Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wimar Witoelar
Demokrasi melaju dengan cepat di Indonesia dan pemilihan kepala daerah di DKI pada 2007 diharapkan membawa kemajuan mutakhir. Maunya sih begitu. Kenyataannya, demokrasi akan anjlok dalam pemilihan Gubernur DKI pada Agustus ini, kalau tidak terjadi mukjizat politik.
Persaingan sudah hilang ketika semua partai, kecuali satu, ramai-ramai mendukung satu orang. Calon satu lagi didukung satu partai saja. Partai yang ramai-ramai itu tidak punya visi yang sama, kecuali keinginan berbagi kekuasaan. Calon yang didukung juga tidak banyak bersikap, hanya menampilkan wajahnya di billboard, iklan televisi, dalam publikasi DKI yang dibiayai anggaran daerah.
Pintar juga tim suksesnya. Mereka merasa calonnya pasti menang. Jadi, buat apa ambil risiko dengan menyatakan sikap? Menghadapi wartawan cuman bikin naik darah saja, karena mereka selalu menyalahkan dia untuk banjir, macet, kesemrawutan, mentang-mentang dia wakil gubernur. Kalau bilang dia nggak bersalah, harus menyalahkan gubernur yang mensponsori dia.
Kampanye saingannya, Adang Daradjatun, tidak menggunakan uang DKI dan menunjukkan kepedulian:
”Mau banjir terus? … Cappee deh….”
”Bosen Macet ? Susah Kerja? Hidup Sulit?”
Dan yang paling nyentil: ”Narkoba Makin Menggila”
Sayang, partai pendukungnya kurang nyaman untuk semua orang. Terus, calon yang dipilih tidak memancarkan kebersihan. Dari mana uangnya yang banyak itu? Hasil jabatan sebagai orang kedua di Kepolisian RI? Katanya uang itu dari istrinya yang menjadi pengusaha. Usaha apa?
Bram, yang mengaku sebagai ”rakyat non-partai”, menulis di website www.perspektif.net, ”Saya pribadi sedih sekali melihat sebuah partai yang lumayan ‘bersih’ (dibandingkan partai yang lain) terpaksa mendukung calon busuk dengan alasan yang sampai sekarang tidak diketahui oleh kader-kadernya sendiri.”
Banyak pendapat lain dalam demokrasi kita. Mitra bisnis DKI yang artis, kontraktor, konsultan, developer, dan pakar, masuk tim sukses Foke. Juga stasiun televisi, pemilik toko, dan pengelola mal yang dihidupi oleh Gubernur DKI.
Setahun sebelum pemilihan, orang berlomba ingin sosialisasi. Tapi, begitu menghadapi isu nyata, buyar. Seperti tim sepak bola yang main cantik tapi tidak bisa mencetak gol. Acara sosialisasi di televisi berawal dengan cantik, tapi akhirnya tidak mampu membedakan good guy dari bad guy.
Sekalinya orang mempertanyakan penyelewengan kampanye di televisi, malah diberhentikan. Sebaliknya anggota tim sukses dipertahankan. Jadinya lucu-lucu tapi tidak ada nyali. Lucunya lagi, calon gubernur yang paling sibuk kampanye tidak mau tampil depan kamera live kecuali ada jaminan tidak akan ada pertanyaan yang susah.
Pemilihan kepala daerah di DKI semula memberi harapan akan muncul orang yang bersih. Tapi, seperti ditulis Redi dalam website www.perspektif.net: ”Foke tidak bisa diterima karena, sebagai wakil gubernur, prestasinya tidak luar biasa: banjir, macet, kemiskinan, harga mahal dst. Adang juga tidak bisa diterima karena, sebagai pejabat tinggi polisi, prestasinya juga tidak luar biasa: tingkat keamanan yg rendah, kasus pencurian, perampokan, kejahatan jalanan dst.... Kedua kandidat bukan calon yg baik.”
Beberapa bulan lalu orang masih optimistis dengan munculnya beberapa nama yang mendapat kepercayaan seperti Rano Karno, Faisal Basri, Agum Gumelar, dan Sarwono Kusumaatmadja. Faisal Basri berteguh pada sikap dan terlempar dari percaturan. Agum maju-mundur sampai hilang di tempat parkir. Sarwono bisa memikat dan mengikat PKB dan PAN, tapi kemudian lepas lagi oleh arus pragmatisme di kedua partai itu.
Kasus Rano Karno lebih mengecewakan lagi. Bersiap-siap selama dua tahun dengan citra kuat sebagai anak Betawi, kuat dalam retorika dan banyak pendukung, dia pernah dianggap calon legitimate. Tapi akhirnya dia hanya jadi pemain iklan Fauzi Bowo, menjual brand paling sukses seumur hidup dia. Kasihan, Si Dul.
Harapan akan adanya calon independen sudah hilang untuk kali ini. Seperti diduga, elite politik menolaknya, termasuk pakar yang dibeli oleh partai. Calon independen membuat ngeri calon yang sudah keluar modal miliaran rupiah. Fadjroel Rahman menunjukkan bahwa sebenarnya calon gubernur dalam pemilihan kepala daerah di DKI sudah melanggar, berdasarkan praduga mereka menyetor ke partai politik. Djasri Marin dan Slamet Kirbiantoro mengatakan dengan jelas bahwa mereka menyuap petinggi partai.
Pengalaman dalam pemilihan kepala daerah DKI membuktikan bahwa partai politik kita tidak bisa dipercaya. Terima kasih kepada 20 partai politik yang membuktikan kepada kita bahwa mereka belum siap memberikan pilihan kepada rakyat.
Tapi demokrasi tidak diukur dari hasil sesaat. Demokrasi tidak menjamin keadilan dan kesejahteraan, hanya meletakkan dasarnya. Paling penting, demokrasi tidak ditentukan dalam satu pemilihan kepala daerah, tapi dalam proses sehari-hari. Dengan kekecewaan pemilihan kepala daerah di DKI pada 2007, lebih beralasan lagi menuntut pembersihan partai politik, termasuk menambah dukungan untuk calon independen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo