INILAH awal sebuah perang, yang mungkin bakal panjang. Ahad dua pekan lalu, 2.500 polisi Osaka menyerbu dan menggeledah lebih dari 100 kantor milik yakuza. Hasil serangan dadakan ini: 65 yakuza ditangkap, 2,5 gram narkotik dan sepucuk pistol disita. Kecil memang hasil operasi dadakan itu dibandingkan dengan jumlah polisi yang terlibat. Tapi inilah pertama kali Keisatsucho (Badan Kepolisian Nasional Jepang) memerangi mafia Jepang dengan dibekali senjata baru: Undang-Undang Anti-Yakuza, yang mulai diberlakukan dua pekan lalu. Undangundang itu tampaknya memang membuat yakuza keder. Buktinya, mereka langsung bereaksi. Bertepatan dengan serbuan kilat polisi di Osaka itu, sekitar 200 yakuza dan simpatisannya mengenakan masker putih dan berkacamata hitam melakukan unjuk rasa di daerah pertokoan dan hiburan Ginza, Tokyo. Mereka meneriakkan yelyel: "Batalkan undangundang jelek yang melanggar konstitusi Jepang." Mereka menuduh polisi sebagai fasis, dan katanya, "Yakuza pun punya hak asasi manusia." Tak ada bentrokan. Polisi hanya mengawasi sampai demonstrasi bubar sendiri. Selama ini undangundang kriminalitas Jepang sulit dipakai menjaring boryukudan, istilah lain untuk yakuza. Soalnya, sebagian besar kegiatan yakuza di bidang perdata yang baru bisa ditindak lewat pengaduan. Padahal, sudah menjadi rahasia umum, melapor karena diganggu yakuza sama saja mengundang maut. Nah, undangundang baru memberi wewenang kepada polisi untuk melakukan penggeledahan dan pembatasan kegiatan kelompok yang dicap sebagai yakuza. Syaratnya tentu ada. Antara lain, bila dalam sekelompok orang atau satu organisasi sejumlah tertentu anggotanya punya riwayat kriminalitas, kelompok itu dianggap sebagai yakuza. "Sejumlah tertentu" itu berbeda-beda menurut jumlah anggota kelompok. Misalnya, kelompok 1.000 orang baru bisa dicap sebagai yakuza bila sedikitnya 4% anggotanya punya catatan kriminalitas. Untuk kelompok 100 orang 8% dan kelompok 4 orang 66% makin sedikit jumlah angota, makin besar persentasenya. Begitu mendapatkan cap yakuza, mereka bisa dikenai larangan-larangan. Misalnya larangan memungut "uang keamanan" pada perseorangan atau badan usaha, melakukan penagihan utang atas permintaan orang atau organisasi lain, dan melarang terlibat jual-beli tanah. Pokoknya larangan melakukan hal-hal yang selama ini diduga keras dilakukan oleh yakuza guna mencari uang. Dan dari kegiatan itulah 80% penghasilan yakuza berasal. Misalnya, di daerah Kabukicho, tempat hiburan malam terbesar di Jepang yang terletak di Distrik Shinjuku, Tokyo. Dalam areal seluas 600 m2 itu ada sekitar 2.500 tempat hiburan dan rumah makan. Di daerah itulah berdiri 120an kantor yakuza dengan 1.700 anggota berbagai macam aliran yang membagi-bagi tempat itu untuk dimintai "uang keamanan". Keisatsucho menduga dari mikajime ryo atau uang keamanan tidak resmi itu saja para yakuza bisa mengantungi 100 milyar yen setahunnya. Sebenarnya, para yakuzasan sudah mengantisipasi undang-undang baru ini. Sejak setahun yang lalu Yamaguchigumi, kelompok yakuza terbesar, mendirikan 62 perusahaan, antara lain berupa restoran, pusat kebugaran, toko mainan anak-anak, sampai rumah jompo. Tapi bila benar data dari Keisatsucho bahwa usaha legal yakuza hanya memasukkan 20% penghasilan, antisipasi ini tampaknya percuma saja. Soalnya, tanpa dukungan modal dari kegiatan menagih utang atau memungut uang keamanan tidak resmi, usaha legal itu diduga bakal ambruk. Soalnya tak hanya empat atau lima orang, tapi ribuan yang bergantung pada penghasilan organisasi kriminal ini. Misalnya, Yamaguchigumi kelompok terbesar itu, yang bermarkas di Kobe, di barat Osaka. Yoshinori Watanabe, sang ketua, membawahkan sekitar 30 ribu anggota yang terbagi dalam 900-an kelompok. Kelompok kedua adalah InagawaKai. Pusatnya di Tokyo. Jumlah anggotanya sekitar 8.300, terbagi dalam 335 kelompok. Kelompok inilah yang terlibat skandal terbesar belum lama ini. Februari lalu terbongkar penyuapan terhadap anggota parlemen dari partai berkuasa, Partai Liberal Demokratik, yang melibatkan pula Susumu Ishii, bos InagawaKai waktu itu (TEMPO, 22 Februari 1992). Tapi UndangUndang AntiYakuza ini pun tampaknya punya kelemahan. Yakni, tak sepenuhnya menjamin yakuza bakal tertumpas. Undang-undang itu memang ampuh bila yakuza bergerak seperti sekarang, yakni terbuka. Berbeda dengan mafia Amerika, mafia Jepang dari awalnya tak menyembunyikan identitasnya. Mereka biasanya mengenakan jas hitam, kacamata hitam, bahkan ada emblem di dada, dan kartu anggota di saku yang memuat lengkap nama, alamat, nama kelompok, dan kedudukannya. Bisa saja untuk melawan undang-undang ini, yakuza lalu menanggalkan segala atributnya dan bergerak di bawah tanah. Ini akan menyulitkan polisi mengidentifikasi mereka. Selain itu, segolongan kecil masyarakat, bahkan konon termasuk sebagian politikus dan pengusaha, membutuhkan kehadiran mafia. Misalnya untuk membebaskan tanah. Dengan bantuan yakuza, pembebasan itu bisa praktis. Lewat pemerintah, selain belum tentu berhasil, pembebasan itu makan waktu dan ongkos. Itulah, demonstrasi yang lalu juga didukung para simpatisan yang membutuhkan kehadiran yakuza. Seorang boryokudan berkata, "Yakuza tidak akan hilang, tidak mati." Tampaknya yang dibutuhkan kini adalah adu cepat. Kesigapan polisi mengidentifikasi yakuza, dan kecepatan yakuza menghilang menjadi gerakan bawah tanah. Sri Indrayati (Jakarta), Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini