PERUNDINGAN antara pemerintah Filipina dan gerakan separatis Moro MNLF (Moro National Liberation Front) terbentur jalan buntu. Kendati pihak pemerintah masih optimistis, perunding dari pihak MNLF, Habib Mujahab Hasyim, Sabtu pekan lalu mengumumkan bahwa pembicaraan dengan utusan Ny. Cory Aquino akhirnya gagal. "Perjuangan otonomi Moro di Mindanao sudah kami hibahkan pada Bangsa Moro Army," ujar Habib. Toh, Habib bersama Desdemona Misuari -- istri Ketua MNLF-- berangkat juga ke Jeddah, menemui pejabat Organisasi Konperensi Islam, untuk mcminta organisasi itu menjadi perantara perundingan. Tapi sebelum berangkat Habib mengutarakan pada pers, semua perundingan, kalaupun ada, harus berangkat dari Kesepakatan Jeddah, yang ditandatangani 3 Januari 1987. Ini berarti titik temu bakal sulit dicapai, karena klaim bangsa Moro terhadap otonomi penuh 23 provinsi di Mindanao yang tercantum di situ, menurut pemerintah Filipina, baru proposal yang masih harus dibicarakan. Kendati sikap pemerintah sangat luwes, pada kenyataannya satuan-satuan tempur angkatan bersenjata Filipina (AFP) disiapkan dalam Siaga I di Pulau Mindanao, mengepung 55 kamp MNLF dan pos Bangsa Moro Army (BMA). Kepala Staf AFP Jcnderal Fidel Ramos tidak mengakui bahwa satuan itu disiapkan untuk menyerang pemberontak Moro. Katanya, formasi ini bertujuan melindungi pemilihan umum Senin pekan ini. Kalaupun BMA memang bersiap perang, menurut Ramos, mereka tak akan mcmbuka kontak senjata di bulan Ramadan. Di Lanao del Sur, militer disiapkan khusus atas perintah Ny. Presiden Aquino. Kelompok separatis Moro non-MNLF di sana menculik dua anggota Palang Merah Internasional berkebangsaan Swiss, Alex Braun Walder dan Jacky Sudan, bersama empat perawat berkebangsaan Filipina. Keempat perawat segera dibebaskan tapi untuk pembebasan Alex dan Jacky, kelompok separatis itu minta tebusan 500.000 peso. Cory minta agar kedua anggota palang merah itu dibebaskan dengan cara apa pun. Sementara itu, di Iligan City pekan lalu diselenggarakan sebuah pertemuan yang dijaga ketat 2.000 anggota pasukan gerilya campuran. Tiga kelompok gerakan separatis bertemu: Gerakan Bangsa Moro diwakili MNLF, golongan Komunis diwakili NPA (New People's Army) dan NDF (New Democratic Front). Pendatang baru yang mengejutkan CMLA (Christian Mindanao Liberation Army) di bawah pimpinan Pedro Rivera Montojo, 62 tahun. Ternyata, kelompok radikal Kristen ini juga menuntut otonomi 23 provinsi di Mindanao. Pertemuan itu mengukuhkan kerja sama semua kelompok separatis di selatan Filipina itu. Mereka berjanji akan bahu-membahu menghadapi serangan, dan mengkaji hak-hak mereka di Mindanao. Pembentukan CMLA agaknya merupakan kelanjutan tersiarnya berita 35 pastor di Pulau Negros mengadakan pertemuan dengan CCP, partai komunis Filipina. Sementara itu, pasukan militer di pulau itu menangkap dua pastor yang menyembunyikan pemberontak komunis. Kardinal Sin untuk kesekian kalinya terdengar mengkritik peniruan Teologi Pembebasan Amerika Latin. "Hendaknya ada adaptasi dan penyesuaian pada keadaan setempat," katanya. Mindanao, menurut seorang pengamat politik di Filipina, memang sudah menunjukkan gelagat akan memisahkan diri. Ini manifestasi tidak adanya dialog antara kelompok utara yang lebih maju dan penduduk di selatan yang masih terbelakang. Investasi industri kaum bisnis dari utara dan perusahaan multinasional di selatan pada kenyataannya juga tidak dirasakan penduduk. Sementara itu, kampanye pemilihan umum 60 hari, untuk menentukan 24 senator dan memperebutkan 250 kursi Kongres dan diikuti 2.000 calon, berlangsung tak kalah kerasnya. Kekacauan berdarah tak bisa dihindari, dan sudah 40 orang tewas dalam berbagai insiden. Pemilu yang berlangsung Senin pekan ini dikawal 150.000 prajurit AFP dalam Siaga 1. "Tak bisa lain, ada 67 daerah rawan yang sangat terancam kericuhan," ujar KastafJenderal Fidel Ramos. Entah sampai kapan darah harus mengalir -- di tengah Revolusi Damai People Power. JIS, Laporan Joko Daryanto (Manila)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini