Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Hari-Hari Yang Menentukan Timur ...

Perdamaian di Timur Tengah akan dirundingkan dalam konperensi Jenewa. Mesir telah siap. Israel juga siap, dengan menolak kehadiran PLO. Cyrus Vance menjajagi 6 negara tim-teng. Moscow punya kepentingan.

26 Februari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seandainya Nabi Muhammad dan Nabi Isa dibangkitkan untuk meyakinkan orang-orang Islam dan Kristen di kalangan bangsa Arab, agar mereka membuka tapal batas mereka dengan Israel, mereka tetap akan menolaknya. -- Presiden Anwar Sadat UCAPAN Sadat ini tersiar jauh sebelum berlangsungnya kunjungan Sekjen PBB, Kurt Waldheim, ke Timur Tengah. Pesimisme? Sebaliknya. Sadat justru orang yang paling berharap tercapainya perdamaian di Timur Tengah. Bulan silam, Sadat secara terbuka menyatakan kesediaannya untuk menandatangani pernyataan pengakuan terhadap hak hidup negara Israel. "Saya siap pergi ke Jenewa dan menandatangani pernyataan damai dengan Israel", katanya. "Jika saya duduk di samping orang-orang Israel dengan menandatangani dokumen yang sama, tidakkah itu bisa ditafsirkan bahwa saya mengakui mereka? Saya toh tidak menandatangani sesuatu bersama setan". Buat para pengamat masalah Timur Tengah, harapan Sadat agar perdamaian lahir memang tak mengejutkan. Ekonomi Mesir terus memburuk sejak perang 1973 yang lalu. Kenaikan harga yang ditetapkan pemerintah bulan silam telah menimbulkan huru-hara yang menelan sejumlah besar jiwa manusia. Bantuan cuma-cuma negara Arab penghasil minyak, sebesar 570 juta dolar setiap tahun, juga tidak banyak menopang bangunan ekonomi Mesir. Di bidang persenjataan, Mesir juga berada dalam posisi yang amat rawan. "Hampir tidak ada penggantian senjata yang dilakukan Mesir sejak perang Yom Kipur tahun 1973 yang lalu", tulis seorang ahli pertahanan Inggeris. Ini akibat embargo Uni Soviet terhadap Mesir. Israel Juga Meskipun secara militer Israel masih berada jauh lebih kuat dari Mesir, tapi perang dan siaga perang yang dihadapi negara Yahudi ini juga membawa akibat ekonomi yang cukup parah. "Baik Mesir maupun Israel, keduanya membutuhkan perdamaian secepat mungkin", kata seorang pengamat Timur Tengah. Akibat tekanan ekonomi yang dirasakan oleh Israel, berita-berita mengenai mengalirnya emigran dari Israel ke negara-negara Amerika Selatan kini bukan berita menarik lagi. Pada saat yang sama, posisi pihak Palestina juga dalam keadaan buruk. Akibat gempuran-gempuran Jordania di tahun 1971, pertempuran dengan Suriah di Libanon tahun 1976, kekuatan gerilyawan Palestina sekarang ini memang sedang kurang meyakinkan. "Dalam keadaan tidak mempunyai basis operasi, mudah dimengerti bahwa saat inilah saat terbaik bagi negara-negara Arab untuk menjinakkan orang-orang Palestina itu, agar mau menerima kenyataan yang realistis", komentar sebuah tajuk rencana di Jenewa dua pekan silam. Melemahnya posisi Palestina ini tidak otomatis mempercepat terjadinya perdamaian. Israel menolak untuk duduk bersama PLO di sidang Jenewa yang kini dijajaki kemungkinannya oleh Waldheim itu - dan posisi Israel makin kuat karena Palestina lemah. "Soal PLO itu memang soal yang amat pelik dalam usaha ini", kata sekjen PBB itu di Jenewa, beberapa saat sebelum memulai penerhangannya ke Kairo dua pekan silam. Kenyataan bahwa Waldheim menemui Yasser Arafa, menunjukkan bahwa Amerika Serikat -- yang mendukung missi sekjen PBB itu -- ada memberi lampu hijau bagi kemungkinan dilibatkannya PLO dalam perundingan di Jenewa. Konperensi Jenewa bagi Waldheim adalah usaha terakhir. "Kalau gagal, terpaksa Dewan Keamanan PBB harus bersidang", begitu ia berkata di Kairo. Beberapa hari sebelumnya pembesar PBB itu dikutip juga sebagai berkata: "Kalau konperensi Jenewa gagal, perang yang dahsyat dalam waktu dekat nampaknya sulit dihindarkan". Di atas kertas atau dalam ruang perundingan semua soal kelihatannya makin lebih mudah diselesaikan. Presiden Sadat sudah dengan jelas menerima persyaratan Israel mengenai negara Pa]estina di jalur Gaza dan tepi barat sungai Yordan "supaya disatukan dengan salah satu negara Arab". Sadat bahkan bersedia memberikan jaminan keselamatan dan integritas wilayah kepada Israel "dengan sebuah pakta militer IsraelAmerika Serikat sekali pun". Pekan silam, Menlu Cyrus Vance menjelajahi enam negara Timur Tengah. Dimulai dengan kunjungan singkat ke Jerussalem, Vance kemudian melanjutkan perjalanannya ke Kairo. "Kami kemari tidak dengan sebuah rencana penyelesaian melainkan sekedar melakukan penjajagan", kata seorang pejabat tinggi Deplu Amerika yang menyertai Ynce. Mungkin karena perjalanan pertama Menlu Vance yang bersifat penjajagan itulah maka sebuah majalah di Kairo melukiskan pejabat tinggi Amerika itu di kulit luarnya sebagai seorang anak sekolah dengan buku di bawah ketiaknya. Bersama dengan Waldheim dan Vance, sejumlah tokoh lain juga melakukan penjajagan ke arah sebuah perundingan damai di Timur Tengah. Prakarsa Pierre Mendez France, bekas Perdana Menteri Perancis, telah membuahkan pertemuan tidak resmi antara pemuda-pemuda Palestina dan Israel di Paris selama enam kali. Tanggal 15 Maret mendatang pertemuan yang ketujuh akan berlangsung. Surat kabar Kuwait, Al Siyasa, ada pula menyiarkan berita pertemuan Presiden Pantai Gading, Felix Houphouet, dengan Perdana Menteri Israel, Rabin, di Jerussalem. Pembicaraan itu kabarnya menghasilkan "prakarsa damai baru dan sensasionil antara Israel dan Palestina". Pertemuan berbagai pemimpin di berbagai negara Arab di antara mereka atau dengan orang luar, pertemuan ranasia dengan Israel atau nsaha apa saja lainnya, memang bisa makin mempercepat dicapainya keadaan damai. Tapi damai sesungguhnya akan segera tercapai jika antara Washington-Moskow terdapat persesuaian faham mengenai soal sengketa itu. Moskow-lah yang amat mendesak agar sekjen PBB melakukan prakarsa agar konperensi Jenewa cepat bersidang, setelah terlantar begitu saja sqak bulan Desember 1973. Desakan Moskow tidak bisa segera dinilai sebagai didorong oleh hasrat ingin melinat perdamaian bersemi di Timur Tengah. Setelah kehilangan peranan oleh diplomasi bulu tangkis Kissinger beberapa waktu silam, Moskow tidak ingin lagi mengalami kekalahan yang sama setelah terjadi pergantian pemerintahan di Washington. Maka sebelum Presiden Carter sempat menggarap Timur Tengah, Brezhnev maju lebin dahulu. Dengan bersidangnya kembali konperensi Jenewa, Moskow bisa ikut main. Sebab bersama Amerika, Uni Soviet juga salah satu ketua konperensi yang diharap membawa perdamaian itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus