Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sam Rainsy sekaligus mendapat kabar baik dan buruk hanya dalam tiga hari. Jumat, 19 Juli lalu, tokoh oposisi Kamboja itu dielu-elukan ribuan orang tatkala tiba di Bandar Udara Internasional Phnom Penh. Ia baru saja kembali dari empat tahun pelarian ke Prancis. Di bandara, penyambut Rainsy bersorak, melambaikan bendera dan berteriak, "Perubahan, perubahan!" Setelah keluar dari pesawat, Rainsy mencium tanah, kemudian mengacungkan tangan terkepal seraya menyambut lautan pendukung yang telah lama menunggu.
"Saya sangat senang. Saya kembali untuk bersama-sama Anda semua menyelamatkan bangsa ini," ujar politikus 64 tahun ini sebelum berkonvoi menuju Taman Demokrasi, Phnom Penh, yang sesak oleh orang yang ingin mendengar orasinya. "Pemilu mendatang akan tidak berarti jika Perdana Menteri Hun Sen bertanding sendirian, tidak ada kandidat lain yang menantangnya," katanya.
Rainsy pulang dengan satu tujuan: mengikuti pemilihan majelis nasional pada akhir pekan lalu. Ia diperbolehkan kembali ke tanah airnya setelah Raja Kamboja Norodom Sihamoni memberikan pengampunan. Selama ini ia tinggal di Prancis setelah melarikan diri dari Kamboja pada 2009 untuk menghindari pengadilan Kamboja, yang kemudian menghukumnya in absentia 11 tahun penjara karena berbagai pelanggaran, termasuk korupsi. Namun banyak yang percaya bahwa hukumannya adalah akibat dia melawan orang terkuat Kamboja, Hun Sen. Rekannya satu partai di Sam Rainsy Party (SRP) ada yang dibunuh dan dipenjara.
Pengampunan Rainsy membuka harapan kelompok pembaru. Ia diyakini bisa menjadi penantang Perdana Menteri Hun Sen, yang telah berkuasa hampir tiga dekade. Di Kamboja, Rainsy menjadi simbol demokrasi. Seperti dilansir situs Asiaone, Kuch Narith, pemuda berusia 26 tahun, menjelaskan, "Ia jauh berbeda dengan pemimpin saat ini. Ia mengorbankan segalanya untuk bangsa ini."
Sayangnya, selang tiga hari setelah kedatangannya, kabar buruk menimpanya. Komisi Pemilihan Umum Kamboja menolak permintaan Rainsy berlaga sebagai wakil dari Provinsi Kandal, tempat Hun Sen juga menjadi kandidat. Alasannya, menurut Ketua Komisi Pemilihan Umum Im Suosdey, Rainsy terlambat mendaftar.
Penolakan ini membuat agenda oposisi tersendat. Padahal jauh-jauh hari Rainsy sudah menyusun kekuatan. Pada 17 Juli 2012, ia mendirikan Kanakpak Songkruos Cheat Kampuchea atau Partai Penyelamat Nasional Kamboja. Ini merupakan kongsi antara partainya dulu, SRP, dan Human Rights Party (HRP), yang diketuai Kem Sokha. Gabungan keduanya diharapkan bisa mengganggu Partai Rakyat Kamboja pimpinan Hun Sen. "Negara kita tenggelam di bawah diktator yang hanya melayani kepentingan orang asing," kata Kem Sokha mengungkapkan alasannya berkongsi.
Kem Sokha, aktivis kawakan Kamboja, merupakan satu-satunya tokoh oposisi yang kegiatannya membuat Hun Sen khawatir. Dia punya pengaruh cukup signifikan di pedesaan, tempat mayoritas pemilih berada. Untuk menyiasati blokade kampanye melalui media massa (penguasa memonopoli semua akses ke media), dia berkampanye dengan menggunakan kendaraan bak terbuka dan meneriakkan programnya dengan pengeras suara. Dia juga menjalankan stasiun radio yang menyiarkan program asing ke dalam bahasa Khmer.
Menggoyang Hun Sen bukan persoalan gampang. Ia sudah berada di lingkaran kekuasaan sejak 1985, ketika usianya baru 33 tahun. Lahir di Peam Koh Sna, Distrik Stueng Trang, Provinsi Kampong Cham, pada 1952, Hun Sen menjadi komandan batalion di wilayah timur Demokratik Kamboja, sebutan negara semasa pemerintahan Khmer Merah pada 1975-1979. Keputusannya membelot pada 1977 membuka langkahnya masuk pemerintahan. Pada 1985, ia terpilih sebagai ketua dewan menteri dan perdana menteri, menyusul kematian Chan Sy. Pada 1993-1998, ia menjadi perdana menteri bersama Pangeran Norodom Ranariddh, pemimpin partai Funcinpec. Namun, pada 1997, koalisi pecah. Hun Sen melakukan kudeta berdarah dan mengganti Ranariddh dengan Ung Hout. Setahun kemudian Kamboja melaksanakan pemilihan umum. Partai Rakyat Kamboja menang dan bertahan hingga kini.
Hun Sen membangun kembali Kamboja yang runtuh akibat perang saudara dan genosida di bawah komando Pol Pot. Ahli politik Chea Vannath dari Centre for Social Development mengatakan langkah pertama Hun Sen adalah mengembalikan negara komunis itu ke bentuk kerajaan. Cara ini membuat Norodom Sihanouk kembali ke kekuasaan. Strategi lainnya, ia merangkul Khmer Merah. Dua mantan pemimpinnya, Ieng Sary dan Khieu Samphan, diajak bergabung. Sedangkan Pol Pot, Nuon Chea, dan Son Sen dibiarkan bergerilya di perbatasan Thailand. Cara ini membuat gerak Khmer Merah menjadi terbatas. Meski belakangan, ketika Mahkamah Internasional memperkarakan Sary dan Samphan, Hun Sen membiarkan.
Di sektor ekonomi, Hun Sen menerapkan kebijakan pasar bebas yang mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi Kamboja, yang semula morat-marit. Investor asing diizinkan membentuk 100 persen perusahaan milik asing dan bisa membeli tanah dan properti langsung—atau setidaknya mendapat sewa 99 tahun. Mereka juga mengundang ratusan investor membeli lahan dengan harga murah, membangun perumahan dan pabrik. Kini, Cina berperan sebagai investor terbesar di Kamboja.
Dari negara amburadul akibat perang saudara, Kamboja menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di Asia Tenggara. Menurut catatan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Kamboja memiliki pertumbuhan ekonomi rata-rata 10 persen per tahun. Dari industri pariwisata saja, tahun lalu Kamboja mampu menarik 3,4 juta wisatawan dan meraup pendapatan US$ 2,2 miliar, yang setara dengan 12 persen pendapat negara. Meski demikian, Bank Dunia mencatat sepertiga warga Kamboja berada di bawah garis kemiskinan, dengan pendapatan rata-rata US$ 820 (sekitar Rp 8,45 juta) per tahun.
Kemakmuran yang meningkat bertahap membuat rakyat tenang. Khmer Merah tak lagi menjadi ancaman. Ta Mok, misalnya. Pria yang dulu dijuluki Si Pembantai karena kebrutalannya selama rezim Khmer Merah itu kini menjadi orang paling dihormati di Anlong Veng, wilayah utara Kamboja yang berbatasan dengan Thailand. "Semua orang di sini cinta Ta Mok. Dia pemimpin yang baik dan memperhatikan rakyat," kata Sreng Kor Ma, 42 tahun. "Ia membangun rumah sakit, jembatan, dan infrastruktur lain di Anlong Veng."
Kamboja berada dalam keadaan "damai" karena negara berpenduduk 14 juta jiwa itu memilih tidak mencari masalah. Generasi tua Kamboja ingin bermain aman karena mereka masih trauma dengan pembantaian dan perang saudara. Karena semua akses informasi dikuasai penguasa, tingkat melek politik pun rendah. Keikutsertaan warga dalam pemilihan umum minim. Puthea Hang, Direktur Neutral and Impartial Committee for Free Election Kamboja, mengatakan pada pemilu 2008 hanya 60 persen pemilih yang berpartisipasi. "Yang tersisa saat ini adalah fasad demokrasi," kata asisten profesor Departemen Ilmu Politik di Northern Illinois University, Amerika, Kheang Un Nya.
Hun Sen memang masih terlalu kuat bagi oposisi. Kekuasaannya membuat dia leluasa memasang anak-anaknya di jabatan penting. Hun Many, putra termuda Hun Sen yang berusia 31 tahun, akan ikut dalam pemilihan kali ini. Ia adalah wakil ketua kabinet dan kepala gerakan pelajar nasional. Anak kedua, Jenderal Hun Manith, adalah wakil kepala unit intelijen Kamboja.
Anak tertua, Jenderal Hun Manet, merupakan kesayangan Hun Sen dan dipercaya bakal jadi penerusnya. Hun Manet saat ini menjabat wakil komandan pengawal pribadi Hun Sen dan kepala pasukan khusus antiteroris Kamboja. Kombinasi semuanya, menurut Henri Locard, sejarawan Prancis yang mengajar di Royal University of Phnom Penh, bakal melanggengkan penguasa saat ini. "Jika semua berjalan seperti hari ini, kita tak akan pernah melihat akhir dari rezim Hun Sen."
Raju Febrian (Reuters, Guardian, Xinhua, Phnom Penh Post, Foreign Policy)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo