SEBUAH Colt station berhenti di depan rumah nomor 14, Jalan Dr. Wahidin, Surabaya, Senin pekan lalu. R.M. Mardoso beserta tiga anak buahnya meloncat turun dan langsung menggedor rumah yang tidak terurus, di tengah perkampungan orang-orang kaya itu. Ia memanggil-manggil nama Thia sambil tetap menggedor pintu. Tiba-tiba, dari dalam rumah, ada balasan "Jangan masuk, kalian semua PKI." Pintu tetap tertutup rapat. Halaman rumah yang ditumbuhi rumput ilalang setinggi dengkul semakin dikerumuni orang. Rumah yang tampak angker itu nyaris terkepung dari setiap sudut. Ada hansip, polisi, dan pendeta. Gersom Sutopo, pendeta dari Gereja Bethel, Surabaya, ikut memanggil-manggil nama Thia. Seorang perempuan tua menyelinap di antara kerumunan orang banyak. Ia mengaku bekas pembantu di rumah yang kini dikepung itu. Ia mengambil batu dan mengajak orang lain mengikuti geraknya. Bukan melempari rumah, tetapi menuju sumur pompa tua yang karatan - dan tidak berfungsi. Batu itu diketuk-ketukkan di sumur. Aneh, mendengar bunyi itu, ia membuka pintu rumah. Langsung anak buah Mardoso - dari Rumah Sakit Jiwa Menur, Surabaya - menyergap Thia. Perempuan kurus dekil itu memberontak dan berteriak-teriak, "Tolong, kami diculik PKI ...." Pada saat Thia diusung ke mobil, Mardoso masuk ke kamar lain. Ia menemukan seorang perempuan tua terbaring di tempat tidur Ny. Oei Biauw Hian, 75, ibu Thia. Keadaannya kritis. Napasnya tersengal, matanya mendelik, baunya (tidak mengada-ada) seperti bangkai. Borok di kakinya berair, membasahi kasur yang sebagian ditutup seprai compang-camping. "Ia seperti menunggu saatnya akan tiba," kata Mardoso, Kepala Perawatan RSJ Menur. Rumah batu peninggalan zaman Belanda itu tak kalah mengerikan. Dua kamar tidur dijejali tiga lemari jati. Isinya buku-buku yang penuh debu dan sengatan rayap. Juga pakaian usang berserakan. sementara di dinding tergantung foto perkawinan Oei Biauw Hian. Di atas meja ada radio model kuno yang tampak bertahun-tahun tak disentuh. Yang menarik, di meja kumal itu ada jam beker yang tetap berdetak, menunjukkan pukul 11, persis pada saat tim RSJ Menur memasuki rumah itu. Rasanya, tak masuk akal penghuni rumah tiap hari ingat memutar jam beker, sementara ia lupa yang lain, bahkan lupa dirinya. Tentu saja tak masuk akal, karena penghuni rumah itu sudah kehilangan akal, alias sakit jiwa. Selama 15 tahun, bayangkanlah, penghuni rumah tak keluar-keluar. Banyak yang berubah di luar rumah - misalnya tetangganya semakin kaya - tetapi di dalam rumah misterlus itu, waktu praktis berhenti. Hanya satu peristiwa yang sempat menggugah para tetangga: pada bulan Desember 1982, tatkala Oei Biauw Hian - yang jadi kepala keluarga - meninggal dunia. Itu pun setelah mayat Oei seminggu terbaring di dalam kamar dan baunya membuat tetangga merasa terganggu. Mayat Oei dikuburkan atas bantuan gereja. Setelah (dan juga sebelum) peristiwa tragis kematian Oei, warga sekitar Kelurahan Dokter Sutomo, Kecamatan Tegal Sari, seperti tak mau tahu keadaan rumah itu. Untung, masih ada Ny. Suratno, tetangga satu RT yang iba akan nasib malang keluarga ini. Lewat pembantunya, Mbok Warsih, nyonya pengusaha ini sering mengirim beras. Sesekali Ny. Suratno menyempatkan diri menengok langsung, ditemani Mbok Warsih. Thia, seperti umumnya orang yang sakit jiwa, banyak ocehannya. Ia memaki-maki Ketua Mao yang disebut-sebutnya sumber kematian ayahnya. Ketika Ny. Suratno memberitahu, dunia di luar rumah itu telah berubah, PKI sudah bubar, Mao Ze Dong telah mati, Thia menuding, "Dasar kamu juga PKI. Mampuslah tikus-tikus PKI itu, selamatlah anak cucu Sun Yat Sen." Dicap PKI siapa suka? Tetapi Ny. Suratno tetap saja menyuruh Mbok Warsih membawakan beras. Namanya saja orang sakit, begitu pengakuan Ny. Suratno. Dan dua pekan lalu, setelah teringat bahwa sebulan lebih tak memperhatikan dua wanita itu, Ny. Suratno menyuruh pembantunya membawa 10 kg beras dan minyak tanah. "Saya memang khawatir, jangan-jangan Mama Thia seperti suaminya," ujar Ny. Suratno. Benar saja, Mbok Warsih membawa kabar buruk. Mama Thia terbaring tanpa bisa bergerak, sementara Thia sendiri hanya mengunyah beras yang diberikan. Bagaikan intel, Mbok Warsih meneliti isi rumah, dan melaporkan dugaannya: sudah berbulan-bulan dua perempuan ini tak memasak. Ini menggugah Ny. Suratno melapor ke ketua RT, lantas meneruskan ke RW dan Kelurahan. Akhirnya, setelah Muspika (Musyawarah Pimpinan Kecamatan) Tegal Sari berunding, laporan diteruskan ke RS Jiwa Menur. Kedua perempuan itu pun lantas diselamatkan. Sumber TEMPO di Gereja Bethel - gereja ini hanya mengakui Oei sebagai jemaat, tetapi tidak istri dan anaknya - mengungkap sedikit latar belakang Oei. Lelaki ini, pada zaman Orde Lama, termasuk pengusaha yang sukses. Ia importir film Amerika. Bahkan kantor usahanya, satu gedung dengan kantor USIS (Bagian Penerangan Kedutaan Besar Amerika Serikat) yang saat itu terletak di Jalan Pemuda. Usaha Oei bangkrut karena jadi sasaran teror sepihak PKI, yang waktu itu melancarkan slogan "boikot film AS, ganyang film koboi". Bahkan Oei dituduh "antek nekolim Amerika". Tampaknya, ini yang menimbulkan kebencian pada PKI di keluarga itu. Anak tunggal Oei, Oei Lie Thjioe alias Thia, yang lulus dokter gigi di FKG Universitas Airlangga, Surabaya, 1962, dilarangnya buka praktek. Alasan Oei, membuka praktek itu hanyalah mengumumkan kebangkrutan usahanya. Dan lelaki itu berusaha bangkit lagi dengan bekerja di perusahaan pelayaran Tanjung Dewa. Tapi ternyata gagal. Keluarga Oei tetap bangkrut. Diduga, kegagalan itu membuat keluarga ini mulai mengurung diri dalam rumah, sekitar 1968. Setiap orang yang mendekati, termasuk petugas PLN dan PAM yang memutuskan aliran - karena menunggak rekening - diteriaki PKI. "Trauma PKI" itulah yang dipakai alasan para tetangga untuk engan mencampuri keluarga Thia. Akibatnya, dua perempuan itu semakin parah, lebih-lebih setelah kematian Oei. Kini, Ny. Oei dirawat di Rumah Sakit Umum untuk penyembuhan boroknya. Sedang Thia tetap di RSJ Menur. "Thia menunjukkan kemajuan pesat, dia mau diajak ngobrol, kesadaran sosialnya mulai tumbuh," kata Mardoso, akhir pekan lalu. Apalagi, ia diperlakukan khusus, semua perawat dan dokter memanjakan Thia dan memanggilnya "Bu Dokter". Memang, ia dokter gigi betulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini