Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Tifa yang Sulit Dibungkam

Surat kabar mingguan Tifa dilarang dicetak oleh Kodam Trikora. Tapi mereka melawan.

11 Juli 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMBERANGUSAN media massa sekarang ini dilawan di mana-mana, termasuk jauh di Jayapura sana. Surat kabar mingguan Tifa Irian, yang sudah berusia 43 tahun, termasuk yang berani menolak "vonis mati" itu. Walau begitu, Tifa, yang dimiliki Yayasan Pers Katolik—sebuah lembaga di bawah Keuskupan Jayapura—sempat berhenti terbit dua minggu.

Ada "dosa" Tifa? Rupanya, Tifa sudah lama dianggap oleh Komando Daerah Militer (Kodam) Trikora sebagai corong perjuangan Organisasi Papua Merdeka (OPM), yang bertujuan memisahkan Irianjaya dari Indonesia. Berita-berita Tifa dianggap tidak sejalan dengan keinginan aparat keamanan di sana.

Contohnya adalah berita Tifa tentang "suguhan" 30 wanita Indonesia untuk tentara Papua Nugini (PNG). Ini rentetan cerita pembebasan 11 warga Indonesia yang disandera kelompok yang oleh tentara Indonesia disebut sebagai Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK) Irianjaya sejak Mei 1999. Mereka dibebaskan tentara PNG pada 2 Juni 1999. Sebagai balas jasa, diadakan upacara penyambutan di Hotel Matoa Jayapura. Nah, di situlah wanita penghibur tadi "disuguhkan" kepada tentara PNG yang dipimpin Jenderal Singirok.

Sebelumnya, Tifa juga memuat wawancara dengan pemimpin OPM, Theys Hiyo Eluay, yang diterbitkan secara berseri. Sejak Desember 1998 sampai Juni 1999, boleh dibilang nama Hiyo Eluay tak pernah absen dari Tifa. Yang juga membuat Kodam Trikora "pusing" adalah berita Tifa tentang strategi pihak militer Indonesia untuk menghadang aksi aktivis kemerdekaan Papua Barat.

Maka, Pemimpin Redaksi Tifa, Jan Tethool, sudah tiga kali dipanggil Asisten Intel Kodam Trikora, Kolonel M.R. Saragih. Toh, Tethool tak mundur. "Kami hanya menyajikan fakta yang tak bisa ditutup-tutupi. Biarlah masyarakat yang menilai semua itu," kata Tethool, yang juga Kepala Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jayapura. Bekas Ketua Yayasan Pers Katolik itu menegaskan bahwa Tifa tak pernah meninggalkan asas pemberitaan berimbang dan semua berita selalu dikonfirmasikan ke pihak yang tersangkut.

Tapi, di mata Kodam Trikora, Tifa tetap saja dianggap bandel. Dalam pertemuan Badan Koordinasi Intelijen Daerah—dihadiri para pejabat Provinsi Irianjaya—Kolonel Saragih secara terbuka "menyerang" Tifa. "Kalau Tifa terus mempertahankan berita tentang Papua Barat, terpaksa akan kami tempuh cara lain," katanya. Saragih terpaksa memasang nada tinggi karena semua pendekatannya tak menggoyahkan koran yang didominasi anak-anak muda berusia 30-an tahun itu.

Cara lain itu adalah memotong semua jalur Tifa ke percetakan. Tinta Mas, tempat Tifa dicetak, yang pertama digunting. "Kami diminta Kodam untuk tidak mencetak Tifa Irian," kata Rudi Setyono, pemimpin Tinta Mas. Dua percetakan besar lain di Irianjaya, Percetakan Negara milik Kantor Wilayah Departemen Penerangan Irianjaya dan percetakan milik Cenderawasih Pos, juga diminta tak mencetak Tifa. Akibatnya, sejak 1 Juli lalu, Tifa, yang dulunya bernama de Tifa—dan sejak 1956 sampai 1961 dicetak di Belanda—tidak bisa terbit.

Sebelumnya, Kolonel Saragih juga "menggerilya" 13 kabupaten di seluruh Irianjaya yang berlangganan atau memasang iklan di surat kabar itu. "Karena ada tekanan dari Kodam, secara kelembagaan, kerja sama kami dengan Tifa Irian dihentikan. Tapi, secara pribadi, saya tetap memberikan dukungan," kata Bupati Sorong, John Piet Wanane. Freeport Indonesia, seperti diceritakan Wakil Pemimpin Redaksi Tifa Frans Ohoiwutun, juga diminta memutuskan bantuan. Tapi akhirnya Freeport memutuskan untuk jalan terus, setelah dua staf Freeport terbang ke Jayapura meneliti kasus ini.

Pihak Tifa berkeras menolak semua tekanan itu. Bahkan, "Perlakuan sewenang-wenang ini harus kita lawan," kata Stanis Letsoin, Ketua Yayasan Pers Katolik.

Apa tanggapan pihak militer? Wakil Kepala Pusat Penerangan TNI, Brigjen Sudrajat, memahami apa yang dilakukan Asisten Intel Kodam Trikora. "Bila berita yang beredar di SKM Tifa itu tidak mendapat teguran, mungkin dianggap akan membahayakan situasi dan kondisi lokal Irian," katanya. Diakuinya bahwa kebebasan pers sering bertentangan dengan kepentingan nasional yang dikawal TNI. "Kalau beritanya bisa memicu konflik, TNI akan memilih mempertahankan kepentingan nasional," kata Sudrajat. Namun, katanya, Panglima TNI tak pernah memberikan instruksi untuk membungkam Tifa. Panglima Kodam Trikora menolak memberikan komentar.

Lalu, bagaimana koran beroplah 9.000 eksemplar itu bisa terbit kembali sejak Jumat lalu? Adalah percetakan milik Kantor Wilayah Departemen Penerangan Jayapura yang membuka pintunya untuk Tifa. Sudah bisa diduga, tentulah kantor wilayah di ujung timur Indonesia itu berani maju—satu hal yang tak akan terjadi di masa Orde Baru—setelah mendapat "lampu hijau" dari kementerian penerangan di Jakarta.

M. Taufiqurohman, Hani Pudjiarti (Jakarta), Kristian Ansaka (Jayapura)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus