Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dominasi Sisa-Sisa PNI?

Unsur di luar PNI beramai-ramai protes & mengancam keluar dari PDI. Kemudian ada usul, agar kekuatan sos-pol menjadi lima. DPD tidak puas.

5 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK baru, sungguh tak baru: Partai Demokrasi Indonesia (PDI) kemelut lagi setelah agak reda sejak kongres awal tahun ini. Ribut-ribut yang menggoyang-goyang partai bergambar kepala banteng kali ini bukan hanya di tingkat pimpinan, tapi juga di daerah. Pasalnya: ketidakpuasan empat eks unsur--Parkindo, Partai Katolik, Murba dan IPKI - terhadap tindakan PNI, yang dianggap telah menguasai sebagian besar kursi pencalonan anggota DPR untuk Pemilu 1982. Agar soalnya tidak berlanjut, pimpinan PDI buru-buru memanggil para pemimpin daerah. Mereka merencanakan rapat kerja nasional (rakernas) selama 4 hari sejak 7 Desember 1981 di Jakarta. "Kami akan memecahkan bersama kesulitan yang dihadapi PDI menjelang pemilu ini," kata Hardjantho Sumodisastro, Ketua DPP PDI pada TEMPO. Bahkan rakernas yang tertunda dari rencana semula 25 - 29 November 1981 itu juga telah dilaporkan pimpinan PDI kepada Presiden dua minggu lalu. Asap pertama muncul di Ja-Tim. Awal November lalu, empat unsur nonPNI daerah itu melayangkan surat ke meja Ketua Umum PDI Soenawar Sukowati. Isinya: agar Marsusi dicopot dari jabatannya sebagai Ketua DPD PDI, ang gota DPR dan calon untuk Pemilu 1982. Marsusi, yang namanya mencuat sejak memelopori orang muda PDI mengadakan "Kongres Pandaan" pada 1979 untuk membentuk DPP tandingan itu, dinilai telah "menghidupkan kembali Marhaenisme corak Orde Lama". Dalam konperensi kerja daerah (Konkerda) di Pandaan Agustus lalu, bahkan Marsusi dilaporkan menyatakan bahwa PDI adalah milik PNI. Disebutkanlah, bahwa ia telah "memaksakan kehendaknya" dengan memasukkan calon dari PNI menempati "nomor basah". Ia pun dinilai berbuat terlau jauh, meninggalkan konsensus pembagian kursi berdasarkan hasil Pemilu 1971. Tindakan itu dianggap merugikan empat unsur lainnya. "Sejak Oktober lalu, kami memang tidak mengakui Marsusi lagi," kata Ramelan dari unsur IPKI, yang jadi jurubicara empat unsur lainnya di Surabaya. Untuk segera mendapat jawaban pusat, empat unsur itu dua minggu lalu menemui DPP PDI di Jakarta. "Pusat menjanjikan, masalah Marsusi akan diselesaikan setelah Pemilu," kata Ramelan kecut. Marsusi sendiri kaget mendapat proses itu. Ia memang getol menyerukan agar Marhaen dalam PDI bersatu. "Apakah tidak boleh?" katanya pada TEMPO di Surabaya. Sedang soal pencalonan, ia merasa cuma melaksanakan petunjuk pusat yaitu PNI menempati urutan 1 sampai 6. Gerakan mendesak "tangan kanan Hardjantho di Ja-Tim ini agaknya bakal tersendat karena posisi Marsusi tampaknya kuat. Namun pihak penentangnya terus bersikeras. "Kami tetap berjalan terus sampai berhasil dan sepakat tidak akan meninggalkan PDI," kata Ramelan. Kekuatan Sospol Tetapi yang terjadi di PDI Kodya Madiun kelihatan lebih jauh. Unsur Partai Katolik ngambek dan 20 November lalu menyatakan keluar dari PDI. Alasannya sama: tidak puas dengan susunan daftar calon yang dikuasai PNI. Tindakan itu disesalkan Wignyo Sumarsono, Ketua DPP PDI dari Partai Katolik. Tapi ia mencoba wajah kalem. "Keresahan yang terjadi di dalam suatu organisasi merupakan yang biasa," katanya pada TEMPO. Tapi A. Soepangkat, yang memelopori unsur Partai Katolik Madiun angkat Icaki dari PDI, kelihatannya tak akan surut melangkah. "Sikap kami ini sudah sampai titik yang tidak mungkin mundur lagi," katanya pada TEMPO di Surabaya Sabtu lalu. Ia mengusulkan agar DPR meninjau kembali UU no. 3/1975 mengenai Parpol-Golkar, yang dianggap jadi sebab keributan parpol selama ini. "Kalau bisa, saya mengusulkan agar dimungkinkan ada lima kekuatan sospol, yaitu Golkar, PNI, Kristen/Katolik, NU dan MI," katanya. Kalau masih dikehendaki jumlah partai berkurang lagi, bisa dilakukan lewat seleksi alamiah. "Partai yang tidak bisa memperoleh suara minimal, hilang hak hidupnya," katanya bersemangat. Tapi agak lain di Sum-Ut. Keresahan karena semakin besarnya pengaruh dan kckuasaan PNI bisa diatasi di sini. Sebabnya dominasi PNI diakui. "PN I itu bekas partner terbesar," kata Panangian Siregar, Ketua DPP PDI Sum-Ut. PNI memang mengalami masa suram dalam Pemilu 1971 karena citra buruk yang diakibatkan "PNI-A-Su" (Ali Sastroamijoyo-Surachman). Tapi pada masa selanjutnya, "perkembangan unsur PNI jauh lebih baik," kata tokoh PNI ini. Ini pula agaknya menurut Panangian, dalam pencalonan -- sesuai instruksi DPP yang harus didukung cabang--banyak calon dari luar unsur PNI gugur. Tidak dapat dukungan. Di Sum-Sel, keresahan juga berkecambah akibat tidak ditaatinya konsensus Pemilu 1971. "Di tubuh PDI SumSel, bukan hanya gejala dominasi PNI, tapi telah menjurus ke manipulasi," kata Djaslim Lawantara, Wakil Ketua DPD PDI dari unsur Partai Katolik. Jatah mereka digeser ke urutan bawah. Yang non-PNI telah memperingatkan agar konsensus pembagian kursi tetap seperti Pemilu 1971 dan 1977. "Bilainidilanggar, maka Parkindo dan Partai Katolik akan mengambil sikap, menarik diri dari pencalonan," katanya mengancam. Tapi ancaman semacam itu diterima enteng oleh salah seorang pimpinan DPP PDI dari PNI. "Kalau mereka keluar, PNI akan jalan terus memimpin PDI," katanya. Toh DPP berusaha membendungnya. "Sebelum rakernas, kami usahakan mereka rukun kembali," ujar Hardjantho.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus