SETELAH lebih tiga hari berdebat di meja perundingan, utusan faksi-faksi yang bersengketa di Kamboja akhirnya meninggalkan Jakarta dengan tangan kosong. Mereka gagal mencapai kesepakatan atau unanimous decision, seperti yang disyaratkan dalam Pertemuan Informal tentang Kamboja (IMC) pekan lalu. Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen, ngotot menolak Khmer Merah. Sementara itu, Khieu Samphan yang mewakili Khmer Merah menuding Vietnam -- pendukung utama Hun Sen -- sebagai biang kegagalan. Kemacetan perundingan Vietnam dan Hun Sen di satu pihak dengan Khmer Merah ini memang penyakit lama di meja perundingan sejak Jakarta Informal Meeting (JIM) I tempo hari. Soal ini pula yang menyebabkan Menlu Indonesia, Ali Alatas, cemas dengan asas unanimous yang dipakai dalam pertemuan kali ini. Dan terbukti benar. Usulan kongkret setebal 154 halaman yang disodorkan Australia dianggap sepi, dikalahkan oleh debat kusir soal Khmer Merah. Akibatnya, pertemuan menemui jalan buntu. Tak heran jika Menlu Australia yang serius mempersiapkan usulan itu menjadi kesal. "Mestinya, faksi-faksi Kamboja itu memperlihatkan kemauan baiknya sekarang. Bukan cuma kosmetik saja," tutur Gareth Evans, di depan ratusan wartawan Kamis dini hari pekan lalu. Buat Evans, yang diperdebatkan itu bukanlah esensi dari masalah Kamboja saat ini. Keganasan rezim Pol Pot dinilainya sebagai masalah emosional dan tradisional. "Soal Khmer Merah itu kan bukan inti masalahnya," tutur Evans. Yang lebih penting, menurut Evans, adalah bagaimana faksi-faksi itu membahas penyelesaian secara kongkret, misalnya membicarakan keterlibatan PBB di Kamboja. "Ide-ide yang saya bawa cukup jelas, dan usulan-usulannya bisa dilaksanakan," kata Evans. Itu sebabnya, Evans berkeras menganggap PIK ada manfaatnya meski, katanya, tak ada satu pernyatan bersama sebagai dokumen akhir yang dihasilkan. Tentang keterlibatan PBB yang jadi inti usulan Australia ini, PIK memang mencatat beberapa hal baru. "Secara prinsip, mereka sudah menerima keterlibatan PBB," kata Menlu Alatas. Yang masih menjadi soal, menurut Alatas, adalah bagaimana merumuskan keterlibatan itu dan menghubungkannya dengan keempat faksi yang sedang bersengketa. Penjelasan Menlu Alatas ini dikuatkan oleh Hun Sen, yang selama ini dikenal menolak masuknya PBB ke Kamboja. "Kami menerima usulan Evans, dan kami pun setuju adanya tim pencari fakta di Kamboja," katanya. Cuma, sampai di sini bola kembali bergulir ke soal lama. Buat Hun Sen, kehadiran PBB barulah bisa dibahas jika masalah Khmer Merah sudah dituntaskan. Trauma kekejaman Pol Pot yang membantai jutaan rakyat Kamboja memang masih menghantui sebagian besar rakyatnya. Jelas, kembalinya Khmer Merah bukanlah soal yang boleh disepelekan. "Itu masalah internasional, dan kami tak dapat menerima pemecahan politis jika tak ada satu langkah kongkret untuk mencegah kembalinya rezim Polpot," katanya berkeras. Sedangkan Khieu Samphan, lawan Hun Sen, masih saja ngotot menuding Vietnam yang jadi biang keladi kemacetan. Khmer Merah, sebagai salah satu faksi yang sudah 8 tahun ikut bergabung dalam NGC (National Government of Cambodia) -- dulu disebut CGDK -- rupanya tak mau ditinggal begitu saja dalam setiap proses penyelesaian Kamboja. "Pokoknya, keberadaan faksi kami harus diterima semua pihak," tuturnya ngotot. Itulah. PIK, yang mulanya dimaksudkan untuk mencari jalan lain dalam memecahkan soal Kamboja, akhirnya kembali ke jalan buntu. "Mestinya, dengan mengadakan PIK kita berharap faksi-faksi tidak kembali ke soal lama," kata Menlu Alatas. Agaknya, harapan untuk mendamaikan rakyat Kamboja lewat meja perundingan tampaknya belum putus. "Kami tetap akan meneruskannya," kata Alatas, Kamis dini hari, ketika ia terpaksa mengumumkan kegagalan PIK. Liston Siregar, Yudhi S. & Yopie H.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini