Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ribuan demonstran berkumpul di Ibu Kota Tbilisi, Georgia, pada Sabtu, 29 November 2024, untuk memprotes pemerintah karena telah membatalkan pembicaraan untuk bergabung dengan Uni Eropa. Unjuk rasa ini berujung ricuh saat aparat kepolisian menembakkan air dan gas air mata saat membubarkan demostran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Unjuk rasa pada Sabtu, 29 November 2024, adalah yang terbesar setelah partai anti-Barat terpilih kembali pada akhir bulan lalu, di mana oposisi pro-Uni Eropa menyebut pemilu sudah dicurangi. Api berkobar di gedung parlemen yang kemungkinan dipicu oleh sebuah kembang api.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Demonstran membakar patung Bidzina Ivanishvili yakni orang terkaya di Georgia yang juga pendiri partai berkuasa di Georgia. Patung itu berdiri di antara tangga parlemen. Media di Georgia mewartakan unjuk rasa meletup di beberapa kota besar dan daerah – merata di penjuru Georgia.
Pada Sabtu pagi, 29 November 2024, Perdana Menteri Georgia Irakli Kobakhidze menuduh oposisi pro-Uni Eropa sedang merencanakan sebuah revolusi. Aparat keamanan Georgia mengatakan partai-partai politik telah berupaya menggulingkan pemerintahan secara paksa.
Georgia sudah lama menjadi salah satu negara pro-Barat setelah pecahnya Uni Soviet, namun akhir-akhir ini negara itu mendekat ke Moskow yang pada Kamis, 28 November 2024, Partai berkuasa Georgia, Partai Impian Georgia memutuskan menghentikan sementara akses pembicaraan ke Uni Eropa selama empat tahun ke depan. Pasalnya, Partai Impian Georgia curiga Uni Eropa memeras Georgia.
Keanggotaan Uni Eropa di Georgia sangat populer. Konstitusi negara itu bahkan mencantumkan tujuan untuk bergabung dengan Uni Eropa. Tina Kupreishvili, demonstran di luar gedung parlemen sambil mengibar-kibarkan bendera Uni Eropa dan Georgia, mengatakan dia ingin Georgia menjunjung tinggi komitmen konstitusionalnya untuk bergabung dengan Uni Eropa.
“Rakyat Georgia berusaha melindungi konstitusi mereka, melindungi negara dan bangsa serta mencoba mengatakan pada pemerintah bahwa aturan hukum adalah segalanya,” kata Kupreishvili.
Sumber: Reuters
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini