Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wajah Lucy de Laat tampak lega. Perawat berusia 40 tahun itu sudah mengabdikan tenaganya di sebuah rumah sakit di Sittard, Belanda Selatan, dengan rasa murung. Dalam 20 tahun karirnya sebagai tenaga paramedis, ia terlalu sering menyaksikan orang yang hidup dalam sakit yang tak tersembuhkan. Beberapa pasien yang dirawatnya memilih mati melalui eutanasia (mati dengan bantuan dokter).
Sebelumnya, Lucy kecut: apa yang dilakukan dokter-dokter di klinik tempatnya bekerja itu ilegal. Kini semua ketakutannya terjawab. Ratu Beatrix pekan ini siap membubuhkan tanda tangan di atas undang-undang eutanasia yang telah disetujui parlemen 19 April lalu.
Lucy bukan sosok penting di panggung politik Belanda. Ia hanya perawat biasa yang hidup di sebuah kota kecil di Negeri Kincir Angin itu. Ia juga bukan seorang moralis. "Ini tak ada kaitannya dengan agama. Ini adalah persoalan kemanusiaan, agar pasien segera bebas dari rasa sakitnya," katanya kepada TEMPO. Sekarang Lucy tengah menangani dua pasien yang sedang menanti ajal, yakni seorang penderita kanker dan seorang lagi penderita sejenis penyakit yang menyebabkan semua otot tubuh tak berfungsi.
Lucy adalah satu dari sebagian besar warga Belanda yang menyokong eutanasia. Di Negeri Tulip itu, menurut sebuah jajak pendapat, 80 persen warga menyetujui eutanasia. Selama ini di Belanda, meski tanpa payung hukum, eutanasia adalah sesuatu yang lumrah dilakukan. "Kini kami leluasa membantu pasien untuk mendapatkan kematian yang agung," kata Henk Maarten Laane, dokter yang telah 25 kali melakukan eutanasia dalam 28 tahun karirnya di dunia medis.
Menurut undang-undang yang disahkan untuk pertama kalinya di dunia itu, eutanasia dapat dilakukan setelah mempertimbangkan tiga syarat, yakni seorang pasien dinilai tak dapat disembuhkan, mengalami penderitaan yang tak lagi tertahankan, dan sadar serta menyetujui prosedur yang akan ditempuh. Bagi anak-anak usia 12 hingga 16 tahun, eutanasia dapat dilakukan tapi harus dengan izin orang tua. Izin akhir eutanasia nantinya akan dikeluarkan oleh komite kesehatan regional, yang ada di setiap daerah. Pelaku eutanasia yang nekat tidak memenuhi syarat tersebut bisa dihukum 12 tahun penjara.
Sebelum undang-undang ini diterapkan, eutanasia di Belanda dilakukan tanpa aturan baku dan selalu mengundang perdebatan. Tengoklah cerita tentang dr. Bert Keizer saat undang-undang ini belum disahkan. Ia pernah mempunyai pasien yang sebut saja namanya menjadi D. Sang pasien menderita kanker paru-paru akut. Tubuh D kurus kering dan setiap bernapas ia tersengal. Ia tak sanggup lagi bergerak.
Melalui seorang familinya, D meminta Keizer agar memberinya suntikan mati. Setelah meminta konfirmasi kepada sang pasien, Keizer setuju karena paru-paru D sudah remuk-redam digerogoti kanker sehingga tak mungkin lagi disembuhkan.
Tapi Keizer lalai: ia tak mengecek seberapa perih rasa sakit yang dirasakan sang pasien. Ia juga tak memastikan apakah keputusan D untuk mati itu diambil dengan pikiran jernih. Lebih gawat lagi, Keizer tak mengecek penyakit D dengan dokter lain sebagai pembanding.
Keizer akhirnya menusukkan jarum itu. Jarum kematian (yang agung). Memang, hingga kini, Keizer tidak dipersoalkan aparat penegak hukum, tapi kasus ini menjadi gunjingan di kalangan dokter. Kritik pedas berhamburan ke arah Keizer.
Menghadapi segala cercaan, Keizer toh bersiteguh pada keputusannya. Ia yakin tak ada yang salah dengan keputusannya itu. "Yang saya tahu, D ingin mati segera. Ia tak ingin mati perlahan, seperti seekor anjing yang merangkak ke pinggir jalan setelah ditabrak mobil," kata Keizer dengan ketus.
Keizer mungkin kini menjadi orang nomor satu dalam mendukung eutanasia. Sejauh ini kalangan dokter adalah kelompok masyarakat Belanda paling depan yang mendukung keputusan itu. "Sekarang baik pasien maupun dokter sama-sama aman," kata Menteri Kesehatan Belanda Els Borst, menyambut lolosnya undang-undang itu.
Tapi kalangan yang kontra terhadap undang-undang ini menganggap keputusan melakukan eutanasia adalah sebuah perlawanan terhadap kodrat manusia. "Tugas manusia adalah merawat kehidupan. Manusia tak berhak memberhentikan kehidupan," kata Pastor G. Leek, M.Sc., kepala paroki di Tilburg, Belanda. Gereja Vatikan bahkan telah mengkritik keras parlemen Belanda ketika draf undang-undang itu dibahas November tahun lalu.
Gonjang-ganjing pro dan kontra eutanasia mungkin belum akan berakhir. Setelah Belanda, parlemen Belgia kini bersiap-siap membahas masalah yang sama. Belum lama ini, asosiasi dokter Korea Selatan juga berdemonstrasi menuntut pengesahan eutanasia. Dan problem debat ujung hidup Datau pasien lainnyamasih akan bergulir.
Arif Zulkifli (dari berbagai sumber), Dina Jerphanion (Tilburg, Belanda)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo