Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Stres yang Merusak Tubuh

Secara alamiah, setiap manusia punya kemampuan untuk mengatasi stres. Namun pertahanan tubuh bakal bobol bila menghadapi stres kronis.

11 Juli 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENYIMPAN amarah dan dendam sungguh tidak ada gunanya. Kesumat yang terus-menerus dipelihara bukan hanya membuat hati menjadi panas dan tak nyaman. Stres berkepanjangan terbukti merusak tubuh dan mengundang berbagai penyakit, dari yang "remeh" seperti flu atau bisul sampai penyakit gawat seperti jantung dan hilang ingatan. Beberapa penelitian terbaru membuktikan hal itu. Selama ini orang mengetahui adanya hubungan antara stres dan penyakit. Namun, bagaimana mekanismenya, tak banyak orang yang tahu, bahkan para ahli sekalipun. Tak mengherankan bila tak sedikit pula yang tak yakin stres bisa begitu jahat menggerogoti tubuh. Kini hubungan stres dan penyakit tampak makin nyata. Majalah Newsweek edisi akhir Juni lalu mengungkapkan beberapa penelitian yang membuktikan mekanisme stres dalam merusak tubuh. Konsep stres sendiri sebenarnya sudah mulai diformulasikan sejak 1930-an. Pelopornya seorang pakar kelenjar, Hans Selye. Menurut Selye, setiap organisme menunjukkan respons biologis yang sama terhadap sensor atau pengalaman psikologis yang tak menyenangkan. Inilah yang disebut sebagai stresor. Stresor adalah semua hal yang selalu ingin dihindari setiap individu. Contohnya, pagar listrik kejut jika Anda seekor tikus, hewan pemangsa bila Anda binatang buruan, atau anjloknya harga saham sampai 500 poin seandainya Anda pialang bursa. Stresor akan mengakibatkan adrenalin mengalir deras. Tanda-tandanya bisa dikenali dengan mudah: jantung berdebar, mulut kering, perut mual. Manusia sebetulnya secara alamiah punya kemampuan untuk mengatasi stres. Namun, jika stres selalu muncul dan muncul lagi, efeknya akan berganda dan makin berat. Tubuh bakal tak sanggup menanggungnya. Salah satu studi klasik untuk melihat hubungan antara stres dan kegagalan sistem kekebalan tubuh dilakukan pada 1991 oleh psikolog dari Carnegie Mellon, Sheldon Cohen, dan koleganya. Para peneliti ini menemukan bukti bahwa orang-orang yang meraih peringkat tinggi pada tes psikologi mengenai stres ternyata lebih mudah menderita demam bila secara sengaja diberi virus pernapasan. Tahun lalu, Cohen dan teman-temannya melakukan penelitian serupa. Kali ini hasilnya lebih baik. Menurut penelitian terbaru tersebut, walaupun suatu kejadian penyebab stres dalam suatu kurun waktu, misalnya satu tahun, tidak memengaruhi kemungkinan orang untuk menderita sakit, stres yang kronis—misalnya konflik terus-menerus dengan rekan kerja atau sanak saudara—akan meningkatkan kemungkinan tersebut tiga sampai lima kali lipat. "Tubuh manusia," ujar Dr. Pamela Peeke dari University of Maryland, "tak pernah disiapkan untuk menghadapi stres berat jangka panjang." Tapi, bagaimana sebenarnya mekanisme stres dalam menghancurkan tubuh? Mekanisme itu bisa digambarkan begini. Pertama-tama tentu karena ada stresor. Sebagai respons terhadap rasa takut, tubuh terpaksa menyalurkan seluruh sumber daya yang dimiliki, termasuk kekuatan dan kecepatan. Tapi, akibatnya pada otak, stres malah menumpulkan kepekaan tubuh terhadap rasa sakit. Sebaliknya, daya pikir dan ingatan meningkat. Pupil mata membesar supaya penglihatan membaik. Paru-paru makin rajin menghirup oksigen. Nadi mengalirkan oksigen dan glukosa ekstra sebagai tenaga. Denyut jantung dan tekanan darah meningkat. Hormon adrenalin dipacu keluar. Sel darah merah ekstra pun dipaksa mengalir keluar sehingga memungkinkan darah mengangkut lebih banyak oksigen ke seluruh otot. Sistem pencernaan berhenti supaya tubuh bisa memaksimalkan penggunaan energi untuk otot. Bulu-bulu tubuh berdiri. Beberapa menit setelah respons aktif, tubuh melakukan beberapa penyesuaian agar proses metabolisme tetap stabil. Hippocampus, pusat ingatan dan daya belajar otak, mulai aktif menghadapi stres. Tapi mekanisme perlindungan terhadap infeksi lenyap, membuat tubuh terpaksa menghabiskan energi yang masih tersisa. Cadangan lemak—tempat tenaga disimpan—terpaksa disedot habis dan diubah menjadi energi. Akibatnya, cortex secretes cortisol, yang mengatur metabolisme dan sistem kekebalan, lama-kelamaan bisa keracunan sendiri. Jika diaktifkan terlalu sering, respons terhadap stres tadi bakal merusak sistem kekebalan, otak, dan jantung. Jaringan otak berubah menjadi sel otak beracun, dan berpotensi merusak kemampuan kognitif. Rasa lelah, marah, dan depresi meningkat. Sel-sel antibodi yang bekerja keras secara berulang-ulang lama-lama lemah juga. Akibatnya, daya tahan terhadap infeksi pun melemah. Sementara itu, menurunnya aliran darah membuat selaput kulit mudah berubah jadi borok. Naiknya tekanan darah dan denyut jantung merusak elastisitas pembuluh darah Lantas, bagaimana mengatur respons terhadap stres agar tubuh tak menderita? Para ahli di University of Massachusett's Center for Mindfulness in Medicine, Health Care, and Society punya cara ampuh, yakni melalui meditasi dan latihan relaksasi. Selama latihan, para partisipan di pusat program stres diajak berkonsentrasi mengatur pernapasan. Tujuannya untuk membebaskan pikiran dari gangguan pengalaman masa lalu dan masa depan. Partisipan diminta berbaring, memindai tubuh, dan membuat otot-otot santai pada saat bersamaan. Riset menunjukkan, cara latihan tersebut mampu menguapkan aliran hormon stres, membantu menurunkan denyut jantung dan tekanan darah. "Ini bukan pengobatan ajaib," ujar salah satu partisipan, Mark Gorden. "Tapi cara ini membantu kita menghadapi stresor." Pemijatan juga bisa menjadi penangkal stres yang efektif. Tak ada seorang pun yang secara pasti mengetahui bagaimana hubungan remasan tangan ke kulit tubuh dengan redanya stres. Meskipun begitu, efeknya memang luar biasa. Namun, seandainya pijatan dan meditasi terlalu ringan, Anda bisa mencoba berolahraga. Para peneliti menemukan bukti bahwa setelah melakukan olahraga dengan treadmill, tingkat kecemasan seorang pria muda bisa turun. Aktivitas otaknya pun mengalami perbaikan. Walau tak ada yang tahu pasti bagaimana perubahan ini terjadi, yang jelas olahraga diketahui dapat meningkatkan produksi endorfin—yang mirip morfin—dalam tubuh, menambah pasokan oksigen di otak, dan melemaskan ketegangan otot. Wicaksono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus