Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ratusan orang berkumpul di kuil-kuil di timur laut Thailand pada hari Sabtu, 8 Oktober 2022, memperingati tewasnya 30 korban kebanyakan anak-anak akibat amukan seorang bekas polisi yang menghabisi mereka secara biadab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagian besar anak-anak, berusia antara dua dan lima tahun, ditebas sampai mati pada Kamis lalu, sementara orang dewasa ditembak, kata polisi setelah salah satu serangan pada anak-anak terburuk di dunia dalam pembantaian oleh seorang pembunuh tunggal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di kuil Si Uthai, kerabat dan keluarga korban bergabung memberikan penghormatan kepada mereka yang dibunuh oleh seorang mantan polisi Bangkok, yang diskors dari tugas setelah mengaku menggunakan metamfetamin.
Mereka menyalakan lilin di depan peti mati dengan karangan bunga dan bingkai foto korban, termasuk balita Pattarawat Jamnongnid, mengenakan kemeja sepak bola Amerika merah muda, yang merupakan salah satu dari dua korban anak yang dijuluki "Kapten".
Di atas peti matinya ada boneka dinosaurus dan sebotol susu.
Ibunya, pekerja pabrik berusia 40 tahun, Daoreung Jamnongnid, mengatakan bahwa dia adalah anak tunggalnya, energik serta banyak bicara.
Pada usia dua tahun 10 bulan, dia adalah korban termuda. Meski belum gena[p 3 tahun, dia sudah hapal alfabet namanya.
"Dia sangat pintar," kata Daoreung. "Dia suka menonton film dokumenter bersama ayahnya."
Korban terakhir mantan polisi itu adalah istri dan anaknya di rumah, sebelum dia menembak dirinya sendiri.
Polisi mengidentifikasi penyerang sebagai Panya Khamrap, 34 tahun, mantan sersan polisi yang sedang menghadapi persidangan atas tuduhan narkoba.
Tidak jelas apakah Panya masih menggunakan narkoba. Sebuah laporan otopsi menunjukkan dia tidak menggunakannya pada hari serangan, kata polisi pada hari Jumat.
Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha prihatin dengan trauma di masyarakat setelah tragedi itu, kata juru bicaranya pada Sabtu, 8 Oktober 2022.
Departemen kesehatan mental mendesak orang untuk tidak menonton liputan berita setelahnya dan berhenti berbagi gambar kekerasan di media sosial.
"Perdana menteri meminta semua orang untuk saling mendukung dan melewati kehilangan brutal ini bersama-sama," kata juru bicara pemerintah Anucha Burapachaisri.
Tiga anak laki-laki dan dua perempuan selamat dalam serangan itu dan semua kecuali satu dari mereka berada di rumah sakit, menurut polisi.
Pada Jumat malam, Raja Maha Vajiralongkorn mengunjungi rumah sakit tempat para korban luka dibawa.
Mengenakan setelan abu-abu gelap, raja mengatakan dia sangat sedih dan mengungkapkan kesedihannya atas apa yang merupakan "insiden jahat".
"Tidak ada kata lain untuk menggambarkan perasaan ini," katanya kepada orang-orang di rumah sakit.
“Saya ingin memberikan dukungan moril kepada kalian semua untuk menjadi kuat, agar jiwa anak-anak tersebut dapat merasakan kelegaan bahwa keluarganya akan tetap kuat dan dapat melangkah maju.”
Kittisak Polprakan, 29 tahun, yang berada di daerah itu pada saat pembunuhan besar-besaran,menggambarkan Panya sebagai orang yang tenang ketika dia keluar dari pusat penitipan anak setelah membunuh 22 anak-anak prasekolah, menyayat sebagian besar dari mereka dengan pisau melengkung yang besar.
"Saya tidak berpikir sebuah tragedi telah terjadi ... begitu tenang," katanya.
"Tidak ada suara, tidak ada teriakan, tidak ada apa-apa. Hanya dia yang keluar."
Pada hari Sabtu, orang-orang meninggalkan bunga mainan dan truk mainan di luar pusat penitipan anak Uthai Sawan, sebagai persembahan kepada arwah mereka yang terbunuh.
Di kuil lain, Wat Rat Samakee, emosi sangat kuat, dengan kerabat menangis saat biksu berjubah kunyit melantunkan ayat suci.
Penduduk desa duduk di atas karpet dengan tangan terkepal di depan serangkaian peti mati yang dihiasi bunga dan potret anak-anak tersenyum yang dibunuh dalam amukan mantan polisi.
Sebuah mobil sport mainan besar diletakkan di salah satu peti mati yang dilapisi dengan kain berwarna emas bertuliskan simbol Buddha.
Seorang wanita berpakaian hitam, yang kehilangan dua keponakannya yang berusia 3 tahun, terlihat menangis saat dia berlutut, telapak tangan menempel di salah satu peti mati mereka.
Reuters