TAK baru, sungguh tak baru: Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
kemelut lagi setelah agak reda sejak kongres awal tahun ini.
Ribut-ribut yang menggoyang-goyang partai bergambar kepala
banteng kali ini bukan hanya di tingkat pimpinan, tapi juga di
daerah. Pasalnya: ketidakpuasan empat eks unsur--Parkindo,
Partai Katolik, Murba dan IPKI - terhadap tindakan PNI, yang
dianggap telah menguasai sebagian besar kursi pencalonan anggota
DPR untuk Pemilu 1982.
Agar soalnya tidak berlanjut, pimpinan PDI buru-buru memanggil
para pemimpin daerah. Mereka merencanakan rapat kerja nasional
(rakernas) selama 4 hari sejak 7 Desember 1981 di Jakarta. "Kami
akan memecahkan bersama kesulitan yang dihadapi PDI menjelang
pemilu ini," kata Hardjantho Sumodisastro, Ketua DPP PDI pada
TEMPO. Bahkan rakernas yang tertunda dari rencana semula 25 - 29
November 1981 itu juga telah dilaporkan pimpinan PDI kepada
Presiden dua minggu lalu.
Asap pertama muncul di Ja-Tim. Awal November lalu, empat unsur
nonPNI daerah itu melayangkan surat ke meja Ketua Umum PDI
Soenawar Sukowati. Isinya: agar Marsusi dicopot dari jabatannya
sebagai Ketua DPD PDI, ang gota DPR dan calon untuk Pemilu 1982.
Marsusi, yang namanya mencuat sejak memelopori orang muda PDI
mengadakan "Kongres Pandaan" pada 1979 untuk membentuk DPP
tandingan itu, dinilai telah "menghidupkan kembali Marhaenisme
corak Orde Lama".
Dalam konperensi kerja daerah (Konkerda) di Pandaan Agustus
lalu, bahkan Marsusi dilaporkan menyatakan bahwa PDI adalah
milik PNI. Disebutkanlah, bahwa ia telah "memaksakan
kehendaknya" dengan memasukkan calon dari PNI menempati "nomor
basah". Ia pun dinilai berbuat terlau jauh, meninggalkan
konsensus pembagian kursi berdasarkan hasil Pemilu 1971.
Tindakan itu dianggap merugikan empat unsur lainnya. "Sejak
Oktober lalu, kami memang tidak mengakui Marsusi lagi," kata
Ramelan dari unsur IPKI, yang jadi jurubicara empat unsur
lainnya di Surabaya.
Untuk segera mendapat jawaban pusat, empat unsur itu dua minggu
lalu menemui DPP PDI di Jakarta. "Pusat menjanjikan, masalah
Marsusi akan diselesaikan setelah Pemilu," kata Ramelan kecut.
Marsusi sendiri kaget mendapat proses itu. Ia memang getol
menyerukan agar Marhaen dalam PDI bersatu. "Apakah tidak boleh?"
katanya pada TEMPO di Surabaya. Sedang soal pencalonan, ia
merasa cuma melaksanakan petunjuk pusat yaitu PNI menempati
urutan 1 sampai 6. Gerakan mendesak "tangan kanan Hardjantho di
Ja-Tim ini agaknya bakal tersendat karena posisi Marsusi
tampaknya kuat. Namun pihak penentangnya terus bersikeras. "Kami
tetap berjalan terus sampai berhasil dan sepakat tidak akan
meninggalkan PDI," kata Ramelan.
Kekuatan Sospol
Tetapi yang terjadi di PDI Kodya Madiun kelihatan lebih jauh.
Unsur Partai Katolik ngambek dan 20 November lalu menyatakan
keluar dari PDI. Alasannya sama: tidak puas dengan susunan
daftar calon yang dikuasai PNI. Tindakan itu disesalkan Wignyo
Sumarsono, Ketua DPP PDI dari Partai Katolik.
Tapi ia mencoba wajah kalem. "Keresahan yang terjadi di dalam
suatu organisasi merupakan yang biasa," katanya pada TEMPO.
Tapi A. Soepangkat, yang memelopori unsur Partai Katolik Madiun
angkat Icaki dari PDI, kelihatannya tak akan surut melangkah.
"Sikap kami ini sudah sampai titik yang tidak mungkin mundur
lagi," katanya pada TEMPO di Surabaya Sabtu lalu. Ia mengusulkan
agar DPR meninjau kembali UU no. 3/1975 mengenai Parpol-Golkar,
yang dianggap jadi sebab keributan parpol selama ini. "Kalau
bisa, saya mengusulkan agar dimungkinkan ada lima kekuatan
sospol, yaitu Golkar, PNI, Kristen/Katolik, NU dan MI," katanya.
Kalau masih dikehendaki jumlah partai berkurang lagi, bisa
dilakukan lewat seleksi alamiah. "Partai yang tidak bisa
memperoleh suara minimal, hilang hak hidupnya," katanya
bersemangat.
Tapi agak lain di Sum-Ut. Keresahan karena semakin besarnya
pengaruh dan kckuasaan PNI bisa diatasi di sini. Sebabnya
dominasi PNI diakui. "PN I itu bekas partner terbesar," kata
Panangian Siregar, Ketua DPP PDI Sum-Ut. PNI memang mengalami
masa suram dalam Pemilu 1971 karena citra buruk yang diakibatkan
"PNI-A-Su" (Ali Sastroamijoyo-Surachman). Tapi pada masa
selanjutnya, "perkembangan unsur PNI jauh lebih baik," kata
tokoh PNI ini.
Ini pula agaknya menurut Panangian, dalam pencalonan -- sesuai
instruksi DPP yang harus didukung cabang--banyak calon dari luar
unsur PNI gugur. Tidak dapat dukungan.
Di Sum-Sel, keresahan juga berkecambah akibat tidak ditaatinya
konsensus Pemilu 1971. "Di tubuh PDI SumSel, bukan hanya gejala
dominasi PNI, tapi telah menjurus ke manipulasi," kata Djaslim
Lawantara, Wakil Ketua DPD PDI dari unsur Partai Katolik. Jatah
mereka digeser ke urutan bawah. Yang non-PNI telah
memperingatkan agar konsensus pembagian kursi tetap seperti
Pemilu 1971 dan 1977. "Bilainidilanggar, maka Parkindo dan
Partai Katolik akan mengambil sikap, menarik diri dari
pencalonan," katanya mengancam.
Tapi ancaman semacam itu diterima enteng oleh salah seorang
pimpinan DPP PDI dari PNI. "Kalau mereka keluar, PNI akan jalan
terus memimpin PDI," katanya. Toh DPP berusaha membendungnya.
"Sebelum rakernas, kami usahakan mereka rukun kembali," ujar
Hardjantho.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini