Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ateng duduk bersila sambil memegang joran. Angin semilir di siang yang panas, Rabu pekan lalu, membuat pria 40 tahun itu terkantuk-kantuk. Sesekali ia menatap ke arah kail yang tak juga bergerak. Wajahnya kusam, gabungan rasa kantuk dan bosan. Sudah dua jam ia mencoba peruntungannya, memancing ikan di Situ Cipondoh, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten, tapi belum seekor ikan pun menyenggol kail.
Pulang memancing dengan tangan kosong bukanlah cerita baru bagi tukang ojek itu. Dulu, sekitar 10 tahun yang lalu, kata Ateng, Situ Cipondoh sangat murah hati. Kapan pun memancing, ia bisa menenteng ikan sedikitnya lima ekor. ”Sekarang? Boro-boro lima ekor. Dapat satu mujair kurus saja sudah bagus,” kata Ateng kesal.
Ia tak heran mengapa Situ Cipondoh sekarang paceklik iklan. Sudah lama danau kecil itu tak terurus. Hampir separuh permukaan situ tertutup eceng gondok. Endapan lumpur yang tak pernah dikuras membuat danau itu makin dangkal. Belum lagi ada sebagian wilayah danau yang diuruk, diubah menjadi perumahan. Tak mengherankan, situ yang semula luasnya 142 hektare itu sekarang tinggal 119 hektare.
Cipondoh hanya satu dari sekian banyak situ di kawasan Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi yang tak terurus. Tahun 1994, Direktorat Sumber Daya Air Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah pernah menginventarisasi situ-situ yang tersisa di kawasan ini. Hasilnya, tercatat sekitar 200-an situ.
Lumayan banyak? Tunggu dulu. Dari jumlah itu, hanya sebagian kecil yang masih berfungsi normal sebagai cadangan air. ”Itu pun bagi yang masih bisa disebut situ,” kata Ir.Wahyu Hartono, S.D., pemimpin Proyek Induk Pengembangan Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (PIPWSCC), yang bertugas menangani rehabilitasi situ. Dari inventarisasi itu, sebagian besar situ sudah rusak, hilang teruruk, atau berubah fungsi. ”Dulu, luas total situ di kawasan ini mencapai 2.352,10 hektare, tapi sekarang tinggal 1.467,78 hektare,” kata Wahyu (lihat tabel).
Dari hasil inventarisasi pula diketahui bahwa dua wilayah yang kondisi situnya paling parah adalah Tangerang dan Bekasi. Di kabupaten dan kota madya Tangerang, dari 45 situ yang ada dengan luas semula 1.335,35 hektare kini tinggal 817,10 hektare, alias menyusut 61 persen. Sedangkan di kabupaten dan kota madya Bekasi, dari 17 situ yang semula luasnya 151,10 hektare kini tinggal 10 hektare. ”Sebagian besar beralih fungsi menjadi lahan pertanian atau hunian,” kata Wahyu.
Di wilayah Bogor, daerah penyangga air utama untuk Jakarta, kondisinya tak lebih baik. Dari sekitar 100 situ yang semula luasnya mencapai 518,53 hektare, kini yang tersisa hanya 488,36 hektare. Itu pun hanya 12 situ yang bisa disebut terawat. Selebihnya, 84 situ rusak berat dan 4 lainnya setengah rusak.
Tak kalah kacau adalah situ di wilayah DKI Jakarta. Di sini, tercatat ada 16 situ dengan luas total 168,42 hektare. Namun, dalam pemantauan Tempo pekan lalu, Situ Ulujami, Rawa Kendal, Rawa Rorotan, dan Rawa Penggilingan sudah tinggal nama. Sementara itu, Situ Kelapa Dua Wetan, Ciracas; Situ Baru atau Situ Jambore di Kompleks Bumi Perkemahan Graha Wisata Pramuka; Situ Babakan di Kelurahan Babakan, Jagakarsa, Jakarta Selatan; dan Situ Lembang di Kelurahan Menteng, Menteng, Jakarta Pusat, tampak jelas mengalami pendangkalan dan penyusutan.
Menurut Wahyu, musnahnya situ antara lain karena terjadinya penyerobotan lahan. Karena penyerobotan demi penyerobotan dibiarkan, lama-kelamaan penggarap dan pemukim liar merasa bahwa lahan situ adalah tanah ”gratisan”. Untuk menagih lagi ke mereka, sudah terlambat, karena di sana telanjur berdiri rumah atau kebun. ”Malah sudah ada tanah yang punya sertifikat segala. Lha, mereka beli dari siapa? Situ kan milik pemerintah,” kata Wahyu.
Sulitnya mengurus situ juga diakui Kepala Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta, Fodly Misbach. Padahal Pemda DKI memasang target menyediakan 13 persen lahan terbuka untuk daerah resapan air. Saat ini target tersebut baru tercapai 8 persen, termasuk di dalamnya untuk situ. ”Menangani situ sama seperti mengurusi pedagang kaki lima yang merasuk sampai ke trotoar,” keluh Misbach.
Agaknya, tak banyak yang paham bahwa situ adalah cadangan alam yang sangat penting, bukan hanya untuk menyimpan air, tapi juga untuk meredam banjir. Sebagai tempat parkir, situ berfungsi menampung air dalam volume tertentu agar air tidak meluber ke mana-mana. Ini berarti situ juga berfungsi mengurangi volume air permukaan (run off) yang tak tertampung dan menjadi penyebab banjir.
Pentingnya peran situ untuk meredam banjir digambarkan Ir. Suwardi S.S., Kepala Proyek Pengembangan dan Pengelolaan Sumber Air Ciliwung Cisadane. Ia menghitung, dengan total luas situ sekarang sekitar 1.467,78 hektare, jika diasumsikan kedalaman rata-rata dua meter, berbagai situ di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi mampu menampung sekitar 29 juta meter kubik air. Bila situ dikeruk dengan teratur dan dijaga pada kedalaman ideal empat meter, volume air yang dapat tertampung mencapai tiga kali lipat atau sekitar 73 juta meter kubik. ”Ini artinya, jika berfungsi baik, situ bisa mengurangi puncak banjir di Jakarta hingga 25 persen,” kata Suwardi.
Pemerintah memang sudah mencoba melakukan perbaikan. Mei lalu, misalnya, tiga menteri—Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Dalam Negeri, serta Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah—menandatangani kesepakatan bersama ”Perlindungan dan Pelestarian Situ Terpadu Jabodetabek”. Perjanjian ini ikut pula ditandatangani tiga kepala daerah di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, plus tujuh bupati dan wali kota di Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi.
Toh, kesepakatan tinggal kesepakatan. Minimnya alokasi dana untuk menyelamatkan situ membuat kesepakatan itu tinggal janji di atas kertas. Suwardi memberi contoh, untuk memperdalam situ, diperlukan dana Rp 50 ribu per meter kubik. Nah, jika 200 situ harus dikeruk secara teratur sampai kedalaman ideal empat meter, akan diperlukan dana sedikitnya Rp 500 miliar. Padahal dana penyelamatan situ yang tersedia cuma Rp 4 miliar, atau hanya cukup untuk mengeruk empat-lima situ.
Keterbatasan dana pula yang membuat tim PIPWSCC saat ini hanya bisa mencegah musnahnya situ, bukannya mengembalikan situ ke luas asalnya. ”Paling tidak, orang tahu bahwa di lokasi itu ada situ,” kata Suwardi. Kalaupun melakukan rehabilitasi, kata dia, PIPWSCC menetapkan prioritas ketat. Tahun ini, misalnya, empat lokasi situ yang akan direhabilitasi atau dikeruk yaitu Situ Ciriung, Cibinong; Situ Pengasinan, Depok; Situ Wanaherang, Gunung Putri, Bogor; dan Situ Kelapa Dua (tahap II), Tangerang.
Tapi pengerukan saja memang tidak cukup. Menurut Dr. Ernan Rustiadi, Kepala Pusat Studi Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah (P4W) Institut Pertanian Bogor, yang juga harus dilakukan adalah melakukan penghijauan di sekitar situ, penegakan aturan yang tegas, serta pengawasan terhadap luas dan fungsi situ. ”Kalau, misalnya, situ di dekat aliran sungai, mungkin dibuat saluran khusus agar ketika ada kiriman air dari Bogor bisa ditampung dengan baik,” katanya.
Di tengah makin mahalnya harga tanah, lahan situ memang menggiurkan. Tapi, jika penyerobotan terus dibiarkan, bukan hanya ikan yang tak bisa dipancing, banjir pun bakal makin leluasa menerjang.
Raju Febrian, Deffan Purnama (Bogor), Multazam
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo