Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Pelajaran dari Gugatan Soeharto

Majalah Time menang dalam kasusnya melawan Soeharto. Kebobrokan pejabat publik, meski belum terbukti secara hukum, boleh saja dimuat media massa.

29 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


KASUS gugatan mantan presiden Soeharto terhadap majalah Time layak dijadikan pelajaran bagi siapa pun yang berurusan dengan media. Pemberitaan Time yang mengungkapkan kekayaan Soeharto dan dugaan korupsi yang dilakukannya oleh majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta dianggap bukan suatu penghinaan. Majalah asal Amerika Serikat itu juga dianggap tidak bersalah, meski menuliskan dugaan korupsi yang belum dibuktikan secara hukum. Salah satu alasannya, pemberitaan itu dapat dikualifikasikan sebagai sesuatu untuk kepentingan umum yang sesuai dengan tuntutan zaman.

Hal itu terungkap dalam putusan majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta, dua pekan lalu, yang memperkuat putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Juni tahun lalu. Majelis Pengadilan Tinggi Jakarta yang dipimpin Gde Soedharta memutuskan menolak seluruh gugatan penggugat mantan presiden Soeharto terhadap majalah Time dan anggota redaksi serta korespondennya.

Majalah Time Edisi 24 Mei 1999, dengan berita sampul Soeharto Inc., menurunkan hasil investigasinya. Majalah itu menulis bahwa kekayaan keluarga mantan orang nomor satu Indonesia itu diperkirakan mencapai US$ 15 miliar dalam berbagai bentuk di seluruh dunia. Dan yang paling menghebohkan, mereka mengungkapkan dugaan transfer US$ 9 miliar dari Indonesia ke sebuah bank di Swiss, yang lantas ditransfer kembali ke Austria.

Keluarga Soeharto, yang menolak diwawancarai, tak bisa menerima tulisan itu. Lewat pengacaranya, Juan Felix Tampubolon, mereka mengajukan somasi. Juan yakin, majalah itu tak akan bisa menghadirkan bukti kekayaan kliennya, yang ia katakan tak menyimpan harta sepeser pun di luar negeri. Karena tak ditanggapi, Juan lantas menggugat majalah itu. Para reporter dan pembantu liputannya di Indonesia diajukan ke Pengadilan Jakarta Pusat dengan tuntutan fitnah dan penghinaan terhadap mantan presiden itu. Dipersoalkan pula ilustrasi berita berupa tangan Soeharto yang digambarkan seolah merangkul dengan kuat berbagai harta duniawi.

Namun, hakim menyimpulkan, gambar sampul ataupun gambar pada halaman 16-17 majalah Time edisi Asia itu masih dalam batas kewajaran. Begitu pula istilah "Soeharto Inc.". Daftar kumpulan perusahaan keluarga Soeharto adalah satu kekuatan ekonomi yang dahsyat, sehingga tidak berlebihan bila Time menggunakan "Inc." di belakang nama Soeharto.

Hakim sebenarnya sepakat bahwa Soeharto memang belum terbukti secara hukum melakukan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Namun, secara politis ada cukup alasan untuk mencurigai bahwa penggugat telah melakukan KKN selama masa pemerintahannya. Itu bisa dilihat dari Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998, tanggal 13 November 1998, yang dengan jelas menyebutkan pemberantasan KKN, antara lain dengan memeriksa Soeharto dan kroninya.

Memang, kecurigaan publik terhadap praktek KKN yang dilakukan keluarga Soeharto dan kroninya sudah bukan rahasia lagi. Adalah Zamira Loebis dan Jason Tedjasukmana, dua orang pembantu liputan Time, yang ditugasi mengorek data di Indonesia. Mereka dan 10 wartawan senior ikut mengumpulkan informasi, berkoordinasi, sampai mengecek ulang data dari seluruh dunia, terutama soal angka-angka. Waktu yang diberikan untuk liputan investigasi itu tak lebih dari dua minggu.

Rencana peliputan disusun dari sebuah kamar yang dirahasiakan di Hotel Mandarin, Jakarta. Para narasumbernya adalah dari bankir, akuntan, pengacara, pengusaha, pejabat, mantan pejabat, kerabat Cendana, sampai warga di pelosok desa yang layak diwawancarai. Sumber resmi pun dikejar, seperti presiden waktu itu, Habibie, Jaksa Agung Andi Ghalib, serta Menteri Agraria Hasan Basri Durin.

Untuk klarifikasi, pihak Soeharto juga dihubungi. Namun, upaya ini tidak berhasil. Itu sebabnya Juan menilai pemberitaan majalah itu sama sekali tidak berimbang. Menurut Juan, yang disebut berita berimbang adalah bila kedua pihak mau bicara. Jika tidak? "Jangan dianggap permintaan konfirmasi yang tidak dipenuhi itu telah memenuhi cover both sides," katanya.

Lalu, apakah konsumen pembaca harus kehilangan hak atas informasinya bila salah satu pihak tak mau bicara? Bila putusan pengadilan tinggi itu dijadikan acuan, pers tak perlu ragu mengungkap kebobrokan pejabat publik. Menurut majelis hakim, pemberitaan mengenai kecurigaan adanya penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pejabat negara berkolusi dengan pihak swasta dan konglomerat, dan nepotisme dengan keluarga pejabat negara, kini harus diterima sebagai kebutuhan. Tapi berita itu harus dibuat dengan tidak melanggar asas praduga tak bersalah dan hak asasi manusia.

I G.G. Maha Adi, Hendriko L. Wiremmer, Gita W.L.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus