Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ARTILERI membelah langit Kota Aleppo satu jam sebelum asar, Rabu dua pekan lalu. Pekik suaranya yang terdengar di kawasan Al-Shaar menghasilkan reaksi berbeda. Sebagian penduduk yang berada di jalan mendongak ke atas. Sebagian lagi membungkukkan badan. Perempuan dan anak kecil langsung lari ketakutan.
Dentuman keras terdengar. Entah dari mana peluru kaliber besar dilontarkan, tak sampai tiga menit, pekik dan dentuman yang sama menyusul dua kali. Suara Kalashnikov menggema dari beberapa penjuru. Kemudian asap hitam mengepul dari kawasan Karm al-Jabal.
Tak sampai setengah jam, sedan putih melaju cepat dari arah barat Aleppo. Seorang pria berteriak dalam bahasa Arab, menyuruh semua orang minggir. Berhenti di depan Rumah Sakit Dar al-Shifaa, empat Tentara Pembebas Suriah yang menyandang Kalashnikov buru-buru turun dari mobil. Para serdadu itu langsung menggotong rekan mereka yang dibungkus selimut tebal bernoda darah yang masih basah.
Dokter rumah sakit membuka selimut. Darah mengalir deras dari leher tentara itu. Tangan kanannya entah ke mana. Siku kanan dan lutut kirinya berlubang. Tangan dokter itu meraba leher tentara yang tak lagi mengeluarkan suara tersebut. Dokter menggelengkan kepala. Teriakan takbir pun menggema dari seorang serdadu, yang dibalas seruan "Allahu Akbar" dari belasan Tentara Pembebas Suriah yang berada di dalam dan di halaman rumah sakit.
Hari itu, pertempuran membesar kembali di Suriah setelah gencatan senjata disetujui Presiden Suriah Bashar al-Assad dan pemberontak untuk menghormati Idul Adha selama empat hari hingga Ahad. Sebelumnya, hanya terjadi pertempuran yang tak terlalu besar.
Seorang pemberontak dari Karm al-Jabal bercerita, pagi itu tiga rekannya tewas akibat mortir yang diluncurkan tentara pemerintah. Satu lagi tewas terkena peluru penembak jitu. Dokter di Rumah Sakit Dar al-Shifaa, Osman al-Haj, mengatakan hari itu ia mulai sibuk kembali. Saat gencatan senjata, tak ada tentara pemberontak tewas di rumah sakit, meskipun ada saja anggota Tentara Pembebas Suriah tertembak.
Sebagian serdadu di rumah sakit menangisi rekan mereka yang tewas. Tak sampai setengah jam, mereka kembali ke medan pertempuran. Pekik "Allahu Akbar" kembali berkumandang.
TIGA bulan terakhir, Tentara Pembebas Suriah semakin memenuhi Aleppo, kota terbesar di Suriah. Sebagian besar datang dari Azaz, kota di bagian utara. Menjelang akhir Agustus, oposisi memenangi pertempuran di Azaz. Perbatasan dengan Kota Kilis, Turki, itu bisa dikuasai pemberontak. Menang di satu kota, mereka bergerak ke kota lain.
Kebencian terhadap Presiden Bashar al-Assad di Suriah memuncak setelah unjuk rasa di Kota Dar'a, Maret tahun lalu, berakhir dengan tewasnya sejumlah demonstran yang menginginkan Bashar mundur. Sebagian besar penduduk di kawasan utara mengangkat senjata melawan tentara pemerintah.
Rasa benci itu tertanam sejak ayah Bashar, Hafez al-Assad, memimpin Suriah. Awal 1980-an, tentara pemerintah menangkap dan membunuh 2.000-an anggota Al-Ikhwan al-Muslimun yang menginginkan kemerdekaan. Pembantaian massal terjadi di Hama, 200-an kilometer di utara Damaskus atau 150 kilometer di selatan Aleppo, pada 1982. Diperkirakan 20 ribu penduduk tewas akibat pembantaian yang dilakukan pemerintah itu.
Ahmad Haj Said, penduduk Azaz, bercerita, awal Agustus 1981, ratusan polisi dan tentara menyebar di penjuru Azaz. Malam hari, listrik dimatikan. Lalu mereka menjemput anggota Al-Ikhwan al-Muslimun dari rumah mereka. Lima paman Ahmad ditahan. "Saya tidak pernah melihat mereka lagi," kata pria 47 tahun ini, Selasa pekan lalu.
Warga Azaz lainnya, Mohammad al-Said Ali, membenarkan cerita itu. Ia masih ingat, 40-an polisi mendatangi rumahnya pada malam hari. "Banyak mobil parkir di depan rumah saya," ujarnya. Mereka meminta orang tua Mohammad menyerahkan Soleh al-Said Ali, kakak Mohammad, yang menjadi aktivis Al-Ikhwan al-Muslimun. Memang polisi tak membawa senjata apa pun, tapi keluarga Said Ali tak berani melawan.
Menurut Mohammad, polisi berjanji mengembalikan Soleh dua bulan kemudian. Tapi mereka tidak pernah datang lagi. Jangankan bertemu dengan Soleh, Mohammad dan keluarganya bahkan tak pernah mendengar kabar dia lagi. "Saya tidak tahu dia masih hidup atau tidak," katanya sambil menahan tangis.
Tak berhenti pada penangkapan, keluarga mereka pun terkena imbasnya. Ahmad Haj Said, misalnya, tak bisa mendapatkan pekerjaan apa pun karena dilarang pemerintah. Mohammad Nur, 31 tahun, mengatakan sang ibu tak lagi mengizinkannya bersekolah setelah ia lulus sekolah dasar. Saat penangkapan besar-besaran terjadi, Nur, yang waktu itu masih bayi, tak pernah lagi melihat ayahnya, Abdul al-Kaadr. "Ibu saya bilang, untuk apa sekolah karena tak bisa mendapat pekerjaan apa pun," kata wartawan lepas yang selalu menemani pasukan pemberontak ini.
Kebencian tak hanya tertuju kepada Hafez dan Bashar. Sebagian besar penduduk yang beraliran Sunni begitu membenci suku Alawi, yang Syiah. Mereka menganggap pemerintah mengistimewakan kaum Alawi, yang jumlahnya tak sampai 15 persen di Suriah. Hafez dan Bashar berasal dari suku Alawi.
Abdo Ibrahim, 41 tahun, yang Sunni, misalnya, begitu membenci kaum Alawi. Menurut dia, kaum Sunni sulit mendapat pekerjaan, terutama sebagai pegawai pemerintah. Jebolan Universitas Aleppo ini harus menanti lima tahun untuk bisa bekerja sebagai pegawai perusahaan air pemerintah. Sedangkan posisi kepala perusahaan selalu dijabat orang Alawi. "Saya harus masuk kerja setiap hari. Kalau tidak, gaji saya dipotong. Tapi mereka yang dari Alawi bisa mengisi daftar masuk seenaknya dan hadir cuma 1-2 jam di kantor," ujar Abdo, yang mendukung Tentara Pembebas Suriah dengan memberikan hasil penjualan perhiasan istrinya.
Pun kaum muda di Suriah membenci rezim Bashar. Hussein, 23 tahun, memilih tak meneruskan kuliahnya di Universitas Al-Baath di Homs dan bergabung dengan tentara oposisi. Saat ikut berunjuk rasa di Homs, dia menyaksikan tentara pemerintah menembaki para demonstran. "Saya juga melihat tentara Bashar menembaki perempuan dan anak kecil," kata pria asal Hanano, Aleppo, ini.
Kamis malam dua pekan lalu, pertempuran kecil terjadi di sejumlah kawasan di Aleppo. Di Distrik Bustan al-Basha, misalnya, tentara pemerintah menyampaikan salam mortir ke sejumlah tempat. Dalam gulita—sebagian Aleppo tak berpenerangan saat malam—pesawat pemerintah juga menebar teror dan menjatuhkan bom. Rentetan tembakan Kalashnikov terdengar hingga Rabu dinihari. Di bagian barat distrik itu, pasukan oposisi merazia mobil-mobil yang melintas dari tempat yang dikuasai pasukan pemerintah.
Mengendarai Toyota Hilux yang membawa DHSK—senapan antipesawat—Qadoor Ahmad Yawroom berpatroli ke berbagai wilayah di Bustan al-Basha. Komandan grup Aaseft al-Shamal atau Badai Utara ini mencoba mencari posisi yang tepat untuk menghantam pesawat pemerintah. Tapi malam itu dia tak mendapatkan apa-apa.
Terduduk sejenak di markasnya, bekas mekanik yang biasa dipanggil Abu Ahmad ini melepas lelah. Dalam sehari, ia hanya tidur lima jam. Tapi lelaki yang ayahnya dibunuh karena menjadi anggota Al-Ikhwan al-Muslimun pada 1980-an ini tetap mengawasi jalannya pertempuran kecil di wilayahnya. Ia bertekad mempertahankan garis depan yang dipercayakan kepada pasukannya. "Perang di Aleppo baru saja dimulai lagi," kata Ahmad, yang ikut bertempur di Azaz.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo