti dituduhkan orang. Diokno, misalnya, keberatan karena pangkalan itu digunakan sebagai landasan untuk melancarkan apa yang disebut gunboat diplomacy Amerika. Sebagai akibatnya, Filipina bisa terseret dalam konflik yang sama sekali bukan urusan mereka. Andaipun seribu kali ditimbang-timbang, Subic dan Clark tetap merupakan dilema bagi orang Filipina. Memang, persaingan dua superpower tidak bicara apa-apa bagi pramuria dan WTS Angeles dan Olongapo, sebaliknya eksistensi mereka juga tidak masuk hitungan ahli strategi di Pentagon ataupun Kremlin. Sementara Washington bilang, Subic dan Clark tidak tergantikan, segelintir pengusaha Filipina berencana menyulap basis itu menjadi sebuah pelabuhan bebas, sekaliber Hong Kong. Ini tentu saja kalau kontrak sewa diakhiri, tahun 1991 nanti. Toh dalam pandangan Luis, seorang pemuda Filipina, segalanya tampak lebih sederhana. "Mereka (Amerika) cuma memanfaatkan negeri dan bangsa kita. Dan cewek-cewek di sini menyediakan hiburan untuk pelaut-pelaut bule itu," katanya berapi-api. Lalu tak canggung ia memuji komunis, yang katanya berjuang menentang eksploitasi itu. Akhirnya ia bertanya, "Di mana harga diri kita, martabat kita sebagai bangsa?" Agaknya, pertanyaan ini juga harus dipikirkan oleh Cory dan semua aliran politik di sana baik kanan, tengah, maupun kiri. I.S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini