DALAM hal melibatkan rakyat dalam proses pengambilan keputusan, Arab Saudi tertinggal sebelas tahun dari Oman. Negara Emirat kedua terbesar di Jazirah Arab ini sudah sejak 1981 memiliki Majelis Konsultatif, beranggotakan 55 orang. Di Oman, Majelis Konsultatif yang terdiri dari wakilwakil pemerintah, daerah, dan pribadi yang mewakili sektor bisnis ini bertugas membahas masalah pembangunan sosial dan ekonomi. Juga mengusulkan kebijaksanaan pemerintah di masa depan. Pendeknya, majelis ini menjadi semacam badan penasihat bagi penguasa Oman, Sultan Qabus bin Said, yang merangkap sebagai perdana menteri dan menteri pertahanan, di negara berpenduduk 1,5 juta itu. Bahkan kini, kabarnya, sedang dirintis pembentukan majelis serupa tingkat daerah (semacam DPRD). Anggota Majelis Konsultatif ditunjuk oleh Sultan Qabus. Sang Sultan, kini 52 tahun, yang naik takhta saat masih muda usia (29 tahun) itu, memang dinilai berhasil melancarkan modernisasi dan memajukan negaranya. Sebelum Qabus naik panggung kekuasaan tahun 1970, Oman termasuk negara tradisional yang terbelakang. Memang, sejak 1967, Oman sudah kecipratan rezeki minyak. Tapi, karena Sultan Said bin Taimur (ayah Qabus), penguasa waktu itu, alergi terhadap segala yang berbau Barat dan modern, duit minyak tak banyak membantu kesejahteraan rakyatnya. Oman, dalam pemerintahan Said, dijalankan sesuai dengan yang dilakukan para pendahulunya: dengan sistem monarki absolut yang tradisional. Perbudakan, misalnya, masih merajalela di Oman pada dasawarsa 1960 itu. Ketakutan Sultan Said terhadap Barat diwujudkan secara aneh: ia melarang rakyatnya memiliki radio, mobil, sepeda, bahkan melarang pemakaian kacamata gelap. Qabus, yang saat itu masih putra mahkota, sempat dikenai tahanan rumah selama 3 tahun, setelah pulang dari menjalani pendidikan militer di Inggris. Bukan karena Qabus melakukan suatu pelanggaran, tapi semata untuk "merontokkan pengaruh kebudayaan Barat". Mungkin karena pengalaman itu, begitu naik takhta, Qabus langsung menjanjikan modernisasi. Dan ia berhasil, terutama dalam sektor ekonomi dan sosial. Kotakota diubah menjadi permukiman modern, yang benderang karena listrik. Jalan-jalan mulus dibangun, termasuk di pedalaman. Penduduk negara seluas 300 ribu km2 ini kini hidup makmur, dengan penghasilan per kepala sekitar US$ 5.500 (sepuluh kali lipat Indonesia). Sektor pendidikan dan kesehatan mendapat perhatian besar, dan gurun menjadi hijau oleh perkebunan. Jauh-jauh hari Oman sudah punya perhitungan: tak ingin tergantung minyak. Pemerintah Qabus sudah lama menggalakkan industri nonminyak, misalnya industri pakaian jadi konon sudah diekspor ke Amerika. Tak heran jika dibandingkan dengan pendahulunya, Qabus tak perlu menghadapi pemberontakan rakyatnya. Kehidupan politik berjalan mulus. Jurus Qabus, membentuk Majelis Konsultatif, selain datangnya kemakmuran, tampaknya membuat rakyat Oman tak keberatan dengan kekuasaan absolut sang Sultan. Memang ada faktor lain, yakni pemerintahan Qabus tergolong paling bersih di kawasan penghasil minyak itu. Tudingan korupsi terhadap penguasa hampir tak terdengar. Tapi berbeda dengan di Arab Saudi, Oman memang tak diganggu oleh gerakan Islam radikal. Potensi munculnya oposisi memang kecil di sini. FS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini