Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Berawal dari Karbala

Mampukah warga Syiah, yang belum pernah tampil di peta politik Irak modern, berperan dalam pemerintahan baru pasca-Saddam?

25 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Darah bercucuran dari kepala beberapa lelaki yang dengan khusyuk—seperti tengah mendaras doa—memukuli kepalanya. Tak jauh dari mereka, seorang pria lain menghantamkan rantai besi berkali-kali ke punggungnya hingga kulitnya bilur dan luka. Toh orang-orang yang sedang berjalan di kiri-kanan mereka membiarkan saja perbuatan itu. Karena "pengorbanan diri" itu adalah bagian dari ritual untuk menghormati pemimpin mereka, Hussein bin Ali bin Abi Thalib—cucu Nabi Muhammad. Pada pekan lalu, hampir sejuta manusia mengalir dari segala sudut negeri ke Karbala. Dengan bertelanjang kaki, mereka berjalan, menepuk dada dan berdoa bagi Hussein bin Ali bin Abi Thalib, martir besar yang amat dihormati kaum Syiah. Hussein tewas dalam pertempuran di Karbala melawan penguasa bani Ummayyah di Suriah. Dan inilah ziarah akbar pertama ke Karbala—tempat Hussein dimakamkan—dalam 25 tahun terakhir. Sejak naiknya Saddam Hussein ke kursi presiden pada 1979, kaum Syiah luar biasa ditekan. Mereka dilarang berziarah ke Karbala. Tak mengherankan jika sebagian dari ratusan ribu pengembara rohani yang berjalan ke Karbala berteriak, "Kami menolak imperialisme baru. Kami menolak pendudukan asing." Apakah teriakan ini menandai kebangkitan kaum Syiah di Irak? Sejarah mencatat, sejak Inggris—dalam periode kolonisasinya—menyatukan negeri itu menjadi Irak modern pada era 1920, kaum Syiah belum pernah memimpin Irak. Dan kini? "Warga Syiah merasa waktunya dalam sejarah telah tiba," ujar Akbar Ahmed, seorang profesor studi Islam di American University, Washington, DC. "Jika demokrasi tegak di Irak, presidennya mestinya orang Syiah," Akbar menambahkan. Akbar punya alasan. Dari 24 juta rakyat Irak, sekitar 60 persen lebih adalah warga Syiah. Toh mereka selalu hidup di bawah kekuasaan rezim Sunni. Sejarah Irak kental dengan kisah-kisah pendudukan. Dari Kekhalifahan Abbasiyah hingga Kekaisaran Mongol dan Ottoman, Irak dikuasai dan dipetak-petak. Kaum Syiah di Irak selatan, Sunni di bagian tengah, dan Kurdi di kawasan utara. Inggrislah yang kemudian menyatukan pecahan-pecahan ini menjadi negara Irak modern. Daerah Sunni selalu menjadi pusatnya—kaum Syiah berusaha melawan namun tak pernah menang. Ketika Raja Faisal bin Sharif Hussein—yang "diimpor" Inggris dari Saudi—memimpin Irak, dominasi Sunni dalam sejarah modern Irak pun dimulai. Faisal mengangkat orang-orang Sunni menjadi penasihatnya, meminggirkan Syiah yang mendukung Kekaisaran Ottoman. Abdul-Karim Kassem mengakhiri monarki Hashemit pada 1958. Pria keturunan Syiah dan Sunni ini lantas membentuk pemerintahan heterogen dengan tujuan integrasi. Ada elemen Sunni, Syiah, Kurdi, dan komunis. Ketika persaingan politik di Partai Baath kian meningkat, mereka yang moderat tersingkir. Baath dikuasai nasionalis Arab yang tak suka kepada kaum Syiah. Abdul-Karim Kassem tersingkir pada 1963. Setelah kudeta pada 1968, Ahmad Hassan al-Bakr, sepupu Saddam Hussein, menjadi Presiden Irak. Sembilan tahun kemudian Saddam menendang sepupunya dan naik takhta selama 25 tahun. Selama berbagai periode itu, penguasa Sunni secara sistematis melucuti dominasi para ulama Syiah. Pendek kata, kekuasaan Partai Baath adalah mimpi buruk warga Syiah. Pada 1977, ratusan ribu warga Syiah asal Iran diusir. Sekitar 20 ribu warga Syiah dibantai selama pemerintahan Saddam. Alhasil, banyak yang kabur ke luar negeri. Yang tinggal menjadi apolitis dan dibayang-bayangi aparat intelijen Saddam yang bengis. Lalu Saddam tumbang. Dan bangkitlah kesadaran kaum Syiah bahwa sebagai mayoritas mereka punya hak pada kekuasaan. Kaum Syiah di pengasingan mengalir pulang. Namun, ketika kebangkitan itu dimulai, persaingan "antarsaudara" justru muncul. "Orang yang layak menguasai kawasan ini adalah mereka yang tinggal di sini," ujar Muqtada Sadr, pemimpin kelompok A-Sadr. Entah kepada siapa sindiran ini dia tujukan. Yang jelas, salah satu figur Syiah yang kian kerap disebut pasca-Saddam adalah Muhammad Baqr al-Hakim, pemimpin tertinggi Dewan Revolusi Islam (SCIRI), yang selama ini berbasis di Teheran. Padahal Muqtada Sadr merasa dirinya paling berhak memimpin karena ayahnya dibunuh orang Saddam empat tahun lalu. Namun dia ditentang pengikut Partai Dakwah dan SCIRI. Puluhan tahun hidup di bawah tekanan Saddam membuat kaum Syiah Irak tahan uji. Tapi ujian yang mereka hadapi setelah berlalunya Saddam pun tak kalah pelik: mengatasi perbedaan pandangan di antara mereka sendiri sebelum menapak ke dalam pentas politik yang baru. Purwani Diyah Prabandari (Le Monde Dipl., USNews, BBC, Washington Post)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus