Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari masih dini ketika Gaith Abdul-Ahad mendengar ledakan besar dari Haifa Street, Bagdad, pekan silam. Sontak saja wartawan The Guardian ini meloncat dari tempat tidur, mencekau celana jinsnya, mengepak kamera, lalu menyambar ranselnya dan bergegas ke Haifa Street. Jalan itu dan flat tempat tinggalnya hanya terpaut beberapa blok.
Suasana amat mencekam ketika Gaith tiba Haifa Street. Ratusan orang, termasuk anak-anak, berhamburan dari balik gumpalan asap tebal. "Lari, ledakan akan terjadi lagi," seorang lelaki berteriak sembari merenggut tubuh si Gaith. Wartawan itu ikut melesat pergi. Langkahnya kian kencang ketika dia sadar rompi antipelurunya yang biasa dia kenakan saat meliput tertinggal di flat.
Benar saja. Ledakan raksasa mengguntur beberapa saat kemudian. Puluhan orang hilang nyawa dalam sekejap. Potongan daging manusia terlontar ke udara bersama sobekan sepatu. Sesaat kemudian, Haifa Street senyap bersama ratusan orang yang meregang nyawa. Astaga, belum juga napas mereda, kawasan itu dibombardir lagi oleh muntahan senapan mesin dari beberapa helikopter Amerika. Puluhan warga sipil tewas, sementara ratusan lainnya luka parah, termasuk Gaith Abdul-Ahad.
Ahad dua pekan lalu, Haifa Street—sebuah kawasan yang diolok-olok sebagai "lokasi favorit para teroris untuk meledakkan bom"—berubah menjadi neraka. Tragedi di atas menjadi pembantaian paling keji dalam enam bulan terakhir. Sepanjang pekan itu, Haifa dihajar berulang-ulang oleh dua kubu yang bermusuhan, dari bom bunuh diri hingga tembakan mortir. Beberapa media asing bahkan menggelari Haifa sebagai "jalan terkejam di dunia".
Terletak di jantung Distrik Karkh, Bagdad, Haifa Street menjadi garis depan pertempuran pasukan koalisi dan para pemberontak. Pada 1980-an, layaknya poros Sudirman-Thamrin di Jakarta, Saddam Hussein mendandani kawasan Haifa sebagai etalase modernisasi Irak. Nama Saddam diabadikan di sana sebagai "Saddamiyat al-Karkh".
Gedung-gedung pencakar langit—kebanyakan bergaya arsitektur Rusia—berjajar membentuk boulevard paling modern di masa itu. Di belakangnya terbentang permukiman pendukung Saddam dari Tikrit: kaum Sunni dari Partai Baath. Kebanyakan adalah agen rahasia atau pasukan khusus Saddam. Setelah era Saddam runtuh, permukiman itu berubah menjadi "markas besar" para pemberontak. Gang-gang sempit dan gelap di belakang jalan raya memang cocok untuk lokasi persembunyian.
Alhasil, Haifa menjadi lokasi paling strategis untuk menyergap setiap kendaraan pasukan Amerika yang lewat. Juli lalu, pasukan Amerika pernah adu tembak berhadap-hadapan dengan para pemberontak. Entah kapan Haifa kembali menjadi koridor nan damai seperti di masa-masa yang sudah.
EWS (BBC, The Guardian)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo