AKHIRNYA dua orang Libya diminta hengkang dari Vanuatu, oleh PM Walter Lini, pekan lalu. Berita ini disiarkan setelah Australia dan Selandia berkali-kali melancarkan protes keras terhadap apa yang mereka khawatirkan sebagai kehadiran Libya di Pasifik Selatan. "Mereka datang tanpa izin dan tentunya tak bisa membuka perwakilan ataupun menemui pejabat di sini," kata Lini. Secara terpisah Menlu Vanuatu Sela Molisa menambahkan, "Mereka datang tanpa mengajukan permohonan untuk membuka perwakilan di sini." Keterangan dua orang penting Vanuatu itu menimbulkan tanda tanya, karena sebetulnya orang Libya tersebut sudah beberapa kali bertemu dengan Sekjen Partai Vanua'aku, Barak Sopc. Kalau begitu, apa sebenarnya yang di Port Vila? Situasi kian tak menentu dengan adanya keterangan tambahan dari PM Lini. Dalam wawancara di rumahnya - ia terkena serangan jantung dalam kunjungan ke AS Januari lalu - Lini menyebutkan, tidak tahu apa saja yang telah dikerjakan dua orang Libya itu. Marwan, salah seorang di antara orang Libya itu, menolak pula memberi keterangan. Sementara itu, orang belum lupa pengakuan Lini - pendeta Anglikan ini bahwa ia telah merestui pengiriman puluhan pemuda Vanuatu untuk mendapat latihan paramiliter di Tripoli. Adakah pemulangan orang Libya dari ibu kota Vanuatu sekadar tipu muslihat agar Australia bisa lebih tenang? Bukan musthil Lini jenuh dengan sesumbar PM Bob Hawke yang terus-menerus mencurigai tindak-tanduk Libya di Pasifik Selatan dan hubungannya dengan Vanuatu. Diperingatkannya bila masalah Libya tetap diungki-ungkit, maka tidak mustahil Forum Pasifik Selatan (FPS) -- sebuah konperensi negara-negara anggota Pasifik Selatan - yang akan berlangsung akhir bulan ini, bisa menjadi awal perpecahan 13 negara anggota Kelompok FPS. Lini juga menuduh bahwa Australia dan Selandia Baru sengaja meributkan hubungan Vanuatu-Libya "semata-mata untuk mengucilkan kami." Padahal, katanya, sudah disepakati para anggota FPS bahwa tak boleh mencampuri urusan dalam negeri masing-masing. Sementara itu, Menlu Australia Bill Hayden, pekan silam, terbang menemui PM Selandia Baru David Lange di pangkalan udara Ohakea, 160 km utara Ibu Kota Wellington. Tak sulit ditebak apa kehendak Bill Hayden. Ia mendesak agar Selandia Baru segera mengambil sikap terhadap negara-negara di Pasifik Selatan yang terbukti telah mengadakan hubungan diplomatik dengan Libya. "Tapi kami tidak merumuskan suatu sikap bersama," kata Lange. Bahkan ia menegaskan tak bermaksud mencampuri urusan dalam negeri tetangganya itu. Cuma tak ada salahnya memberi saran untuk keamanan wilayah Pasifik Selatan, katanya. Vanuatu, negara kecil berpenduduk 130 ribu jiwa (dulu New Hebrides), adalah bekas koloni Prancis-Inggris yang merdeka Juli 1980. Dengan politik luar negeri yang bernapaskan semangat nonblok ia menjalin hubungan diplomatik juga dengan negara-negara komunis: Soviet, Vietnam, Kuba.Kendati termasuk negara terkecil di kawasan Pasifik Selatan, langkah politik Vanuatu boleh dibilang banyak diperhitungkan Australia dan Selandia Baru. Ini tak lain karena Vanuatu banyak membantu perjuangan kemerdekaan bangsa- bangsa Melanesia di negara kepulauan lainnya di Pasifik Selatan. Dari Jakarta Mcnlu Mochtar menyuarakan pendapat yang tidak memihak. Diakuinya bahwa kegiatan Libya di Pasifik Selatan tidak diremehkan, tapi juga "kita tidak perlu terlalu nyap-nyap (mengomel panjang pendek) tentang hal itu." Ditegaskan oleh Mochtar bahwa setiap usaha pengacauan pasti tidak akan berhasil bila tidak mendapat dukungan rakyat setempat. Hal ini dikaitkan dengan pengakuan Nicolaas Jouwea, Pimpinan GPK (Gerakan Pengacau Keamanan) --sempalan OPM--yang bicara tentang 22 orang asal Irian Jaya yang - berkat bantuan Libya - dapat beremigrasi ke Vanuatu. Dua di antaranya ikut terkirim ke Libya, menghadiri konperensi di Mistrath yang bertujuan membentuk Front Dunia untuk Perdamaian. Jouwea sendiri menetap di Belanda dan mengaku tidak punya hubungan dengan mereka. Jika Menlu Mocktar di satu pihak menegaskan keterlibatan Libya jangan terlalu dibesar-besarkan, di pihak lain ia menilai bahwa diizinkannya GPK membangun pangkalan di Vanuatu adalah bukti bahwa negara itu tidak mau bersahabat dengan Indonesia. Ia menduga pemerintah Vanuatu termakan hasutan para pelarian GPK dari Irian Jaya, sementara ia berpesan agar sejauh yang menyangkut Libya -- pihak yang juga membantu GPK - Indonesia tetap waspada. Sampai kini heboh Libya sudah berkumandang satu bulan di Pasifik. Dan heboh itu kian ingar-bingar karena dicurigai Libya akan membuka biro (kedutaan) di Port Vila ibu kota Vanuatu. Pihak Australia tambah curiga karena ada informasi tentang Tripoli yang menawarkan lebih dari US$ 57 juta kepada Vanuatu, padahal anggaran tahunannya hanya US$ 43 juta. PM Lini tetap menganggap bahwa tidak etis bila Australia terus-menerus berusaha mendesak agar Vanuatu mengikuti sarannya menjauhi Libya. "Kami tetap berpegang pada UU kami berdasarkan agama Kristen, dan tidak sudi menjadi boneka Barat," katanya tandas. Apakah Lange akan menempatkan soal Libya dalam agenda FPS - seperti dikehendaki Canberra - masih harus ditunggu. Yang pasti, Lange berjanji, "Saya jamin masalah Libya tak akan masuk dalam agenda FPS nanti." Ini sejajar dengan sikap Walter yang menolak masalah hubungan Libya-Vanuatu dibicarakan dalarn forum FPS. Alasannya hubungan itu urusan dalam negeri Vanuatu. Lagi pula, yang disebut koneksi Libya" itu bukan masalah lagi, karena menurut Lini, "Australia dan Selandia Baru sudah punya hubungan dagang dan diplomatik dengan Tripoli sejak dulu." Yulia S. Madjid, Laporan Reuters
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini