Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NADA bicara Sabreen al-Najjar terdengar menggebu saat memperbincangkan mendiang putrinya. Suara ibu enam anak ini sesekali meninggi ketika ia menyebut nama Razan al-Najjar, anak sulungnya yang meninggal pada awal Juni lalu. Razan tewas di Khan Younis, kota di wilayah selatan Jalur Gaza, Palestina, akibat serangan serdadu Israel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Razan kehilangan nyawa tidak lama setelah tubuhnya diterjang sebutir peluru penembak jitu Israel. Insiden itu terjadi di tengah unjuk rasa para pemuda Palestina di Khuza’a, desa kecil dekat pagar perbatasan Gaza dan Israel. Lokasi protes hanya beberapa ratus meter dari tempat tinggal keluarga Sabreen. Razan, yang tengah bertugas sebagai perawat, semula ingin menolong pemrotes yang terkena tembakan gas air mata. Nahas, ia malah jadi korban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Razan sempat dilarikan ke sebuah rumah sakit di Khan Younis sekitar 8 kilometer dari Khuza’a. Namun peluru yang menembus dada hingga punggung perempuan 21 tahun itu keburu merenggut nyawanya. "Tentara Israel tahu itu Razan. Mereka memang sengaja menembak Razan," kata Sabreen saat dihubungi Tempo, Senin tiga pekan lalu.
Tewasnya Razan menyentak dunia. Simpati dari komunitas internasional membanjiri keluarga Razan. Sebaliknya, pemerintah Israel panen kecaman dan hujatan. "Warga Palestina dan Otoritas Palestina mengakui Razan sebagai martir," ujar Sabreen.
Otoritas Palestina memberikan uang duka sebesar US$ 2.500 atau sekitar Rp 36 juta kepada keluarga Razan. Sabreen menggunakan duit santunan itu untuk pemakaman putrinya, termasuk menjamu para tamu yang datang melayat selama tiga hari. Selain itu, mereka mendapat uang bulanan hampir Rp 4,4 juta.
Kematian Razan dianggap syahid sehingga keluarganya berhak mendapat santunan yang disebut sebagai uang syahid atau dana martir dari Otoritas Palestina di Ramallah. "Keluarga yang ditinggalkan setiap orang Palestina yang mati syahid sebagai martir dalam ’perang’ akan mendapat gaji bulanan," ucap Ahmed M. al-Raee, aktivis dari lembaga swadaya masyarakat Al Quds Association di Gaza, kepada Tempo.
"Perang" itu termasuk demonstrasi anti-pendudukan Israel yang kerap meletup di dekat pagar perbatasan Gaza-Israel. Sejak 30 Maret lalu, misalnya, lebih dari 170 orang Palestina-kebanyakan pemuda-tewas dan ribuan lainnya terluka akibat tembakan tentara Israel selama unjuk rasa. Para demonstran menuntut hak kembali ke rumah dan desa mereka di Palestina yang kini diduduki Israel. Mereka yang tewas dan terluka dalam peristiwa itu dinyatakan sebagai martir, seperti Razan.
Dengan uang syahid tersebut, Sabreen dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, yang tinggal di unit apartemen milik kerabatnya. Apalagi suaminya, Ashraf al-Najjar, montir sepeda motor, telah lama menganggur dan seorang adik perempuan Razan akan kuliah.
Mekanisme dana martir dibentuk pada 1967 oleh Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pimpinan Yasser Arafat. PLO kemudian mengurangi perannya sejak Otoritas Palestina terbentuk sebagai hasil kesepakatan damai sementara dengan Israel pada 1990-an.
Uang syahid kemudian disalurkan melalui Dana Martir Palestina, layanan keuangan yang dikelola Otoritas Palestina. Santunan diberikan kepada warga Palestina yang anggota keluarganya tewas, terluka, atau dipenjara oleh Israel. Pada 2016, Dana Martir menggelontorkan lebih dari Rp 2 triliun kepada sekitar 35 ribu keluarga Palestina. Santunan bulanan untuk tiap keluarga dihitung berdasarkan indeks biaya hidup di tiap wilayah Palestina.
Jumlah santunan bahkan bisa sangat besar. Dana bagi keluarga Hakim Awad, misalnya, yang masih 18 tahun ketika pengadilan militer Israel menjatuhkan vonis 130 tahun penjara kepadanya karena ia membunuh lima anggota keluarga Yahudi di permukiman Tepi Barat pada 2011. Keluarga Awad menerima dana martir sekitar Rp 200 juta setahun. Jika ia masih hidup sampai berusia 80 tahun, keluarganya bakal mengantongi lebih dari Rp 27,7 miliar.
Blokade Israel terhadap Gaza, yang dikendalikan Hamas selama 11 tahun terakhir, telah menggencet kehidupan ekonomi sekitar 2 juta penduduknya. Bank Dunia mencatat hanya 41 persen dari mereka yang berusia 15-29 tahun yang bekerja. Namun gelombang protes anti-Israel tak kunjung padam.
Israel menuding pembayaran uang syahid sebagai bensin yang membakar semangat perlawanan rakyat Palestina. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pernah mengkritik Presiden Otoritas Palestina Mahmud Abbas karena "memuji teroris dan mendanai mereka". Di mata Israel, para demonstran adalah teroris dan kerap dikaitkan dengan Hamas, yang dicap sebagai organisasi teror.
Pemerintah Israel beberapa kali mendesak Otoritas Palestina agar menyetop pembayaran dana martir. Tapi Abbas bergeming. Awal Juli lalu, parlemen Israel, Knesset, setuju menutup keran anggaran yang selama ini menjadi sumber dana syahid. Sebanyak 87 dari 120 legislator mendukung pengesahan undang-undang pembekuan dana itu.
Avi Dichter, legislator dari partai besutan Netanyahu, Likud, mengatakan pengesahan aturan ini akan mengirim pesan tegas kepada Ramallah agar tidak membiayai aksi teror. "Otoritas Palestina telah berubah menjadi pabrik yang mempekerjakan para pembunuh," ujar Dichter, seperti diberitakan Times of Israel.
Meski acap bersitegang dengan Israel, Otoritas Palestina sebenarnya hidup bergantung pada rezim Negeri Zionis itu. Seperti diatur dalam Protokol Paris tentang hubungan ekonomi antara Israel dan PLO, yang dicatat dalam Perjanjian Oslo 1994, pajak Palestina harus dikumpulkan oleh Israel. Dari tangan Israel, pajak lantas ditransfer ke Departemen Keuangan di Ramallah. Uang pajak Desember yang dikumpulkan Israel akan dikirim ke Otoritas Palestina pada bulan berikutnya.
Mekanisme inilah yang membuat Israel punya kendali atas isi kantong Otoritas Palestina. Tel Aviv tidak ingin duit pajak yang diberikan kepada Ramallah digunakan untuk membiayai aksi kekerasan terhadap tentara dan warga sipilnya. "Kami menutup keran untuk Mahmud Abbas. Kegilaan ini harus berhenti," ucap Menteri Pertahanan Israel Avigdor Lieberman.
Otoritas Palestina disebut telah menghabiskan sekitar Rp 16 triliun untuk dana martir selama empat tahun terakhir. Tahun lalu, uang yang dibayarkan mencapai Rp 4,8 triliun-sekitar 7 persen dari total anggaran Otoritas Palestina.
Tapi Palestina menolak tunduk. "Otoritas Palestina bertanggung jawab atas semua orang Palestina, termasuk keluarga para tahanan dan syuhada," kata Saeb Erekat, kepala tim juru runding perdamaian Palestina.
Mahmud Abbas menyatakan uang syahid, yang dalam versi negara itu disebut "dana bantuan sosial", merupakan penghargaan dari pemerintah bagi para pejuang yang telah berkorban nyawa dan kebebasan untuk kemerdekaan Palestina.
Apalagi, menurut catatan kelompok hak asasi manusia, saat ini masih ada sekitar 6.500 tahanan Palestina yang terkurung di penjara-penjara Israel, termasuk 62 perempuan dan 400 anak di 22 penjara. "Meski tersisa satu sen, kami akan membelanjakannya untuk keluarga syuhada dan tahanan," tutur Abbas, seperti dikutip Jerusalem Post.
Mahardika Satria Hadi (Reuters, Ynet News, Middle East Monitor)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo