Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA kejadian tak biasa di kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat di Bagdad, Irak, pada 30 September lalu. Pagi itu, seorang jenderal bintang tiga Rusia mendatangi Kedutaan. Berjalan melewati penjagaan pasukan marinir bersenjata lengkap, ia membawa pesan yang sangat gamblang: militer Rusia akan memulai serangan udara di Suriah dalam waktu satu jam. Militer Amerika, kata sang jenderal, harus segera mengosongkan wilayah.
Omongan jenderal yang tak diketahui identitasnya itu rupanya bukan pepesan kosong. Hari itu juga jet-jet tempur Rusia membombardir negara tetangga Irak tersebut. Serangan burung besi Negeri Beruang Merah menghantam delapan titik yang diklaim sebagai kantong-kantong milisi kelompok radikal Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Washington hanya bisa melongo mengetahui tindakan sekonyong-konyong Rusia.
Aksi militer di Suriah itu tak lepas dari komando Presiden Rusia Vladimir Putin. Dua hari sebelumnya, Putin telah mengisyaratkan dukungan militer terhadap Presiden Suriah Bashar al-Assad. "Kesalahan besar untuk menolak bekerja sama dengan pemerintah Suriah dan pasukan bersenjatanya yang gagah berani memerangi terorisme (ISIS-red)," katanya dalam pidato di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, seperti dikutip The Guardian.
Di Suriah, di bawah rezim Putin, Rusia seakan-akan terbangun dari tidur panjang. Rusia—wajah baru Uni Soviet—muncul dan menggebrak dua dasawarsa seusai Perang Dingin. Negara itu mengagetkan rival lamanya, Amerika Serikat, yang mendukung kelompok oposisi dan ingin menggulingkan Assad. Di negara yang empat tahun dikoyak perang saudara itu pula Rusia mencoba menantang kembali dominasi Amerika dalam peta politik dunia.
Harian Der Spiegel menggambarkan aksi Rusia di Suriah sebagai upaya Putin untuk mengembalikan euforia kedigdayaan Soviet. Bersama Amerika, Soviet pernah menjadi dua negara adidaya selepas Perang Dunia II. Namun negara komunis itu tumbang dalam Perang Dingin dan melahirkan Federasi Rusia, yang ternyata kurang bertaji. "Rusia ingin bangkit lagi berkat pemimpin yang keras kepala," demikian dituliskan Der Spiegel.
Sebelum beraksi di Suriah, Putin melakukan manuver yang provokatif di Eropa Timur. Tahun lalu, pria 63 tahun ini membikin geger dunia setelah negaranya menginvasi Ukraina dan mencaplok Crimea "secara resmi" melalui referendum. Kebijakan luar negeri Putin yang agresif tersebut menuai kecaman, terutama dari Uni Eropa, PBB, dan Amerika Serikat.
Toh, Putin tak menghiraukan protes dan ancaman dari Barat. Belakangan, aneksasi Crimea diketahui sangat menguntungkan Rusia. Kampanye militer Moskow di Suriah mengandalkan serangan udara melewati wilayah udara Irak dan Iran. "Tapi ada alternatif lain, yaitu serangan jarak jauh via kapal perang dari lepas pantai Crimea di Laut Hitam," demikian diberitakan Military Times.
Peran Putin memang teramat vital bagi sepak terjang Rusia. Majalah Forbes menobatkannya sebagai pria paling berkuasa pada 2014. Putin menapaki karier politik sejak ditunjuk sebagai perdana menteri menggantikan Sergei Stephasin pada Agustus 1999. Kiprahnya terus meroket setelah dipercaya Boris Yeltsin sebagai pejabat presiden menjelang awal tahun 2000. Sejak itu, Putin tak pernah lepas dari tampuk kekuasaan Rusia.
Lahir di Leningrad—kini bernama St Petersburg—Putin dibesarkan di keluarga sederhana. Bapaknya, Vladimir Spiridonovich Putin, adalah pejuang pada Perang Dunia I. Adapun ibunya, Maria Shelomova, mengasuh Putin di rumah. Ia sejak belia gemar menggeluti judo—keputusan yang ditentang oleh ibunya. "Setiap kali saya pergi berlatih, ia selalu menggerutu," kata Putin dalam situs pribadinya.
Putin tak pernah mengira bakal menjadi presiden. Semasa muda, lelaki pirang berparas pucat ini bercita-cita menjadi pilot, pelaut, atau agen intelijen. Di akhir masa sekolah, Putin memilih berkarier di dinas rahasia (KGB). Ia pun mendatangi kantor direktorat KGB untuk mencari informasi tentang cara menjadi intel. Dari sana, Putin diberi tahu, untuk bekerja di KGB, ia harus lebih dulu menjadi tentara atau kuliah hukum. "Sejak itu, saya menyiapkan diri untuk kuliah jurusan hukum di Leningrad State University," ujarnya.
Agaknya Yeltsin telah lama menyadari potensi Putin. Ia pernah meyakinkan rakyat Rusia akan kemampuan suksesornya itu. "Ia (Putin) mampu mengulangi kejayaan Rusia yang baru pada abad ke-21," kata Yeltsin sebelum lengser. Bahkan mantan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton pernah memuji Putin sebagai pemimpin yang bisa menjadikan Rusia kuat dan berpengaruh.
Dan, benar saja, Putin mulai membuktikan kehebatan dirinya. Ia mengawali upaya membangkitkan kejayaan Soviet dengan cara mengubah lagu kebangsaan Rusia berjudul Patriotiskaya Pesn. Lagu patriotik tanpa lirik itu diganti dengan himne Uni Soviet, Gimn Sovetskogo Soyuza, yang liriknya digubah menjadi Gimn Rossiyskaya Federatsiya atau himne Federasi Rusia.
Putin juga membangun kesan perkasa Soviet melalui pencitraan dirinya yang bergaya macho. Media Rusia kerap memuat foto Putin yang sedang menembak harimau, memancing di alam liar, menunggang kuda dengan bertelanjang dada, hingga membanting lawan saat bertanding judo.
Pencitraan macho ala Putin terlihat berbeda, misalnya, dengan Presiden Amerika Serikat Barack Obama. Rival utama Putin itu justru lebih menunjukkan kesan sporty dengan bermain basket—olahraga favorit Obama. Gaya Obama pun kasual dengan tetap mengenakan kemeja lengan panjang yang ujungnya digulung.
Terlepas dari pencitraan yang sering menjadi bahan olokan di dunia maya, Putin perlahan membangun kekuatan Rusia. Ia mereformasi tubuh militer peninggalan Soviet yang sudah usang. Putin juga mengalokasikan anggaran yang besar di bidang pertahanan. "Industri pertahanan Rusia dibangun dari puing-puing," kata Vadim Kozyulin, ahli militer di PIR Center, lembaga think tank di Moskow.
Tahun ini, misalnya, pemerintah Rusia menghabiskan anggaran pertahanan US$ 81 miliar (sekitar Rp 1.093 triliun)—jauh melampaui Negeri Abang Sam. Dana jumbo itu antara lain dipakai untuk memperbarui persenjataan, seperti pesawat tempur siluman dan tank generasi mutakhir.
Namun, menurut Kozyulin, kekuatan militer Amerika saat ini masih jauh lebih unggul daripada Rusia. Amerika memiliki 1,35 juta tentara. Bandingkan dengan 845 ribu tentara Rusia. Begitu pula untuk jet tempur, pesawat pengangkut, dan kapal selam. Rusia hanya unggul tipis dalam kepemilikan hulu ledak nuklir, yang sebagian besar peninggalan Perang Dingin. "Keseimbangan militer hanya bisa dipastikan dengan kekuatan nuklir Rusia," ujarnya.
Mark Galeotti, ahli keamanan Rusia dari New York University, berpendapat senada. Ia mengatakan kampanye militer Rusia di Suriah sebenarnya merupakan pertaruhan besar bagi Moskow. "Ini cukup sulit bagi mereka. Sesuatu yang rumit secara logistik," katanya. "Rusia belum siap bila harus adu kekuatan jangka panjang."
Bagi Putin, Suriah bakal menjadi arena pembuktian untuk mengulang kejayaan Soviet sebagai kekuatan pengimbang Amerika. Romantisisme masa lalu terasa kental di sana karena Rusia dan Suriah, seperti dituliskan Boston Globe, merupakan sekutu lama. "Kembali ke era Perang Dingin, Uni Soviet pernah menjalin koalisi dengan Hafez al-Assad, mantan Presiden Suriah yang juga ayah Bashar al-Assad."
Mahardika Satria Hadi (The Guardian, Military Times, Der Spiegel, Boston Globe)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo