Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kesederhanaan yang Menipu

Gitaris-vokalis Toninho Horta menggelar konser di Jakarta. Konser yang menunjukkan kekayaan harmoni di dalam musiknya.

14 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah nada bukanlah sebuah sapuan kuas dalam lukisan. Sang nada tak berdiri sendiri, tapi hadir bersama, berjubel dengan ornamen-ornamen lain dalam sebuah kesatuan. Dengan kata lain, sebuah not boleh jadi merupakan bagian satu rangkaian nada dengan ornamen-ornamen yang lantas dapat memudarkan bentuk asalnya.

Gitaris-vokalis-komponis-arranger Brasil, Toninho Horta, 53 tahun, yang baru berpentas di sebuah hotel di Jakarta dua pekan silam, adalah contoh ekstrem. Hampir tiap-tiap nada pada hampir tiap-tiap ketukan dalam komposisinya merupakan sebuah entitas yang mencakup aneka bentuk deviasi, beragam bentuk pelesetan dari nada asli—semuanya dalam matriks nada (baca: akor) yang pelik.

Malam itu, ia berbicara tentang keindahan kampung halamannya yang berbukit-bukit dan banyak menghasilkan buah-buahan: Negara Bagian Minas Gerais di Brasil. Tapi lagunya Aqui Oh ("di sini oh") disenandungkan bagai laut tenang tanpa pantai, tanpa tepi. Ia bersenandung lirih di antara akor-akor yang teramat kompleks tapi dimainkan secara nonstop—tanpa berkeringat, dengan penguasaan teknik istimewa—di sepanjang lagu.

Gitar di tangan Toninho ibarat sebuah orkestra yang menghadirkan harmoni yang luar biasa. Tapi bukan itu saja yang utama. Vokal sang maestro itu seakan berangkat dari suatu alam lain: ringan, seraya melayang-layang di antara beat samba.

Aqui Oh, Viver de Amor, Vento, O Amor em Paz, BeijoPatido, dan banyak lagi komposisi Toninho merupakan gumaman melodius. Namun itulah Toninho dan itulah pula Brasil. Suara vokalis berambut ikal-keriting itu—yang secara serius sudah menggubah lagu sejak berusia 13 tahun—bukan lagi sesuatu yang bergerak lincah atau pintar menjelajahi nada-nada rendah dan tinggi. Perlahan-lahan, di sela-sela melodi yang manis, kita menangkap bahwa suara si vokalis adalah elemen yang adem, dengan daya jangkau tidak dipaksakan, tak lebih jauh dari satu oktaf.

Toninho Horta memang istimewa. Tapi ia berkreasi pada suatu masa ketika musik Brasil berdenyut hidup di urat nadi masyarakatnya, dan dunia internasional—terutama masyarakat jazz—menyambutnya dengan rasa syukur. Kita tahu, berbulan-bulan sebelum ritual Carnaval yang heboh dan terkenal itu, gemuruh perkusi samba sudah terdengar dari bukit-bukit di sekitar Rio de Janeiro. Ensambel perkusi atau batucada bisa berlangsung kapan saja, di mana saja. Kita juga tahu, Brasil memiliki seorang komponis sekelas Antonio Carlos Jobim ketika musik di Amerika punya George Gershwin ataupun Duke Ellington.

Juga bossa nova, salah satu anak keturunan samba yang kaya permainan sinkopasi (nada sengaja dijatuhkan di antara dua ketukan), kaya harmoni, dan diam-diam menyimpan kesederhanaan yang menipu itu. Bossa nova pada awal 1960-an adalah musik yang amat mempesona banyak orang—sampai akhirnya rock menyerbu dunia musik pop, dan anak muda waktu itu berpaling kepada The Beatles.

Itulah musik Brasil. Aktivis jazz sekaligus pemain flute Herbie Mann menyimpulkan, ada sesuatu yang magis dan mistis dalam musik Brasil. Tapi pendapat yang lebih populer tidak melihat yang terlalu muluk. Musik Brasil, kata banyak orang, tak lebih dari sarana "amnesia sesaat": sebuah jeda dari kehidupan ekonomi yang perih, sama sekali tak menjanjikan.

Toninho menutup konsernya di Jakarta dengan sebuah lagu, komposisi Milton Nascimento, komponis Brasil terkenal, kawan sekampungnya, yang berjudul No Morro, Nao Ter Vez—bahasa Indonesianya: "Di bukit-bukit itu mereka tak punya kesempatan." Kita mendengar, suaranya sayup, gitar di tangannya berkali-kali menyemburkan rangkaian akor yang khas musik Brasil. Sekumpulan nada dijadikan satu, dengan identitas yang tidak begitu jelas.

Ya, di antara muramnya nada-nada minor, terdapat segelintir nada mayor buat menimbulkan kesan cerah. Dan di antara cerianya nada-nada mayor, terselip satu-dua nada minor yang mengingatkan redupnya harapan dan kesempatan.

Idrus F. Shahab

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus