Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Ke Rimba Mereka Bebas

Orang utan hasil rehabilitasi dilepas di alam bebas. Padahal habitat alaminya makin menciut.

25 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA bayi orang utan (Pongo pygmaeus) itu asyik memanjat papan, sementara yang lain meniti tali, berayun-ayun sejenak, lalu mengempaskan tubuh gemuk mereka ke kawannya. Mereka jatuh bergulingan, berkejaran, dan berlomba naik lagi ke tali. Ada juga yang jail membuka keran air, lalu menenggak sepuasnya air sejuk yang ngocor membanjir. Pemandangan itu merupakan suasana sehari-hari di Wana Riset Semboja, Balikpapan, Kalimantan Timur. Anak-anak orang utan yang jumlahnya 12 ekor itu tak sekadar bermain-main. Mereka tengah bersekolah. Pusat Rehabilitasi dan Reintroduksi Orang Utan ini memang sekolah bagi primata langka endemis asli Indonesia itu. Alumninya diproyeksikan memiliki bekal buat hidup bebas di hutan-hutan Kalimantan. Berdiri di kerimbunan hutan 38 kilometer ke arah utara dari Balikpapan, tempat sunyi itu tadinya Pusat Penelitian Tanaman Meranti. Semuanya bermula dari Willie Smits, peneliti meranti dari Troppen Bosh, Belanda. Suatu kali ia menemukan bahwa jamur dari kotoran orang utan berperan penting dalam pertumbuhan meranti. Hasil penelitian ini membelokkan hatinya. Mulailah ia meneliti orang utan. Itu pun diawali kejadian yang dialami Willie di Pasar Klandasan, Balikpapan. Ketika itu, di tumpukan sampah, Willie menemukan seekor orang utan tercampak, seolah sedang meregang nyawa. Tak sampai hati, Willie memungut dan membawanya ke Wana Riset Semboja. Di tangan Willie, orang utan yang diberinya nama Utje ini berangsur-angsur membaik. Berbekal Utje dan seekor orang utan lain yang diberikan oleh sahabatnya, Willie menggagas pusat rehabilitasi orang utan. Ia berkemas dan dana awal sebesar US$ 10 ribu bisa dikumpulkan. Willie pun kemudian meminta izin, yang diberikan oleh pemerintah pada 1991. Sejak saat itu, Willie memulai kegiatannya. Satu per satu orang utan masuk ke Semboja. Sebagian merupakan penyerahan sukarela dari penduduk, sebagian lain hasil razia yang dilakukan aparat Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA). Saat ini tercatat ada 208 orang utan di Wana Riset Semboja. Mereka ditempatkan di dalam kandang-kandang kukuh di rerimbunan hutan. Di area seluas 3,5 hektare, para orang utan ini berlatih dengan nyaman di bawah asuhan 87 karyawan wana riset. Mereka dibekali program-program jungle survival. Seluruhnya ada lima tingkatan: kelas playground, seperti yang kini dijalani ke-12 bayi orang utan tadi, kelas sosialisasi 1, 2, 3, dan terakhir kelas pelepasan terbatas. Peserta yang lulus akan direintroduksi di Hutan Sungai Wain dan Hutan Meratus. Sejak 1997, Hutan Sungai Wain sudah jenuh populasinya. Maka lokasi pelepasan kini tinggal di Meratus. Kurikulum yang diajarkan ditujukan buat pertahanan diri di alam bebas. Simak apa yang terdapat di Kandang Sosialisasi 1. Di sini terdapat tali-temali yang menjulur ke tanah dengan papan datar di bagian atas. Dalam sehari, para orang utan diberi makan dua kali. Menu latihannya tergolong enteng saja: menjelang sore diberi ranting berdaun segar. Lo, untuk apa? Menurut Citrakasih M. Nente, Manajer Proyek Wana Riset Semboja, orang utan dinilai maju bila menunjukkan aktivitas alami seperti ketika berada di alam bebas. Selain aktif bergerak, indikasi lainnya adalah bisa mengambil makanan, memanjat, dan memakannya di ketinggian pohon. Yang terpenting, menurut Citrakasih, adalah bila orang utan bisa membuat sarang untuk bermalam di ketinggian ketika diberi ranting daun di sore hari. Itu sebabnya ranting-ranting ini dilemparkan setiap sore di semua kelas. Sedangkan papan datar dimaksudkan sebagai tempat orang utan menaruh ranting dan membuat sarang. Khusus untuk Kandang Sosialisasi 3, Wana Riset Semboja memberlakukan aturan ketat. Di kandang yang kini dihuni 15 orang utan itu, kontak dengan manusia—termasuk dengan para pekerja—dibatasi. Pembatasan ini penting "agar saat dilepas, mereka tidak lagi bergantung pada manusia," kata Citrakasih. Soalnya, sebagian besar orang utan yang masuk wana riset merupakan hewan peliharaan. Britney, seekor orang utan betina, misalnya. Sosok cantik berbulu jabrik ini paling suka diberi lap dan selang air. Kalau sudah menggenggam keduanya, ia lupa diri, persis Britney Spears kalau sedang bernyanyi. Bedanya, Britney van Semboja tidak menyanyi, tapi langsung sibuk membersihkan kandang. Selidik punya selidik, Britney dulu sering dilatih mencuci mobil. Bahkan, menurut Dhany Sitaparasati, petugas pengamat di wana riset, Bujang punya lagak seperti bos. Kalau mau makanan tertentu, orang utan berumur 17 tahun berbobot 140 kilogram ini bertepuk tangan, lalu menunjuk makanan yang diinginkannya. Kalau tak diberi, ia mengamuk, memukul-mukul pintu kandang. Untuk melepas berbagai ketergantungan itu, menurut Willie, perlu waktu lama serta biaya mahal. Untuk merehabilitasi seekor orang utan saja diperlukan biaya US$ 1.500 hingga US$ 5.000 sampai siap dilepas. Toh, hal ini tak menghalangi pengelola wana riset buat terus bekerja. Bagusnya, kerja mereka tak sia-sia. Sejak 1994, sekolah Semboja sudah mewisuda alumninya. Sampai saat ini, jumlah wisudawan mencapai 400 ekor—jumlah yang cukup lumayan mengingat di alam bebas, menurut Willie, tinggal tersisa 63 kelompok orang utan. Kelompok-kelompok ini pun amat kecil dan teramat lemah buat bisa bertahan hidup dari serangan penyakit, predator, tebaran jerat, serta terjangan pelor pemburu. Maka, ketika mereka selesai bersekolah, upacara pelepasan wisudawan-wisudawati sekolah Semboja kerap mengharukan. Wartawan TEMPO menyaksikannya dua minggu lalu. Orang utan yang hendak dilepas diangkut dalam kandang. Kandang-kandang ini kemudian ditempatkan di ketinggian tertentu di Meratus. Pada malam hari, mereka ditinggalkan dalam kandang tertutup. Keesokan harinya, pintu kandang dibuka. Upacara pelepasan dimulai—tentu tanpa iringan lagu apa pun. Ijazah yang diberikan berupa chip yang dimasukkan di lapisan kulit, sebagai tanda mereka berasal dari sekolah Semboja, sekaligus buat memantau keberadaan orang utan ini. Alumni yang benar-benar siap biasanya keluar dengan bersemangat, langsung melompat naik ke pohon. Tapi tak jarang ada yang takut keluar dari kandang. Ada yang demikian takutnya menghadapi dunia bebas hingga terus bergayut di kaki petugas. Tak kuasa menahan haru, pengasuhnya menangis. Baru setelah dibujuk, orang utan itu mau melepaskan pelukannya, berjalan lambat ke sebatang pohon, memandang kepada petugas, lalu naik. Setelah dilepas, orang utan itu tetap dipelototi. Sedikitnya ada enam petugas pemantau di Hutan Meratus yang dirotasi tiap enam bulan. Tapi tak gampang mengawasi orang utan di hutan seluas 30 ribu hektare. Kendati begitu, keberadaan enam petugas ini amat penting. Sebab, Hutan Meratus berbatasan langsung dengan permukiman penduduk. Selain itu, terdapat banyak perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan. Selain menebang dan membuka pabrik penggergajian kayu, perusahaan begini niscaya membuka camp bagi pekerjanya. Yang tak kalah mengerikan, di wilayah ini kerap terjadi penebangan liar. Pembalakan hutan makin lama makin mendesak masuk wilayah Meratus. Situasi begitu membuat perjuangan orang utan untuk bertahan hidup semakin berat. Itu yang mengakibatkan beberapa orang utan memilih mengambil makanan ke ladang-ladang penduduk atau nyasar ke camp pekerja. Soalnya, di hutan yang menjadi rumah mereka, pohon sudah jarang. Kalaupun masih tersisa tegakan pohon, yang bisa menghasilkan makanan jumlahnya lebih sedikit lagi. Apalagi ketika terjadi pergeseran musim seperti tahun ini. Sengsaralah mereka dan perut yang lapar membawanya masuk ke ladang atau permukiman penduduk. Bentrokan antara penduduk dan orang utan tak bisa dihindari. Korbannya pasti orang utan. Petugas yang berjumlah enam orang itulah yang akan menolong, menyelamatkan, dan mengupayakan evakuasi. Persoalan makin pelik karena dari tahun ke tahun yang menjadi siswa di wana riset cenderung bertambah. Tentu saja pekerjaan mendidik mereka amat menyenangkan. Yang membuat pening Citrakasih justru bagaimana melepaskan orang utan ini ke alam seusai bersekolah. Padahal, "Tanpa habitat alami, reintroduksi sebanyak apa pun tak ada gunanya," kata Citrakasih. Meski gamang dengan masa depan alumni Semboja di masa depan, Citrakasih bisa terhibur oleh alumni pertama sekolahnya, Utje dan Bento. Orang utan pertama yang pernah diasuh Willie ini diketahui sudah dua kali melahirkan di Meratus. "Bagi kami, itu sesuatu yang melegakan sekaligus membanggakan," ujar Citrakasih. Agus Hidayat, Heru C. Nugroho (Semboja, Balikpapan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus