Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Somare menjawab

Michael somare, pm png mengadakan konperensi pers di port moresby. membicarakan masalah timor timur, undangan abri ke sesko ab-png dan penolakan izin pembukaan kantor kedutaan uni soviet dan rrc.

26 Februari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPULANGNYA dari Indonesia (TEMPO, 22 Januari), Perdana Menteri Papua Nugini, Michael Somare, terlibat dalam perdebatan hangat di negerinya. Soalnya, seperti biasa, berputar sekitar hubungan negara itu dengan Indonesia. Seperti diberitakan oleh Far Eastern Economic Review, 11 Pebruari lalu, pernyataan Somare sebelum meninggalkan Jakarta soal Timor Timur - bahwa itu merupakan "soal dalam negeri Indonesia" - dituduh sebagai "kompromi" oleh fihak oposisi. Makanya dalam konperensi persnya yang pertama setelah pulang di Port Moresby, banyak hal yang terpaksa harus dijernihkan oleh Somare. Pertama-tama soal Timor Timur. Somare membantah bahwa dia ditekan oleh fihak tuan rumah untuk memberikan dukungan sepenuhnya bagi integrasi Timor Timur. "Sikap PNG tetap tidak berubah dari sikap semula untuk tidak membenarkan campur tangan fihak luar di Timor Timur. Sikap itu kita nyatakan dengan tidak memberikan suara di PBB, seperti halnya Australia dan Singapura", kata Somare. Sikap tak memihak di PBB itu dipandang belum cukup tegas oleh sementara fihak di PNG yang menafsirkan "invasi" sukarelawan Indonesia ke Timor Timur sebagai indikasi kecenderungan "ekspansionis". Mungkin itu sebabnya, sebelum kunjungan PM Somare ke Indonesia, Deparlu Papua Niugini masih menegaskan, bahwa PNG "tidak mengakui kedaulatan Indonesia atas Timor Timur". Masih dalam semangat bertetangga baik, di Jakarta Somare mengharapkan tentara Indonesia dapat berkunjung ke Sesko AB-PNG di Lae. Tentara PNG sendiri kini ada yang mengikuti pendidikan di Seskoad, Bandung. Undangan Somare itu, oleh wakil pemimpin Oposisi, Paul Langro ditafsirkan sebagai undangan "bagi instruktur-instruktur ABRI untuk melatih tentara PNG". Langro kontan menyatakan tidak setuju, "sebab instruktur-instruktur Indonesia yang bekerja di Lae tentunya akan mengetahui kekuatan dan kelemahan sistim pertahanan Papua Niugini", kata Langro. Tambahnya: "Saya belum berani percaya bahwa hubungan kita dengan Indonesia sudah begitu baiknya, bahwa informasi itu dapat kita biarkan jatuh di tangan mereka untuk memudahkan keinginan mereka". Bola Politis Apa "keinginan" Indonesia itu? Tidak dijelaskan oleh Langro. Namun Menlu PNG, Sir Maori Kiki tidak menunggu lama untuk menjawab. Kata Maori Kiki, komentar Langro itu "tidak beralasan". "Hubungan kami dengan Indonesia merupakan isyu yang terlalu penting dan terlalu peka untuk dijadikan bola politis guna mencari dukungan menjelang pemilu yang akan datang". Begitu kata Maori Kiki, yang sudah berkali-kali datang ke Indonesia. Isyu lain lagi yang ditanggapi oleh Michael Somare dalam konperensi persnya, adalah soal penolakan izin bagi Uni Soviet dan RRT untuk membuka kantor kedutaannya di Port Moresby. Karena soal itu pun dikaitkan dengan Indonesia, Somare menandaskan bahwa dia sama sekali tidak memberikan jaminan pada Indonesia untuk tidak mengizinkan kedua negara komunis itu membuka kedutaan di PNG. Masalahnya menurut Somare, semata-mata karena tidak ada tanah kosong lagi di Port Moresby untuk membangun kantor kedutaan baru dan perumahan staf diplomatiknya. Pernyataan Somare itu, beberapa hari kemudian dibenarkan oleh seorang jurubicara Deparlu PNG. Katanya, permohonan Perancis dan Korea Selatan untuk mendirikan kedutaan di Port Moresby, juga telah ditolak dengan alasan serupa. Pokoknya, pemerintah PNG tidak membolehkan negara lain yang belum punya hubungan diplomatik dengan negeri itu sebelum merdeka, untuk membuka kedutaannya di sana. Dengan demikian, hanya Australia, Selandia Baru, Indonesia, Pilipina, Jepang dan AS memiliki korps diplomatiknya di Port Moresby. Kebijaksanaan yang baru diumumkan setelah Somare pulang dari Indonesia, menimbulkan banyak tanda tanya di sana. Sebab bagaimana mungkin di negeri yang tak padat penduduk itu sudah tidak ada tanah kosong untuk membangun kedutaan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus