Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Saddam Hussein, mantan Presiden Irak yang terkenal karena kediktatorannya dihukum mati pada 30 Desember 2006. Ia menerima vonis hukuman tersebut oleh pengadilan Irak atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukannya. Ia sebelumnya berhasil diringkus pada 13 Desember 2003 di sebuah bunker bawah tanah kecil di ad-Dawr, dekat Tikrit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Profil Saddam Hussein
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Mengutip History, Lahir dari keluarga petani di wilayah dekat Tikrit, Saddam Hussein remaja membenamkan dirinya dalam paham ideologi nasionalis Arab anti-Inggris saat itu. Gagal menyelesaikan pendidikan sekolah menengah, Saddam bergabung dengan Partai Ba'ath di Baghdad pada 1957, yang ketika itu memiliki rencana membunuh Perdana Menteri Abdel-Karim Qassem.
Rencana tersebut gagal dan Saddam melarikan diri melintasi padang pasir dengan menunggang keledai ke Mesir.
Empat tahun kemudian pada 1963, Partai Ba'ath menggulingkan Qassem, Saddam kembali ke Irak dan mulai merebut kekuasaan, tetapi dalam beberapa bulan terjadi kudeta balasan.
Saddam Hussein dipenjara selama 18 bulan sebelum kemudian kabur dan memimpin Partai Ba'ath merebut kembali kekuasaan pada tahun 1968. Saddam kemudan menjadi tangan kanan Hassan Al-Bakr, presiden baru Irak dan ketua Dewan Revolusi. Saddam naik menjadi Wakil Presiden dan mulai "memurnikan" internal pemerintahan: semua pembangkang dipenjara, disiksa, atau dieksekusi.
Ahmed Hassan Al-Bakr yang kondisi kesehatannya semakin memburuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden pada 1979. Saddam Hussein pun menggantikan posisi Ahmed menjadi presiden pada 16 Juli 1979. Untuk memperkuat kekuasaannya, Saddam memerintahkan eksekusi puluhan orang berpangkat tinggi yang dianggap dapat mengusiknya.
Dalam upaya untuk merebut jalur Shatt-al-Arab dari Iran yang tengah bergejolak karena meletusnya Revolusi Iran, Saddam menyatakan perang terhadap Teheran pada 1980. Pertempuran berakhir delapan tahun kemudian dengan perkiraan 1 juta orang dinyatakan tewas.
Usai gagal dalam memperluas pengaruh Irak ke timur, Saddam bergerak kembali dengan mengklaim Kuwait sebagai provinsi ke-19 Irak dengan alasan justifikasi sejarah. Tentaranya melintasi perbatasan Kuwait pada Agustus 1990 hanya untuk dibom hingga mundur oleh koalisi besar pimpinan AS empat bulan kemudian. Peristiwa itu dikenal sebagai Desert Storm.
Dengan dorongan diam-diam dari Washington, Syiah Irak dan Kurdi memberontak melawan Saddam. Para pembangkang dibantai oleh militer Saddam, dan AS mengingkari janjinya untuk mendukung pemberontakan.
Karena koalisi internasional tidak berusaha menggulingkan Saddam, rezimnya terus menekan Kurdi dan Syiah secara brutal. Meskipun Saddam selamat dari upaya kudeta pada 1992-1993 dan pembelotan besar-besaran pada 1995, sanksi PBB membuat Irak sebagai kekuatan besar di Teluk jadi meredup.
Namun, Perserikatan Bangsa-Bangsa gagal memaksa Saddam untuk mematuhi serangkaian resolusi khusus yang mewajibkan Irak untuk menghancurkan cadangan nuklir, kimia dan biologi serta fasilitas penelitiannya di bawah pengawasan.
Selama medio1990-an, Saddam berulang kali menantang Dewan Keamanan atas implementasi resolusi-resolusi ini. Semuanya memuncak setelah terjadinya tragedi 9/11. Hal itu membuat Sadam Hussein yang memuji serangan tersebut sebagai tindakan heroik, menjadi sasaran utama "perang melawan terorisme" oleh Presiden AS ketika itu, George W. Bush.
Pada November 2002, PBB mengesahkan Resolusi 1441 yang menuduh Irak melanggar resolusi Dewan Keamanan mengenai perlucutan senjata non-konvensional dan memperingatkan bahwa Irak "akan menghadapi konsekuensi serius sebagai akibat dari pelanggaran kewajibannya yang berkelanjutan."
Saat Saddam terus menentang peringatan tersebut, Amerika Serikat bersama dengan sekutunya melancarkan serangan yang dengan cepat menggulingkan rezim Ba'ath Irak. Saddam sendiri berhasil melarikan diri dan tetap bersembunyi selama beberapa waktu, namun akhirnya berhasil ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara sambil menunggu pengadilan kejahatan perang oleh pemerintah terpilih secara demokratis pertama dalam sejarah Irak.
Pada 5 November 2006, Saddam Hussein dinyatakan bersalah atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan dijatuhi hukuman mati dengan digantung. Saudara tiri Saddam, Barzan Ibrahim, dan Awad Hamed al-Bandar, kepala Pengadilan Revolusi Irak pada 1982, pun dihukum atas tuduhan serupa. Putusan dan hukuman keduanya diajukan banding tetapi kemudian ditolak oleh Mahkamah Agung Irak. Pada hari pertama Idul Adha, 30 Desember 2006, Saddam dihukum mati dengan cara digantung.
HATTA MUARABAGJA
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “http://tempo.co/”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.