Berbeda dengan suasana umum sore itu di Daura, pinggiran sela-tan Bagdad, ada yang tak biasa di Hotel Sheraton, di pinggir jalan utama kota itu. Di sebuah ruangan pertemuan, puluhan ulama berjubah bersama tokoh masyarakat dari suku Jubbouri duduk di depan meja yang disusun ala huruf "u".
Mereka tak sedang mengikuti diskusi atau seminar, tapi bertemu seseorang yang baru saja memproklamasikan diri sebagai Gubernur Bagdad. Para ulama dalam forum yang berlangsung pekan lalu itu mengutarakan keluh-kesah mereka: tak ada lagi sumber air bersih, tak ada polisi di jalan, siapa yang akan membayar gaji pegawai negeri, macam-macam. Mereka juga ingin mengalihfungsikan kantor Partai Baath menjadi gedung serbaguna.
Mohammed Mohsen al-Zubaidi, sang gubernur, menyimak dengan saksama. Kemudian pria berusia 51 tahun yang berjas abu-abu ini mendapat giliran bicara. Ucapannya optimistis. Ia mengaku pekan sebelumnya dipilih oleh 22 orang anggota dewan yang terdiri atas pengusaha, tokoh masyarakat, ulama, dan cendekiawan untuk memimpin kota berpenduduk lima juta itu. Ia menjanjikan polisi segera bertugas. Ia juga menyatakan sudah berbicara dengan bank sentral dan mengungkapkan tersedia cukup uang untuk membayar gaji pegawai pemerintah beberapa bulan ke depan.
Deputinya, Jawdat al-Obeidi, seorang mantan petinggi militer Irak, menurut dia, sudah berkoordinasi dengan aparat militer Amerika Serikat. Ia juga meluncurkan Information Radio, radio pertama yang mengudara sejak Saddam jatuh. Ia meminta para guru dan murid segera kembali ke sekolah. "Dengan dukungan Anda," ujar Zubaidi kepada para peserta pertemuan, "kita bisa menjalankan negeri ini dengan kemampuan kita sendiri."
Gubernur, Bagdad pula? Klaim pria yang dekat dengan tokoh oposisi Ahmad Chalabi yang pro-AS ini mengejutkan. Masyarakat Bagdad juga sempat bingung. Tapi pemerintah interim bentukan Amerika Serikat yang dipimpin Jay Garner menolak mentah-mentah klaim itu. "Memang ada beberapa pemimpin de facto saat ini. Saya tak tahu siapa mereka, tapi tujuan kami di sini adalah memulai proses supaya rakyat Irak dapat memilih pemimpin mereka sendiri," ujar Garner.
Zubaidi cuek saja. "Saya memang tidak diangkat oleh Amerika Serikat," katanya. Ia malah mengutip pidato Presiden George W. Bush bahwa rakyat Iraklah yang akan memilih pemimpinnya. "Kami memang bukan penguasa... tapi sebuah pemerintah sipil."
Sebagai "penguasa" tunggal di Irak, militer AS menganggap aksi Zubaidi sebagai "makar". Rabu pekan lalu, untuk pertama kali marinir AS menangkap seorang pendukung Zubaidi yang hendak mengusir Zabar Abdul Razaq, kepala polisi Bagdad yang ditunjuk AS, dan mengaku sebagai kepala polisi yang sah. Toh, seorang pendukung Zubaidi lainnya justru mengumumkan akan mewakili Irak dalam sidang Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) di Wina, Austria, pekan ini.
Siapakah Zubaidi? Sebelum "proklamasi", namanya sama sekali tak dikenal atau disebut-sebut menjadi salah satu calon petinggi Irak. Tapi sebenarnya ia tokoh politik yang cukup berpengalaman: sebagai tokoh Syiah dan aktif di Kongres Nasional Irak (INC), ia sudah 24 tahun hidup sebagai pelarian politik di Irak utara dan Iran. Rezim Saddam pernah menjatuhkan hukuman mati untuknya.
Sebagai orang dekat Chalabi, ia tampak sangat percaya diri. Chalabi memang didukung Pentagon dan CIA, tapi tak disukai Departemen Luar Negeri AS. Ada dugaan, ia "kartu" Chalabi untuk menggertak Departemen Luar Negeri. Ada juga yang melihat langkahnya sebagai tanda ia tak akur lagi dengan Chalabi dan ingin unjuk gigi sendiri.
Yang jelas, Zubaidi bersama stafnya tetap melakukan safari berkeliling Bagdad—pada saat Chalabi juga sedang berada di sana. Menurut Hooman Peimani, seorang konsultan hubungan internasional di Jenewa, pandangan politik Zubaidi sama sekali tak dikenal. "Domisilinya di Iran selama pelarian tidak selalu berarti ia punya komitmen untuk mempromosikan ideologi dan kepentingan Iran."
Namun, Abdullah, seorang tokoh Jubbouri, mendukungnya. "Dia seorang nasionalis Irak yang baik," katanya. Sebaliknya, Saad Akram, seorang pedagang buah, mengatakan ia tak pantas didukung karena tak dipilih. Mingguan Monday Morning yang terbit di Libanon menggambarkan hal itu sebagai "sebuah lelucon di tengah keruwetan pascaperang di Irak".
Budi Putra (The Washington Post, AP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini