PERANG Dewan Negara melawan partai Islam di Aljazair terus menggelinding sampai sasaran terakhir: dibubarkannya Front Islamique du Salut, partai Islam itu, Rabu pekan lalu. Sebenarnya, begitu pemilu putaran kedua ditunda Januari lalu, kemudian Dewan Negara memberlakukan undangundang darurat setelah terjadi sejumlah bentrokan antara pendukung partai Islam dan aparat keamanan, orang yakin pembubaran partai itu tinggal soal waktu saja. Dewan Negara, pemerintah sementara Aljazair yang dibentuk oleh militer, memang secara sistematis mencoba menghancurkan Front Islamique du Salut atau Front Islam Penyelamat (bukan Front Penyelamatan Islam seperti yang selama ini umum ditulis). Setelah pemilu dibatalkan, diturunkanlah larangan berkumpul di masjid dan sekitarnya di luar jam-jam salat. Lalu para pemimpin Front Islam itu ditangkapi, termasuk Abdelqader Hachani, pemimpin yang konon pidato-pidatonya demikian memikat. Dua pemimpin utamanya sudah terlebih dulu ditahan sebelum pemilu dibatalkan, yakni Abassi Madani dan Ali Belhadj. Tapi reaksi tak terbendung. Muncul demonstrasi dan protes di di kota-kota besar, terutama di saat-saat setelah salat Jumat. Korban pun jatuh. Aksi penangkapan makin leluasa setelah keadaan darurat diundangkan, 9 Februari lalu. Hari itu juga menteri dalam negeri menyampaikan pengaduan pada pengadilan untuk membubarkan Front Islam yang dianggap melanggar hukum. Tercatat kemudian dalam bentrokanbentrokan itu 50 meninggal dan ratusan cedera. Sampai dibubarkannya Front Islam pekan lalu, mereka yang ditahan mencapai jumlah 5.000 orang. Kini, menurut informasi seorang diplomat Asia di Aljier, suasana memang tenang. Para pendukung Front Islam terkesan pasrah dengan dilarangnya partai mereka, apalagi para pemimpinnya, bahkan sampai ke pemimpin tingkat masjid, berada dalam tahanan. "Ya, hakim sudah memutuskan partai dibubarkan, mau apa?" kata seorang pendukung Front Islam. Sebenarnya terbuka pengajuan banding atas keputusan pengadilan, dalam tenggang waktu satu minggu. Tapi, hingga akhir pekan lalu tanda-tanda akan ada pengajuan banding belum tercium. Hanya ada satu komunike yang ditandatangani oleh Abderazzak Rajam, seorang pemimpin Front Islam yang masih tetap buron. "Orang akan menemukan cara lain selain penindasan untuk mewujudkan aspirasi mereka," tulis komunike itu. Tak jelas, adakah maksud komunike itu menyatakan akan ditempuh cara berjuang yang lain, atau ada maksud lainnya lagi. Yang pasti, sehari setelah pembubaran Front Islam, tiga tokoh Islam Aljazair mendirikan Kelompok Solidaritas Islam. Segera pula ketiga tokoh itu menuntut pemerintah agar menghapus keadaan darurat dan membebaskan tahanan politik, termasuk tokoh dan aktivis Front Islam. Tampaknya, berdirinya Kelompok Solidaritas membuktikan aspirasi Islam tak mungkin dihapuskan di negara yang mayoritas penduduknya Islam itu. Kata seorang diplomat Asia, dilarangnya Front Islam hanyalah menyebabkan partai itu ganti baju. Mayoritas umat Islam Aljazair yang berada di lapisan sosial bawah tampaknya membutuhkan wadah berwarna Islam untuk memperjuangkan nasib mereka. Konon, para pendiri Kelompok Solidaritas memang pendukung Front Islam, tapi selama ini bergerak di bawah tanah. Diduga, kelompok ini bakal lebih militan dibandingkan Front Islam. Sementara itu, pihak Dewan Negara terus melancarkan aksi membendung ruang gerak aktivis dan simpatisan Front Islam. Hampir semua imam 9.000 masjid di seantero Aljazair diganti dengan imamimam yang menurut ukuran Dewan Negara bisa diajak kompromi. "Pemerintah sudah tahu banyak faktor yang membuat Front Islam menjadi sangat populer, dan akan segera menempuh langkah perubahan kebijaksanaan," kata seorang diplomat Indonesia kepada TEMPO. Kebijaksanaan itu antara lain mengangkat ekonomi lapisan bawah. Dengan utang luar negeri US$ 25 milyar, Aljazair memang memikul beban berat. Tapi, demi kestabilan politik, mulai dibangun 150.000 perumahan untuk kelas bawah, yang diharapkan selesai akhir tahun ini. Yang meringankan Dewan Negara, kabarnya keran kredit telah mengalir setelah Mohammad Boudiaf, ketua Dewan Negara, berhasil meyakinkan Eropa Barat dan Dana Moneter Internasional bahwa "pemerintah Aljazair tidak mematikan demokrasi, tapi melarang partai yang antidemokrasi". Yang terlambat, soal menampung aspirasi Islam itu. Telanjur berdiri Kelompok Solidaritas yang konon siap beraksi. Liston P. Siregar (Jakarta) & DB (Kairo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini