Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Momentum Emas Kebangkitan Olahraga

Pencapaian atlet kita pada Asian Games XVIII di Jakarta dan Palembang merupakan oasis di tengah paceklik prestasi.

1 September 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pencapaian atlet kita pada Asian Games XVIII di Jakarta dan Palembang merupakan oasis di tengah paceklik prestasi. Hingga Sabtu siang, sehari menjelang upacara penutupan, Indonesia telah meraih 31 medali emas dan bertengger di peringkat keempat. Tak hanya melampaui target 16 medali emas, prestasi ini terbaik sepanjang sejarah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sama seperti pada Asian Games 1962 di Jakarta, kita meraih keberhasilan ganda: sukses sebagai tuan rumah sekaligus meraih prestasi tinggi. Indonesia memang tidak menjadi runner-up seperti 56 tahun silam, tapi perolehan medali emas kali ini mengungguli jumlah emas yang diraih Mohamad Sarengat dan kawan-kawan kala itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prestasi ini patut disyukuri, tapi tak perlu dirayakan secara berlebihan. Kita harus tetap melihat kemajuan setiap cabang olahraga secara jernih. Dari 31 emas tersebut, hampir separuhnya direbut dari pencak silat. Cabang olahraga non-Olimpiade ini memborong 14 dari 16 medali emas yang diperebutkan. Cabang olahraga baru seperti paralayang dan sepeda gunung nomor downhill juga menyumbangkan cukup banyak medali emas.

Itu bukan berarti prestasi kita di cabang olahraga lain ketinggalan. Dari bulu tangkis, Indonesia meraih dua medali emas. Adapun karate, tenis lapangan, angkat besi, wushu, dan dayung masing-masing menyumbangkan satu emas. Perolehan tujuh medali emas dari sejumlah cabang olahraga bergengsi itu jauh lebih baik dibanding pencapaian pada Asian Games di Korea Selatan empat tahun lalu. Saat itu, cabang-cabang olahraga andalan tersebut hanya menyumbangkan empat medali emas.

Tanda-tanda kebangkitan olahraga kita juga terlihat dari munculnya banyak atlet berusia belia. Di bulu tangkis, misalnya, ada Jonatan Christie, yang meraih medali emas, dan Anthony Sinisuka Ginting, yang memperoleh perunggu. Pasangan Fajar Alfian-Muhammad Rian Ardianto pun mulai bersinar. Mereka meraih medali perak setelah dikalahkan rekan sendiri, Marcus Gideon-Kevin Sanjaya.

Cabang atletik juga melahirkan bintang-bintang muda, seperti Lalu Muhammad Zohri dan kawan-kawan, yang meraih medali perak untuk lari estafet 4 x 100 meter. Atlet putri Emilia Nova juga berhasil merebut medali perak lari gawang 100 meter. Adapun Sapwaturrahman mendapat medali perunggu dari lompat jauh. Mereka bisa menjadi tumpuan untuk meraih prestasi lebih tinggi di masa depan.

Harapan baru pun datang dari cabang olahraga panjat dinding, yang akan dipertandingkan untuk pertama kalinya di Olimpiade Tokyo 2020. Dalam Asian Games kali ini, Indonesia merebut tiga medali emas dari cabang panjat dinding. Aries Susanti Rahayu dan Aspar Jaelolo, yang menjadi andalan untuk cabang olahraga ini, kerap pula meraih prestasi gemilang di kejuaraan dunia.

Kita perlu menyiapkan secara serius atlet yang akan berlaga di Olimpiade Tokyo. Selain mengandalkan bulu tangkis, yang menjadi tumpuan meraih emas sejak Olimpiade Barcelona 1992, pemerintah harus mendongkrak prestasi cabang lain, seperti panahan, akuatik, dan atletik.

Pembinaan olahraga jangka panjang pun tidak boleh dilupakan. Inilah cara paling efektif untuk meningkatkan prestasi secara langgeng. Atlet olahraga seperti atletik dan renang bahkan perlu dilatih sejak usia sekolah dasar. Model latihan dan kompetisi pun berbeda-beda sesuai dengan kelompok umur. Diperlukan pula fasilitas yang memadai, pemandu bakat, pelatih, bahkan sponsor untuk mengembangkan olahraga. Negara kita dikenal hebat dalam mengembangkan olahraga bulu tangkis, tapi tertinggal jauh untuk atletik dan cabang lain.

Pembinaan sejak usia dini diperlukan karena prestasi olahraga tak bisa diraih secara instan. Berbagai penelitian ilmiah jelas menyimpulkan bahwa diperlukan waktu berlatih selama 8-10 tahun untuk menghasilkan prestasi tinggi. Waktu latihan atlet berprestasi umumnya sekitar 10 ribu jam atau rata-rata latihan tiga jam sehari selama sepuluh tahun.

Indonesia bisa meniru Cina dalam mengembangkan olahraga. Cina memiliki lebih dari 2.000 sekolah olahraga, sedangkan Indonesia hanya punya 34 sekolah. Sekolah olahraga di Cina ditunjang teknologi mutakhir untuk meningkatkan prestasi atlet. Pemerintah Cina menyediakan lebih dari 600 ribu gelanggang olahraga dan stadion untuk warganya.

Prestasi gemilang di Asian Games XVIII bisa dijadikan momentum untuk membenahi pembinaan olahraga di negeri ini. Tak boleh puas hanya berprestasi di tingkat Asia dan menjadi jago kandang, kita perlu pula menunjukkan prestasi gemilang di Olimpiade.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus