Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH dua bulan keluar dari penjara, Kasdi—bukan nama sebenarnya—terus dihantui bayangan menakutkan. Ia belum bisa melupakan rentetan peristiwa buruk yang menimpanya beberapa bulan lalu. "Tiap malam dia gelisah dan seperti orang linglung," kata Sawi, ayah Kasdi, Rabu pekan lalu.
Untuk mengalihkan perhatian Kasdi, Sawi menyuruh anak bungsunya itu bekerja apa saja. Beberapa hari terakhir, Kasdi menjadi kuli pemetik mangga di perkebunan di Desa Dukuh, Kecamatan Ciasem, Subang, Jawa Barat. Upah Rp 60 ribu per hari selalu dia berikan kepada ibunya, untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang juga bekerja serabutan.
Pertengahan April lalu, Kepolisian Resor Subang menangkap Kasdi dengan tuduhan perampokan dan pembunuhan berencana. Lulusan sekolah menengah pertama itu lalu dijebloskan ke penjara selama lima bulan.
Kasdi mengalami rentetan kejadian buruk sejak penduduk desa menemukan mayat Wasdi alias Abel bin Dasturi pada 14 April 2015. Jasad pria pemilik salon dan perias pengantin itu ditemukan bersimbah darah di area persawahan Desa Ciasem Hilir, sekitar empat kilometer dari rumah Kasdi.
Keesokan harinya, polisi menangkap Kasdi, yang waktu itu masih berumur 16 tahun. Polisi juga menangkap Ujang alias Joprak dan Ratim alias Opay. Beberapa hari kemudian, polisi menembak mati Agus Chika di Citeureup, Bogor. "Pelaku melawan ketika hendak ditangkap," ujar Kepala Polres Subang Ajun Komisaris Besar Harry Kurniawan waktu itu kepada wartawan. Menurut polisi, Agus merupakan residivis yang sudah sepuluh kali mencuri sepeda motor.
Kepada orang tua dan kuasa hukumnya, Kasdi bercerita, selama dalam tahanan polisi, ia mengalami berbagai kekerasan. Yang paling berat, ketika dibawa polisi untuk menjemput Agus, Kasdi ditembak pada betis kirinya. "Di tengah jalan dia sempat dilepas, lalu ditembak," kata kuasa hukum Kasdi, Doni Nurhidayat.
Di Pengadilan Negeri Subang, jaksa penuntut umum Budi Bawono mendakwa Kasdi melakukan pembunuhan berencana dan perampokan atas Wasdi bersama terdakwa lain. Menurut jaksa, Agus merupakan otak pembunuhan pada Senin malam, 13 April 2015, itu. Adapun Kasdi bertugas memegangi tangan kiri Wasdi ketika korban dibacok Agus.
Dalam persidangan berikutnya, terkuak fakta yang berbeda dari dakwaan jaksa. Seorang terdakwa, Ratim alias Opay, menyatakan Kasdi dan Ujang tidak terlibat pembunuhan. Ratim, yang mengaku lama berkawan dengan Agus, lantas menceritakan urutan kejadian malam itu.
Pada Senin petang, menurut Ratim, Agus menelepon Wasdi dan mengajaknya keluar bersama. Selepas magrib, Wasdi menjemput Agus ke rumah kosnya dengan mengendarai sepeda motor. Ratim, yang lebih dulu berada di rumah Agus, diajak serta berjalan-jalan.
Sekitar pukul 19.00, mereka meninggalkan tempat kos Agus dengan berboncengan memakai motor milik Wasdi. Ketika melewati area persawahan yang sepi di Desa Ciasem, Ratim meminta Wasdi berhenti. Dia meminta izin buang air kecil.
Ratim, yang berjalan menuju area persawahan, diikuti Wasdi. Ketika Wasdi lengah, Agus membacoknya dua kali di bagian punggung hingga terluka 13 sentimeter. Agus lalu menggorok leher Wasdi sampai nyaris putus.
Ratim mengaku berupaya menghentikan Agus, tapi gagal. Karena takut ditangkap polisi, Ratim pun melarikan diri. Dalam pelarian, Agus menjual sepeda motor Wasdi seharga Rp 1,7 juta.
Tiga kawan Kasdi juga memberikan kesaksian yang mengandaskan dakwaan jaksa. Mereka adalah Feri, Rahim, dan Sukari. Menurut mereka, ketika pembunuhan Wasdi berlangsung, Kasdi sedang berada di rumah Sukari. "Dari pukul 18.30 hingga 23.00, Kasdi bermain kartu remi di rumah saya," ujar Doni Nurhidayat menirukan keterangan Sukari.
Di persidangan, Kasdi pun mencabut keterangan dia pada berita acara pemeriksaan di kepolisian. Kasdi mengatakan ia mengaku membunuh karena ditekan penyidik. "Dia terpaksa mengaku karena takut ditembak lagi," kata Doni.
Pada 21 Agustus lalu, Pengadilan Negeri Subang membebaskan Kasdi dari semua dakwaan jaksa. Majelis hakim yang dipimpin Rahmasari, dengan anggota Aryaniek Andayani dan Aida Fitriani, menyatakan dakwaan jaksa tidak cukup bukti.
Menurut juru bicara Pengadilan Negeri Subang, Benny Sudarsono, dari sembilan saksi—termasuk tiga saksi dari kepolisian—tak ada yang menyatakan Kasdi terlibat pembunuhan Wasdi.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Subang Inspektur Satu Indra Maulana menyatakan tak ada masalah dengan rontoknya dakwaan jaksa. "Vonis itu sudah bukan ranah kami lagi," ujar Indra.
Menurut Indra, penetapan Kasdi dan Ujang sebagai tersangka telah memenuhi persyaratan. "Makanya jaksa penuntut umum menyatakan berkas lengkap." Menanggapi tudingan keluarga dan pengacara bahwa polisi menembak kaki kiri Kasdi, Indra hanya mengatakan, "Walah, saya lupa."
Menurut Doni Nurhidayat, Kasdi dan keluarga belum berencana menuntut negara atas perlakuan tidak adil yang mereka terima. Mereka pun masih ketakutan karena jaksa berencana mengajukan permohonan kasasi atas vonis bebas yang diterima Kasdi.
Yuliawati, Nanang Sutisna (Subang)
Ganti Rugi Tak Sepadan
Kasdi hanya satu dari sekian banyak korban salah tangkap atau salah tuntut dalam kasus pembunuhan. Sebelumnya, Andro Supriyanto dan Nurdin Suprianto, misalnya, sempat divonis tujuh tahun penjara di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Di tingkat banding dan kasasi, Andro dan Nurdin dinyatakan tak bersalah dalam pembunuhan Dicky Maulana pada 2013. Kini dua pengamen yang biasa mangkal di kawasan Cipulir itu sedang mengajukan gugatan kompensasi atas "peradilan sesat" yang mereka alami.
Ganti rugi bagi korban salah tangkap dan salah tuntut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pasal 9 peraturan ini menyebutkan ganti rugi untuk korban salah tangkap minimal Rp 5.000 dan maksimal Rp 1 juta. Jika korban mengalami cacat atau meninggal, ganti rugi dari negara maksimal Rp 3 juta.
Kompensasi untuk korban peradilan sesat juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Namun pasal tentang restitusi dalam undang-undang ini pun menyebutkan jumlah kompensasi mengacu pada peraturan pemerintah.
Sebagian ahli dan praktisi hukum menilai jumlah ganti rugi untuk korban salah tangkap atau salah tuntut terlalu rendah. Pengajar hukum dari Universitas Trisakti, Yenti Garnasih, misalnya, mengatakan nilai kompensasi seharusnya mengikuti harga emas. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 terbit ketika harga emas di bawah Rp 25 ribu per gram. Kini harga emas mencapai Rp 500 ribu per gram.
Menurut Yenti, kompensasi dalam jumlah besar penting untuk memulihkan korban. Kompensasi yang sepadan juga penting untuk memberikan efek jera bagi aparat yang bertindak serampangan. "Agar mereka lebih berhati-hati menangani perkara," kata Yenti.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia masih membahas rencana revisi atas peraturan pemerintah tersebut. Menurut Direktur Jenderal Perundang-undangan Widodo Ekatjahjana, pemberian kompensasi kelak akan meliputi tahap penahanan tersangka, terdakwa, dan bahkan terpidana. "Korban di tahap mana pun nanti dipersilakan menggugat negara," ujar Widodo.
Yuliawati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo