Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Hantu-Hantu Menuntut Keadilan

"Otak" pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan di Sierra Leone luput dari proses hukum. Padahal memakan 50 ribu korban.

14 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FREETOWN sedang diuji. Di ibu kota Sierra Leone ini, nyawa sekitar 50 ribu korban perang saudara akan bangkit dari kuburnya dan mendakwa makna "kota bebas" yang disandangnya. Ini akan terjadi bila pengadilan khusus bagi para pelaku utama kejahatan terhadap kemanusiaan di salah satu negara termiskin di Afrika itu tidak transparan dan curang.

"Hantu ribuan orang yang mati dibunuh gentayangan di antara kita," ujar David Crane, salah satu jaksa asal Amerika. "Mereka menuntut pengadilan yang adil dan transparan agar mata dunia terbuka tentang apa yang sebenarnya terjadi di Sierra Leone," tuturnya. Di pengadilan bersejarah yang berlangsung sejak dua pekan lalu itu, 13 orang "paling bertanggung jawab" masuk dalam daftar terdakwa.

Sekitar 50 ribu warga tewas dalam perang saudara di negeri di Afrika Barat yang selalu bersimbah darah ini. Pada 1991, kelompok pemberontak Front Revolusioner Bersatu (FRB) mulai menduduki desa dan kota di Sierra Leone. Sejak itu hingga 11 tahun kemudian, warga sipil menjadi korban kekerasan, baik oleh pemberontak, tentara, maupun milisi. Mereka dibantai di jalan, rumah, bahkan di masjid ataupun gereja. Menurut laporan Human Right Watch, banyak yang dibakar hidup-hidup, mengalami mutilasi dan pemerkosaan. Ratusan ribu orang mengungsi ke negara-negara tetangga.

Baru setelah masyarakat dunia campur tangan, kesepakatan damai tercapai pada 1999. Juni 2000, sesudah yakin akan mendapat kekebalan dari pengadilan, Presiden Ahmad Tejan Kabbah menyetujui pembentukan pengadilan internasional yang akan menyeret para "otak" kejahatan terhadap kemanusiaan di negerinya. Ia juga menyepakati penggunaan hakim dan jaksa gabungan—internasional dan lokal. Pengadilan Sierra Leone juga pengadilan internasional pertama yang digelar di tempat kejadian perkara. Jadi berbeda, misalnya, dengan pengadilan kasus Rwanda dan bekas Yugoslavia, yang berlangsung di Den Haag, Belanda.

Indonesia pernah didesak menerima sistem pengadilan semacam ini untuk kasus pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur (kini Timor Leste) menjelang jajak pendapat 1999. Namun Jakarta berhasil melobi masyarakat dunia dan menggelar pengadilan ad hoc sendiri. Belakangan, sebagian masyarakat dunia tak puas dengan hasil pengadilan ad hoc tadi, sehingga Serious Crime Unit di Dili mencoba mengadili sendiri para petinggi dan mantan petinggi militer Indonesia, termasuk Jenderal (Purn.) Wiranto.

Pengadilan Sierra Leone, setelah empat tahun melewati proses panjang dan keras, akhirnya benar-benar digelar. Namun kredibilitas pengadilan ini langsung dicerca. "Kami kecewa dengan hasilnya," ujar Abdulai Kamar, seorang aktivis hak asasi manusia. Target utamanya tak terjangkau. Presiden Ahmad Tejan bebas, sedangkan mantan Deputi Menteri Pertahanan (merangkap Menteri Dalam Negeri) Sam Hinga Norman dijadikan kambing hitam.

"Hinga Norman hanya Deputi Menteri Pertahanan. Dan ketika perang pecah, siapa yang bertanggung jawab mempertahankan negeri, kan Menteri Pertahanan?" ujar seorang mantan milisi propemerintah. "Di sinilah pengadilan khusus itu gagal."

Adapun mantan Presiden Liberia Charles Taylor, yang melindungi pemberontak FRB, aman-aman saja di bawah lindungan Nigeria. Sejumlah penjahat terhadap kemanusiaan lain telah menemui ajalnya. Pemimpin dan pendiri FRB, Foday Sankoh, mati dalam tahanan pada Juli lalu. Komandan FRB paling ditakuti, Sam "Mosquito" Bockarie, tewas dalam baku tembak di Liberia pada April silam. Mantan pemimpin Dewan Revolusioner Angkatan Bersenjata, Johny Paul Koroma, yang merebut kekuasaan dari Presiden Ahmad Tejan yang berkoalisi dengan FRB, belum ditemukan.

Ketika Sam Hinga Norman duduk di depan hakim, dua pekan lalu, rakyat pun terpecah. "Dia satu-satunya pahlawan kami yang berdiri tegak di depan untuk mempertahankan hak-hak yang diberikan Tuhan kepada kami, menantang peluru musuh dengan peluru, darah dengan darah," tulis Rita Rofanah, seorang jurnalis di Sierra Leone. "Kebebasan" Freetown benar-benar sedang diuji.

Purwani Diyah Prabandari (BBC, NYT, IRIN, Sunday Herald)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus