Ketenangan itu pecah. Kota Leskovac, yang mayoritas penduduknya adalah Serbia yang biasa tenang, kini penuh oleh sekitar 20 ribu penduduknya yang turun ke jalan, Senin pekan silam. Demonstrasi itu disusul dengan serangan 2.000 orang ke kantor polisi untuk menuntut pembebasan seorang teknisi sebuah stasiun televisi yang memimpin protes sehari sebelumnya. Ini semua adalah akumulasi protes terhadap kekuasaan Presiden Yugoslavia, Slobodan Milosevic.
Peristiwa ini sungguh ajaib. Leskovac dikenal sebagai basis kekuatan Milosevic. Jika Leskovac saja sudah menentangnya, bagaimana dengan kawasan lain? Tak aneh kalau para pengamat meramalkan bahwa kekuasaan Milosevic tidak akan lama bertahan: "Jika tertimpa masalah di Leskovac, Milosovic benar-benar berada dalam masalah besar," kata Alexa Djilas, seorang analis politik independen dari Beograd.
Inilah lembaran baru cerita negeri yang baru saja menghela napas dari aksi bumi hangus tentara Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Permusuhan antara etnik Serbia dan Albania, penduduk Islam Kosovo, itu pun jeda sejenak. Tapi sesungguhnya sumber masalah itu sama sekali belum tersentuh. Sumber itu, tentu sudah jelas, adalah Milosevic, sang arsitek gerakan "pembersihan etnis", yang kenyang dengan pertikaian panjang dengan Bosnia dan toh kemudian memboyong konflik antaretnik ke Kosovo.
Pengadilan Kriminal Internasional (ICT) memang sudah memvonis Milosevic sebagai penjahat perang. Tetapi toh Milosevic masih bersikeras mempertahankan kekuasaan dengan berbagai cara, antara lain dengan kontrol dan propaganda luar biasa melalui pers. Sepak terjangnya itu tentu saja tak akan seganas yang diinginkannya tanpa bantuan tangan kanannya, Radovan Karadzic—dikenal dengan nama "Bosnia Butcher" atau "Penjagal Bosinia".
Tapi sekarang situasinya sudah berbeda. Yugoslavia jatuh miskin dan ketidakpuasan rakyat semakin menyuburkan perlawanan oposisi. Mereka tidak menyia-nyiakan momen pascaperang Kosovo. Zoran Zivkovic, pemimpin gerakan prodemokrasi dari Cacak, sebuah kota di selatan Beograd, misalnya, memimpin sekitar 10 ribu massa berdemonstrasi awal Juli ini. "Ini saatnya rezim takut terhadap massa, bukan rakyat yang takut terhadap rezim," kata Zivkovic, pimpinan Aliansi untuk Perubahan, yang merencanakan long march dari Cacak ke Beograd sepanjang 90 kilometer, musim panas Juli.
Perlawanan dari Cacak adalah perlawanan yang paling solid karena kota industri itu memiliki tradisi perlawanan terpanjang terhadap Milosevic. Bahkan sekarang etnik Serbia di Cacak ikut dalam gerakan anti-Milosevic. "Mereka (rezim Milosovic) telah mempermalukan kita. Kami malu sebagai orang Serbia," tutur Velimir Ilic, Wali Kota Cacak.
Satu oposisi baru yang baru saja kembali ke negaranya adalah Zoran Djindjin. Djindjin, yang ke luar negeri untuk menghindari wajib militer, langsung menantang rezim Milosevic dengan mengorganisasi demonstrasi dari Pristina, ibu kota Kosovo. Dia yakin betul bahwa Milosevic tidak akan menangkapnya. "Itu hanya akan memancing demonstrasi yang makin besar," katanya.
Sosok penentang Milosevic yang menarik adalah Hashim Taschi, pemimpin Tentara Pembebasan Kosovo (KLA). Nama Taschi—berasal dari etnik Albania—memang tidak terkenal di kalangan aktivis Yugoslavia, tapi lelaki itu memiliki hubungan yang baik dengan Amerika hingga ada yang menyitir bahwa dia tengah dipersiapkan Amerika sebagai calon pemimpin Yugoslavia di masa mendatang.
Daftar penantang Milosevic masih diperpanjang dengan kekuatan dari gereja Ortodoks Serbia dan tentara yang menyempal. Pihak gereja memang sudah menyatakan sikap, meminta Milosevic turun. Begitu juga dengan tentara yang kecewa atas perlakuan pemerintah setelah perang. Bahkan, menurut data intelijen Pentagon, ada sekelompok kolonel dan prajurit yang benar-benar marah terhadap Milosevic sehingga sudah terjadi perpecahan yang cukup parah di kalangan militer Yugoslavia.
Semakin panjang daftar oposisi dan semakin buruknya situasi di Yugoslavia, yang bangkrut dan tidak bisa mendapat pinjaman pembangunan dari negara Barat, membuat posisi Milosevic semakin goyah. Mampukah Milosevic bertahan? Tampaknya, laki-laki 58 tahun yang aktif di partai komunis sejak usia 18 tahun itu tak punya pilihan. Dia harus mati-matian mempertahankan kekuasaan di dalam negeri, sementara peradilan internasional sudah menunggu. Dan di dalam rumah tangganya sendiri, panggung peradilan rakyat sudah menunggunya dengan mata beringas.
Milosevic kini tengah menghitung hari.
Bina Bektiati (dari berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini