Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Glasgow, Juni 2004. Berita kematian anaknya muncul dalam siaran televisi pada pagi hari. Sebelas tahun lalu, Rose Gentle tengah menikmati kopi pada pagi hari saat stasiun televisi menayangkan detik-detik terakhir kehidupan anaknya, Gordon, yang baru berusia 19 tahun. Saat itu perempuan asal Kota Glasgow, Skotlandia, ini tak sadar bahwa anaknyalah yang tengah terbaring tewas dalam rekaman serangan ranjau darat di Kota Basra, Irak, 28 Juni 2004.
"Saya hanya berpikir, Tuhan, betapa sedihnya ibu yang kehilangan anak ini," kata Rose kepada The Independent, Oktober 2011. Sempat tebersit pikiran mengerikan bahwa tentara yang tengah bersimbah darah dalam tayangan televisi itu adalah sang buah hati, Gordon. "Tidak mungkin. Kalau memang Gordon, pasti mereka sudah mengatakan kepada saya," Rose membantah dalam hati.
Ternyata mimpi buruk bagi semua ibu itu menimpa dirinya. Tiga jam kemudian, dua tentara mendatangi toko tempat Rose bekerja. Mereka memintanya duduk di mobil dan mengabarkan kematian Gordon. "Yang saya ingat hingga kini adalah berlari keluar dari mobil dan tak berhenti menjerit."
Tak butuh waktu lama bagi pelayan toko seperti Rose untuk berubah menjadi aktivis antiperang. Duka dan kemarahan yang amat dalam mengubah perempuan yang kini berusia 52 tahun itu menjadi pembicara dalam banyak pertemuan. Ia berjuang menuntut pemerintah Inggris yang terlibat dalam invasi Irak sejak 2003. Kelompok kampanye Keluarga Militer Menentang Perang yang didirikan dari kamar Gordon hingga kini telah memiliki lebih dari 3.000 anggota.
Dari semua ini, Rose hanya menyalahkan satu orang: bekas Perdana Menteri Inggris Tony Blair. Politikus Partai Buruh itulah yang meneken kesepakatan dengan Amerika Serikat agar pada 10 Maret 2003 memulai serangan bersama ke Irak. "Anak saya tidak tewas untuk Ratu ataupun negara. Ia tewas karena kebohongan Blair," ujar Rose, murka.
Ini berdasarkan hasil investigasi komisi yang dipimpin Baron Robin Butler yang diumumkan ke Inggris pada 4 Juli 2004. Temuan komisi itu menunjukkan bahwa data intelijen yang menyebutkan Irak memiliki senjata pemusnah massal ternyata tidak akurat. Meski tidak terlalu memuaskan banyak pihak, termasuk Rose, hasil penyelidikan komisi Butler mengungkapkan bahwa intelijen Inggris tidak memeriksa ulang keakuratan data intelijen mereka sebelum dilaporkan ke Downing Street 10, rumah dinas perdana menteri.
Blair membuat sebuah langkah mengejutkan dengan meminta maaf untuk pertama kali dalam wawancara dengan Fareed Zakaria dari CNN, Ahad pekan lalu. Setelah berulang kali menyangkal, Blair akhirnyameminta maaf atas keikutsertaan Inggris dalam invasi Irak pada 2003.
"Saya meminta maaf karena data intelijen yang kami gunakan ternyata salah. Walaupun dia (Saddam Hussein) sering menggunakan senjata kimia terhadap rakyatnya sendiri, program (senjata pemusnah massal) itu tidak ada," kata Blair.
Pernyataan Blair merujuk pada laporan intelijen Inggris yang menyebutkan Saddam memiliki senjata pemusnah massal—dasar serangan Amerika dan Inggris ke negara itu. Belakangan, diketahui laporan intelijen itu salah. Tapi invasi telanjur dilakukan, pemerintahan Saddam hancur, dan ia dieksekusi pada Idul Adha 2006.
Lengsernya Saddam tidak kunjung membuat Irak damai. Peperangan demi peperangan terjadi di negara itu. Salah satunya adalah konflik sektarian yang memakan banyak korban jiwa. Berbagai kelompok militan muncul. Salah satunya Al-Qaidah, dan belakangan adalah kelompok ekstremis Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Organisasi Grup Survey Irak mencatat sedikitnya satu juta warga sipil Irak serta lebih dari 4.000 tentara Amerika dan 179 anggota militer Inggris terbunuh dalam operasi di Irak dan pascaperang.
Permintaan maaf Blair tak mampu mendinginkan kemarahan Rose. Ia sangat marah karena Blair menyalahkan intelijen sebagai penyebab masalah di Irak. "Buat saya, itu bukan permintaan maaf. Sebagai perdana menteri, Blair bertanggung jawab atas seluruh informasi yang diterima. Dia yang memerintahkan perang, maka dialah yang harus disalahkan," ujar Rose kepada Daily Mail, Senin pekan lalu.
Rose dan sejumlah politikus Inggris menuding Blair sengaja memanfaatkan momentum sebelum pengumuman tenggat penyampaian hasil laporan panitia khusus Chilcot pada pekan ini. Panitia ini dipimpin diplomat senior Sir John Chilcot, yang ditunjuk oleh Perdana Menteri Gordon Brown pada 2009 sebagai tanggapan atas kemarahan rakyat Inggris terhadap perang Irak. Panitia ini diharapkan mengungkap siapa saja yang bertanggung jawab menyeret Inggris dalam invasi Irak.
Namun banyak pihak, termasuk Rose, pesimistis terhadap hasil panitia ini. "Laporan Chilcot hanya akan menghapus dosa Blair dan semua yang terlibat dalam invasi Irak," Rose menegaskan. Selain keterlibatan dua anggota komisi Chilcot yang dinilai menjadi panutan Blair dalam mengambil keputusan invasi Irak, pemerintah Inggris dinilai terlalu campur tangan karena berhak memveto penyelidikan Chilcot.
Pada 2012, naik bandingnya Kementerian Luar Negeri Inggris di pengadilan berhasil menghentikan upaya komisi Chilcot untuk membuka transkrip jutaan kata percakapan antara Presiden Amerika George W. Bush dan Blair menjelang invasi pada 2003. Sedianya transkrip ini akan dibuka kepada publik pada 2014. Namun pemerintah David Cameron menilai bila transkrip ini dibuka akan membahayakan hubungan bilateral kedua negara.
Tanda-tanda lain adalah mundurnya rencana pengumuman hasil pansus berulang kali selama bertahun-tahun. Chilcot berdalih pemunduran ini karena komisi harus memastikan semua pihak yang akan menjadi tertuduh, harus menerima draf laporan, sebelum diumumkan ke publik. Pemunduran pengumuman hasil Chilcot kali ini bertepatan dengan temuan baru dua pekan lalu.
Sebuah salinan dokumen sangat rahasia terungkap ke publik terkait dengan adanya kesepakatan antara Bush dan Blair mengenai perang Irak. Dokumen berjudul "Memorandum for the President" itu ditulis sebelum pertemuan antara Bush dan Blair pada 5-7 April 2002 di peternakan Bush di Crawford, Texas.
Menteri Luar Negeri Colin Powell, yang menulis memo itu pada 28 Maret 2002, mengatakan kepada Bush bahwa Blair akan bersama dengan Amerika. Ia meyakinkan bahwa Inggris akan mengikuti langkah Amerika terkait dengan kebijakan invasi militer terhadap Irak. Artinya, Blair menyepakati invasi militer Amerika atas Irak bahkan setahun sebelum serangan itu dimulai.
Bukan hanya itu, Blair pun terlibat lebih dalam dengan berperan sebagai seorang konsultan manajer kampanye bagi Bush, yang bertugas meyakinkan dunia internasional bahwa Saddam Hussein benar-benar memiliki senjata pemusnah massal. "Dia memiliki kemampuan presentasi luar biasa untuk meyakinkan dunia bahwa Irak merupakan ancaman bagi perdamaian internasional," Powell menulis.
Sebagai imbalannya, Powell meminta Bush menyanjung Blair dan memberikan kesan bahwa Inggris merupakan mitra sejajar Amerika Serikat. Hal ini penting karena saat itu Blair menuai cibiran rakyat Inggris sebagai "anjing pudel peliharaan Bush".
Bush jelas berhasil memberikan kesan khusus bagi Blair. Ia menjadi pemimpin negara dunia pertama yang diundang mengunjungi tempat perlindungan Bush di Crawford selama dua malam. Blair dan istrinya, Cherie, menginap di rumah tamu dekat dengan rumah utama. Bush bahkan mengundang Blair menghadiri pertemuan harian dengan badan intelijen, CIA, hal yang belum pernah ia lakukan dengan pemimpin negara mana pun.
Dokumen yang diterima Daily Mail pada Ahad dua pekan lalu itu merupakan bagian dari publikasi e-mail rahasia yang berasal dari server pribadi calon Presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat, Hillary Clinton. E-mail rahasia ini terbongkar karena pengadilan telah memerintahkan Kementerian Luar Negeri Amerika untuk mengungkap 3.000 e-mail dinas saat Clinton menjabat Menteri Luar Negeri Amerika pada 2009-2013.
Dokumen yang dijuluki "kesepakatan berdarah" ini sangat mengejutkan rakyat Inggris. Sebab,Blair pada 2002 berjanji kepada para pemilih untuk tidak menyepakati opsi invasi militer, yang tentu saja hal ini sangat bertolak belakang dengan isi dokumen rahasia tersebut. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa saat invasi Irak, Kofi Annan, bahkan menyebutkan sejatinya hanya Blair yang mampu menghentikan rencana invasi saat itu.
"Saya akan selalu bertanya-tanya apa yang terjadi seandainya Blair mengatakan kepada George (Bush) bahwa mereka tak sepaham dalam soal invasi Irak," tutur Annan kepada The Times menjelang peluncuran memoarnya pada 2012. "Saya yakin itu akan membuat Amerika berhenti sejenak dan berpikir mampukah mereka melakukan ini sendirian."
Apa pun hasil penyelidikan komisi Chilcot, yang telah menyedot dana 10,3 juta pound sterling atau sekitar Rp 213 miliar, Rose Gentle tidak akan mengubah pendiriannya tentang posisi Blair. Ia ingin Blair diseret ke pengadilan sebagai penjahat perang. Ini senada dengan desakan pemimpin baru Partai Buruh, Jeremy Corbyn, dan pemenang Hadiah Nobel Perdamaian asal Afrika Selatan, Uskup Desmond Tutu. "Saya akan membencinya seumur hidup," ucap Rose.
Sita Planasari Aquadini (The Independent, CNN, Daily Mail, The Times)
Dokumen September Tepercik Darah
Sekitar 12 tahun lalu, tepatnya 18 Juli 2003, pukul 15.20 waktu setempat, Dr David Kelly berjalan dari kediamannya di Oxfordshire, Inggris. Ia kemudian ditemukan tak bernyawa keesokan harinya di sebuah hutan dekat rumah. Hasil penyelidikan yang dibuat Lord Hutton mengungkapkan Kelly melakukan bunuh diri dengan mengiris pergelangan tangannya.
Kematian Kelly mengguncang negeri Union Jack itu. Pakar senjata biologis ini adalah narasumber rahasia dalam program Today BBC yang dibawakan Andrew Gilligan. Kelly-lah yang pertama kali menyebutkan dokumen 24 September 2002—dasar serangan Inggris dan Amerika Serikat dalam invasi Irak pada 2003—tidak akurat.
Perdana Menteri Inggris saat itu, Tony Blair, sempat tersentak ketika seorang wartawan mengabarkan kematian Kelly dan mengatakan, "Tangan Anda kini berlumuran darah."
Sebagai ilmuwan yang bekerja untuk pemerintah, Kelly bertugas memeriksa apakah pemerintah Saddam Hussein benar-benar memiliki senjata pemusnah massal seperti yang dituduhkan. Kenyataannya, Irak tak memiliki senjata itu. Meski di kemudian hari klaim BBC dan Kelly terbukti benar, saat itu pemerintah Blair mengamuk dan memaksa pemimpin BBC, Greg Dyke, mundur.
BBC, yang menolak menyebutkan nama sumber mereka, menjadi bulan-bulanan kemarahan pemerintah Blair. Hingga akhirnya terungkaplah nama Kelly ke hadapan publik. Ini yang diduga membuat Kelly tertekan dan menghabisi nyawanya sendiri. Meski demikian, tak sedikit yang menduga ia tewas dibunuh karena membocorkan rahasia pemerintah Blair.
Kesalahan utama laporan BBC adalah mereka menuding Alastair Campbell, juru bicara Blair, sebagai dalang pembuatan laporan ini. Padahal Jonathan Powell, kepala staf Blair, yang bertanggung jawab atas penyusunan laporan tersebut.
Namun kebenaran tak bisa disembunyikan. Dalam sebuah pemeriksaan komite Chilcot pada 2011, salah satu penyusun laporan September 2002, Mayor Jenderal Michael Laurie, menulis pengakuan, "Tujuan pembuatan laporan ini memang untuk melegitimasi perang, bukan menyajikan data intelijen yang akurat."
Dua topik sensasional dalam dokumen itu adalah tuduhan bahwa Irak berencana membeli uranium dari Niger untuk membuat senjata nuklir. Ditambah laporan bahwa senjata pemusnah massal yang diduga dimiliki Saddam Hussein dapat disiapkan dalam 45 menit. Poin terakhir inilah yang terutama menjadi senjata Blair untuk memperoleh dukungan rakyat Inggris dalam invasi Irak.
Hanya sehari setelah Blair mengumumkan dokumen ini di parlemen, sejumlah media Inggris, termasuk harian bertiras paling tinggi, The Sun, melansir judul bombastis yang menakutkan publik. Mereka membuat laporan yang memberi kesan bahwa Inggris akan hancur dalam 45 menit dengan senjata pemusnah massal milik Saddam. Langkah menuju invasi Irak pun terbuka lebar.
Setelah laporan BBC dan kematian Kelly, pada 2 Oktober 2003 Iraq Survey Group memastikan tak ada senjata pemusnah di negeri tersebut. Ini sesuai dengan laporan Hans Blix, ketua pengawas senjata Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada akhir Februari 2003, beberapa hari menjelang pecah perang. Jangankan membeli uranium dari Niger, laporan kelompok itu menunjukkan bahwa Saddam telah melucuti senjatanya.
Adapun "senjata pemusnah yang dapat disiapkan dalam 45 menit itu" ternyata bersumber dari laporan seorang sopir taksi Irak. Hal ini diungkap Adam Holloway, bekas petinggi militer dan anggota parlemen dari Partai Konservatif, dalam laporan bertajukThe Failure of British Political and Military Leadership in Iraq, pada 2009.
"Sang sopir membuat pernyataan kepada agen intelijen Inggris, MI6, bahwa dua komandan Irak yang menumpang kendaraannya menyebut soal ini," kata Holloway kepada The Times. "Pembicaraan mereka pun ternyata sudah terjadi dua tahun sebelum laporan itu." Bukan hanya itu. Senjata yang dapat disiapkan hanya dalam 45 menit itu bukanlah senjata lintas benua seperti yang dituduhkan, melainkan senjata biasa yang digunakan dalam pertempuran.
Pemerintah Blair berusaha menutupi lubang-lubang hitam dalam laporan tersebut. Seorang kolonel Irak bernama Al-Dabbagh, komandan unit angkatan udara sebelum perang, mengakui bahwa dialah sumber tentang senjata 45 menit itu pada Desember 2003. "Di bawah tekanan Downing Street untuk mendukung tuduhan senjata pemusnah massal, MI6 memaksa agen-agen mereka di Irak untuk melakukan apa pun," ujar Holloway.
Sita Planasari Aquadini (BBC, The Belfast Telegraph, The Times)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo