KUNJUNGAN Presiden Amin Gemayel ke Damaskus, pekan lalu, seakan membenarkan evaluasi pers Barat. Mereka ini, yang gencar menuding kegagalan AS di Libanon, bahkan sampai pada kesimpulan bahwa diplomasi AS di sana lumpuh begitu saja. Dan tanpa rintangan, Syria tampil sebagai satu-satunya negara yang amat menentukan. Memang kesempatan inilah yang sejak lama dinantikan Presiden Hafez Assad. Dengan terdesaknya tentara Libanon di belakang garis hijau, sementara milisi Druze dan Syiah Amal yang didukung pasukan Syria menggempur Shoek el-Gharb, maka hanya tinggal satu pilihan bagi Gemayel. Suka atau tidak suka, ia harus berunding dengan Assad. Pembicaraan Gemayel-Assad telah berlangsung tiga kali. Namun, hasil-hasilnya baru akan diumumkan Gemayel dalam konperensi kedua rujuk nasional Libanon di Jenewa, 13 Maret mendatang. Seperti sudah disepakati, Damaskus pun tidak mengeluarkan pernyataan sebelum tanggal itu. Apakah perundingan itu gagal? Atau Gemayel mengulangi gayanya yang lamban? Entahlah. Yang jelas, Sabtu silam, pemimpin Druze Walid Jumblatt mendadak melontarkan ultimatum pada Gemayel. Ia minta supaya persetujuan 17 Mei 1983, antara Israel dan Libanon, dibatalkan dalam tempo 48 jam. "Jika tidak, kaum oposisi tidak akan meneruskan kerja sama dengan Gemayel," kata juru bicara Druze, Marwan Hamadeh, dl Damaskus. Tentang Syiah Amal, yang dipimpin Nabih Berri, tidak tegas disebutkan apakah termasuk dalam kelompok oposisi itu atau bukan. Sebab, sesudah Gemayel kembali ke Beirut, Jumat lalu, dua hari kemudian Berri, Jumblatt, dan Assad mengadakan perundingan terpisah. Sementara kata sepakat masih dirumuskan, medan pertempuran di Beirut kembali berkobar dengan tembakan mortir, tank, dan peluncur roket. Sebagian penduduk merasa inilah tembak-menembak paling sengit sejak perang saudara meletus, awal Februari. Belum diketahui apakah ultimatum Jumblatt, yang sudah jatuh tempo Senin pekan ini, tetap tidak dilayani Gemayel, yang menyebabkan anak-anak Druze jadi ganas. Tapi satu hal sudah pasti, Presiden Assad tidak akan menarik tentaranya, kecuali Israel angkat kaki lebih dulu dari Libanon. Soal pcngunduran Israel sebetulnya sudah diatur dalam persetujuan 17 Mei 1983,yang sampai saat terakhir masih memperoleh dukungan. Apa pun kata Washington, kini giliran untuk menentukan sudah beralih ke Damaskus. Dari kota ini, Assad sejak dulu menuntut persetujuan 17 Mei harus batal. Konon sepulang dari Damaskus, oleh kelompok Kristen Maronit, Gemayel masih ditekan untuk tidak membatalkan persetujuan itu. Bisa dimaklumi bila keadaan di Libanon tambah runyam. Sementara Israel dan AS mereka-reka percaturan Libanon dari jauh, dua tokoh oposisi Libanon, bekas Presiden Suleiman Franjieh dan bekas PM Rashid Karami mendukung negosiasi Gemayel-Assad. Dukungan kedua tokoh berpengaruh ini dianggap ikut menentukan nasib presiden Libanon itu. Menurut kalangan pejabat tinggi Libanon, Franjieh dan Karami menyetujui pembatalan persetujuan 17 Mei. Ini berarti, peluang Israel dan Kristen Maronit semakin sempit. Di samping itu, Franjieh dan Karami juga setuju adanya gencatan senjata dengan jaminan Syria, rencana konperensi kedua rujuk Libanon di Jenewa, dan pembentukan pemerintah nasional yang mencakup semua tokoh oposisi sekarang. Tak hanya itu saran Franjieh dan Karami. Yang lebih menarik, mereka juga menganggap perlu Jika Libanon berunding kembali dengan Israel. Di situ nanti, kata mereka, dirumuskan suatu perjanjian baru yang lebih terbatas, tapi tetap menjamin keamanan Israel di sepanjang perbatasan dengan Libanon. Tapi Yerusalem tampak kurang suka melihat perkembangan itu. Bukan saja karena Damaskus begitu leluasa mendikte Gemayel yang dulu adalah sekutu mereka melainkan juga lantaran tidak seorang pun menduga bahwa operasi Galilea yang gegap gempita itu seperti kehilangan makna. Menteri Pertahanan Moshe Arens berucap dengan yakin di Washington bahwa AS dan Israel masih punya "beberapa kartu" yang bisa mempengaruhi masa depan Libanon. Sebaliknya, dengan bekas Menteri Pertahanan Ariel Sharon. Ia tidak dapat menyembunyikan kekecewaannya. Sharon mengecam pedas diplomasi AS di Libanon dan tak lupa menegaskan bahwa penyelesaian militer adalah yang paling tepat untuk mengatasi krisis di negeri itu. Ia tetap yakin pada keunggulan tentara Israel sekalipun korban di pihaknya kian banyak juga. Terakhir dilaporkan dari Sidon, patroli Israel diserang tiba-tiba Minggu silam dan, menurut saksi mata, 12 anak-anak Arens itu tewas. Dalam pada itu, Gemayel sudah harus siap-siap menyambut isyarat dari Paris. Sesudah Uni Soviet memveto resolusi Prancis tcntang pembentukan pasukan PBB untuk Libanon Presidcn Francois Mitterrani rupanya tidak bersedia menunggu lebih lama. Negara itu, Selasa silam, menyatakan niat menarik 1.250 tentaranya dari Libanon. Alasannya. "bila mereka sendiri, mereka tidak mampu mengamankan masyarakat di Libanon." Dalam rangka kepulangan tentara Prancis itu - yang selama bertugas di Libanon kehilangan 87 orang, 58 di antaranya tewas dalam serangan truk bom 23 Oktober tahun silam - Menlu Claude Cheysson mengunjungi Beirut, minggu lalu. Tanpa pasukan multinasional, Gemayel mungkin lebih bebas bertindak. Di bawah payung perlindungan Syria, langkah langka berikutnya sudah digariskan. Tugas Gemayel tinggal menciptakan suasana rukun menjelang konperensi rujuk nasional, pekan depan. Sesudah Presiden Gemayel mendapat dukungan Franjieh dan Karami, diperkirakan Assad pasti berhasil mendorong Jumblatt dan Nabih Berri ke sebuah gencatan senjata. Tahap berikutnya, konperensi di Jenewa tinggal mengesahkan pembatalan persetujuan 17 Mei yang kontroversial itu. Andai kata Yerusalem menerima pembatalan sepihak ini, Gemayel tinggal menagih janji pada Assad untuk menarik 40.000 tentaranya dari Libanon. Tapi, apakah mungkin? Siapa tahu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini