RAJA Hussein dari Yordania hari-hari ini semakin sering tersenyum lebar. Ini erat kaitannya dengan KTT 4 hari negara-negara Arab -- yang dibuka Ahad dua pekan lalu di Hotel Plaza D'amman, ibu kota Yordania -- yang mencatat sukses besar. Selain berhasil menggiring musuh bebuyutan Irak dan Syria ke suatu "perbaikan hubungan", Raja Hussein juga memimpin kemenangan kelompok negara-negara Arab moderat dalam KTT kali ini. Penting juga dicatat pertama kalinya dalam sejarah, masalah bangsa Palestina dan Zionisme Israel dikesampingkan dari agenda pembicaraan sidang. Topik utama kali ini: masalah Perang Teluk dan upaya menghentikannya. Tidak seperti KTT sebelumnya, pada penutupan sidang, Rabu silam, muncul pernyataan bersama, bernada paling keras selama ini, yang ditujukan ke Teheran. "Konperensi mengutuk Iran karena telah menduduki wilayah Irak dan menolak seruan PBB untuk suatu gencatan senjata," kata Sekjen Liga Arab Chadli Klibi, membacakan pernyataan bersama itu. Bahwa negara-negara Arab radikal, kecuali Libya, menyetujui pernyataan yang "berat ke Irak" ini, oleh sejumlah pengamat dinilai sebagai kemenangan kelompok Arab moderat. Ini, konon, karena Syria -- yang bersama Aljazair dan Libya selama ini memihak Iran dalam Perang Teluk -- dapat "dirujukkan" dengan Irak. Spekulasi tentang rujuk itu beredar, terutama setelah Presiden Syria Hafez Assad dan Presiden Saddam Hussein dari Irak berjabatan tangan dan duduk bercakap-cakap selama sidang berlangsung. Ini istimewa. Selain itu, Raja Hussein pun tak menyembunyikan kebanggaannya mendalangi rujukan tersebut. "Saya rasa saya berhak bangga dan bahagia. Memang dibutuhkan waktu agar hubungan kedua negara pulih, tapi saya yakin akan terwujud dalam waktu dekat," kata sang raja yang pendekatan damainya selama ini selalu gagal. Kabar burung mengatakan sikap lunak Damaskus dalam konperensi itu lantaran Assad diiming-iming tawaran bantuan US$ 2 milyar dari Arab Saudi. Bantuan ini jelas sangat berarti bagi Syria yang kini dilanda krisis ekonomi. Konon, bantuan tersebut ditawarkan awal tahun ini dan sebagai imbalannya: Assad setuju bersikap netral dalam Perang Teluk. Sejauh ini Damaskus belum membantah atau membenarkan soal bantuan itu. Tapi Menlu Syria Farouq Al Shara, setiba kembali di Damaskus, menyatakan masih banyak perbedaan politik antara negaranya dan pemerintah Bagdad, "yang tak bisa dihapuskan hanya dengan jabatan tangan dan bercakap-cakap." Kemenangan kelompok Arab moderat juga ditandai dengan diperkenankannya ke-21 anggota negara Liga Arab -- secara sendiri-sendiri -- melakukan perbaikan hubungan dengan Mesir yang dikucilkan tatkala Presiden Anwar Sadat almarhum menandatangani perjanjian damai dengan Israel, 1977. Walaupun sidang menolak menerima kembali Mesir sebagai anggota Liga karena diveto Syria -- sudah 11 negara Arab berminat membuka hubungan diplomatik dengan Mesir. Termasuk ke dalamnya Emirat Arab, Irak, dan Maroko, yang pekan lalu secara resmi mencairkan hubungan diplomatik dengan Kairo. Yordania sudah sejak 1984 berbaikan kembali dengan Mesir. Sementara itu, pemimpin PLO Yasser Arafat tampak masgul. Bukan hanya karena masalah Palestina tersingkir dari agenda, tapi juga karena "perbedaan prinsip dan sikap" PLO dengan Raja Hussein yang belum juga terjembatani, khususnya mengenai upaya mengatasi masalah Palestina. Selain itu, ada "kelalaian kecil" di pihak Yordania yang membuat Arafat mendongkol. Isi teks pernyataan bersama dalam bahasa Inggris, konon, berbeda dengan teks asli dalam bahasa Arab. Soalnya, dalam teks Inggris kalimat yang menyebut PLO sebagai "wakil resmi satu-satunya rakyat Palestina" tak tercantum. Farida Sendjaja (Jakarta) dan Sapta Adiguna (Paris)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini