Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGI seorang dokter, malapraktek mungkin merupakan aib terbesar. Namun, yang terjadi di Inggris pekan lalu, tujuh dokter ditangkap bukan karena kesalahan dalam praktek kedokteran. Mereka ditahan karena dicurigai terlibat tindakan terorisme. Dua mobil berisi bom ditemukan di London, Jumat dua pekan lalu. Sehari setelahnya, terjadi percobaan peledakan bom di Glasgow, Skotlandia.
Dokter pertama yang dicokok Kepolisian Inggris adalah Bilal Abdullah yang menabrakkan mobil di Bandara Glasgow. Dokter asal Irak ini tinggal di Stafforshire dan bekerja sebagai spesialis diabetes di Royal Alexandra Hospital, Paisley, sejak tahun lalu. Dokter kedua adalah Mohammad Asha, 26 tahun. Warga negara Yordania yang besar di Palestina ini bertugas di Royal Shrewsbury Hospital dan Princess Royal Hospital, Telford. Ahli bedah saraf ini ditangkap bersama istrinya, Marwah Dana, 27 tahun, di Cheshire.
Dokter Sabeel Ahmad, 26 tahun, juga ditangkap di Cheshire. Dokter asal India ini bekerja di Warrington Hospital dan Halton sejak 2005. Adiknya, Kafeel Ahmad, penumpang mobil yang diledakkan di Bandara Glasgow, juga seorang dokter yang kini dirawat karena tubuhnya terbakar hingga 90 persen. Dua pria lain yang diciduk polisi kabarnya adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran yang magang di Royal Alexandra Hospital.
Dari Australia, Mohammed Haneef, 27 tahun, ditangkap di Bandara Brisbane, Australia. Sebelum bekerja di Gold Coast Hospital, Australia, dokter asal India ini bertugas di Halton Hospital, Cheshire, Inggris.
Inilah untuk pertama kalinya para dokter ditangkap dengan tuduhan terlibat terorisme. Kejadian ini sungguh disayangkan para penyandang profesi penyembuh sesama. ”Tugas seorang dokter, bahkan jika bertemu musuh, adalah memberi pertolongan, bukan merencanakan pembunuhan,” kata Prasad Rao, Ketua Asosiasi Dokter Internasional Inggris.
National Health Service (NHS), lembaga yang membawahi rumah sakit dan tenaga medis di Inggris, ikut panik. Lembaga ini memang kebanjiran dokter dari luar negeri. Menurut data NHS, sedikitnya ada 80 ribu dokter impor di Inggris. Yang terbanyak berasal dari India, jumlahnya 27.558 orang; 8.188 orang dari Afrika Selatan, 6.634 orang Pakistan, 1.985 orang Irak, 565 Suriah, dan 184 Yordania. Akibat penangkapan para dokter yang tersangkut terorisme, masa depan mereka di Inggris bisa terancam. Apalagi Uni Eropa sudah menerapkan aturan lebih ketat terhadap dokter-dokter yang datang dari luar negara-negara anggota Uni Eropa.
Selain para dokter pendatang, yang juga paling terkena dampak buruk adalah kelompok-kelompok muslim Inggris. Na’eem Raza, pendiri Muslims Consultancy, Skotlandia, terpukul dengan serangan yang melibatkan orang seagamanya. ”Saya lahir dan besar di Inggris. Inilah tanah airku, rumahku, dan masa depanku,” katanya. Sehari setelah penemuan bom di London dan peledakan mobil di Glasgow, hidup Raza berubah.
Sejak meninggalkan rumah, Raza merasa semua orang menatap dan mengawasi gerak-geriknya. Istrinya yang memakai jilbab juga tiba-tiba dijauhi tetangga dan teman-teman. Padahal, selama puluhan tahun, mereka hidup berdampingan dalam satu komunitas, anak-anak bermain bersama, memakai jalan yang sama dan mendukung tim olahraga yang sama. ”Kini, kami adalah orang lain,” keluh Raza. Dia pun mesti tabah saat BBC Radio Skotlandia menyebut Islam ”agama alien” atau ”agama yang mengajarkan teror”.
Namun, beban terberat sebenarnya ada pada pemerintah Inggris, karena serangan bom itu bagai kado selamat datang bagi perdana menteri yang baru, Gordon Brown. Belum seminggu Brown menggantikan Tony Blair, Inggris kembali diguncang ancaman bom. Walaupun insiden kali ini tidak menimbulkan korban jiwa seperti yang terjadi pada 2005, ini merupakan hantaman keras bagi Brown.
Tak ada pilihan bagi Brown kecuali bergerak cepat. Dia, misalnya, telah berbicara dengan Perdana Menteri Australia John Howard—karena salah satu tersangka ditangkap di Brisbane—untuk membuat penyelidikan bersama. Polisi Australia pun telah mengembangkan penyelidikan dengan melakukan beberapa penangkapan. ”Ini sudah menjadi investigasi internasional,” kata Brown. ”Dan saya percaya arah penyelidikan kami sudah sampai pada inti kelompok pelaku. Saya ingin publik tahu bahwa kami bergerak cepat untuk menghindari kemungkinan serangan lain,” katanya, Jumat pekan silam.
Gerak Brown memang benar, karena hanya dalam waktu empat hari polisi Inggris berhasil menangkap orang-orang yang mereka sebut sebagai tersangka utama, yakni para dokter itu. Indeks tingkat ancaman yang sejak serangan berada pada level tertinggi, yaitu 5, telah turun pada Rabu pekan lalu. Menurut badan intelijen Inggris, MI5, sebagian dari jaringan pelaku sudah ada di bawah radar pengamatan intelijen.
Harus diakui, kesigapan polisi menangkap para tersangka teroris adalah berkat kebijakan peninggalan Tony Blair. Sebab, sejak Amerika Serikat menggelar perang melawan teroris pascaserangan 11 September 2001, Inggris sebagai negara sekutu mengikuti langgam AS. Pemerintah Blair membakukan seperangkat kebijakan melawan terorisme, termasuk mendongkrak dana untuk polisi dan kegiatan intelijen. MI5, misalnya, membuka cabang-cabang regional baru, termasuk di Glasgow—dan hasil kerjanya sudah tampak. Selain itu, bom di tempat transportasi publik di London pada Juli 2005, yang menewaskan 62 orang dan melukai 700-an orang, telah menjadi ”momen latihan” yang baik pemerintah Inggris dalam menghadapi teroris.
Brown pun tinggal meneruskan kebijakan pendahulunya, dan memperbaikinya di sana sini, disesuaikan dengan kondisi terbaru. Dia, misalnya, akan memperluas ”daftar orang yang harus diwaspadai”. Para pekerja migran berketerampilan akan mendapat penelitian latar belakang yang lebih jauh dan luas. Mekanisme rekrutmen NHS akan segera dikaji ulang.
Langkah lain adalah memperbarui undang-undang kontraterorisme yang akan dibahas sekitar September mendatang. Dalam pakem hukum baru tersebut bisa dipastikan aturan-aturan yang lebih ”memudahkan” untuk menangkap teroris akan gol. Misalnya, membolehkan penggunaan rekaman telepon sebagai bukti pengadilan, dan memperpanjang masa penahanan hingga lebih dari 28 hari tanpa harus mengajukan tuntutan hukum.
Selain itu, Brown akan membentuk komite keamanan nasional baru yang langsung dipimpin perdana menteri. Komite ini menggantikan dewan serupa yang selama ini beranggotakan menteri-menteri bidang tertentu yang terkait dengan keamanan. Brown juga akan membuat parlemen lebih independen dan punya kuasa untuk mengawasi kinerja intelijen.
Apa boleh buat, Brown mungkin harus merelakan liburan musim panas kali ini tanpa menikmati final pertandingan tenis Wimbledon. Karena dia sudah sibuk dengan ”permainan” lain yang jauh lebih rumit, yaitu melawan teroris. Apalagi, serangan bom ke tanah Inggris yang terjadi dua pekan silam kemungkinan besar bukan yang terakhir kali.
Andari Karina Anom (BBC, The Guardian, The Times)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo