SEPULANGNYA dari Indonesia (TEMPO, 22 Januari), Perdana Menteri
Papua Nugini, Michael Somare, terlibat dalam perdebatan hangat
di negerinya. Soalnya, seperti biasa, berputar sekitar hubungan
negara itu dengan Indonesia. Seperti diberitakan oleh Far
Eastern Economic Review, 11 Pebruari lalu, pernyataan Somare
sebelum meninggalkan Jakarta soal Timor Timur - bahwa itu
merupakan "soal dalam negeri Indonesia" - dituduh sebagai
"kompromi" oleh fihak oposisi. Makanya dalam konperensi persnya
yang pertama setelah pulang di Port Moresby, banyak hal yang
terpaksa harus dijernihkan oleh Somare.
Pertama-tama soal Timor Timur. Somare membantah bahwa dia
ditekan oleh fihak tuan rumah untuk memberikan dukungan
sepenuhnya bagi integrasi Timor Timur. "Sikap PNG tetap tidak
berubah dari sikap semula untuk tidak membenarkan campur tangan
fihak luar di Timor Timur. Sikap itu kita nyatakan dengan tidak
memberikan suara di PBB, seperti halnya Australia dan
Singapura", kata Somare. Sikap tak memihak di PBB itu dipandang
belum cukup tegas oleh sementara fihak di PNG yang menafsirkan
"invasi" sukarelawan Indonesia ke Timor Timur sebagai indikasi
kecenderungan "ekspansionis". Mungkin itu sebabnya, sebelum
kunjungan PM Somare ke Indonesia, Deparlu Papua Niugini masih
menegaskan, bahwa PNG "tidak mengakui kedaulatan Indonesia atas
Timor Timur".
Masih dalam semangat bertetangga baik, di Jakarta Somare
mengharapkan tentara Indonesia dapat berkunjung ke Sesko AB-PNG
di Lae. Tentara PNG sendiri kini ada yang mengikuti pendidikan
di Seskoad, Bandung. Undangan Somare itu, oleh wakil pemimpin
Oposisi, Paul Langro ditafsirkan sebagai undangan "bagi
instruktur-instruktur ABRI untuk melatih tentara PNG". Langro
kontan menyatakan tidak setuju, "sebab instruktur-instruktur
Indonesia yang bekerja di Lae tentunya akan mengetahui kekuatan
dan kelemahan sistim pertahanan Papua Niugini", kata Langro.
Tambahnya: "Saya belum berani percaya bahwa hubungan kita dengan
Indonesia sudah begitu baiknya, bahwa informasi itu dapat kita
biarkan jatuh di tangan mereka untuk memudahkan keinginan
mereka".
Bola Politis
Apa "keinginan" Indonesia itu? Tidak dijelaskan oleh Langro.
Namun Menlu PNG, Sir Maori Kiki tidak menunggu lama untuk
menjawab. Kata Maori Kiki, komentar Langro itu "tidak
beralasan". "Hubungan kami dengan Indonesia merupakan isyu yang
terlalu penting dan terlalu peka untuk dijadikan bola politis
guna mencari dukungan menjelang pemilu yang akan datang". Begitu
kata Maori Kiki, yang sudah berkali-kali datang ke Indonesia.
Isyu lain lagi yang ditanggapi oleh Michael Somare dalam
konperensi persnya, adalah soal penolakan izin bagi Uni Soviet
dan RRT untuk membuka kantor kedutaannya di Port Moresby. Karena
soal itu pun dikaitkan dengan Indonesia, Somare menandaskan
bahwa dia sama sekali tidak memberikan jaminan pada Indonesia
untuk tidak mengizinkan kedua negara komunis itu membuka
kedutaan di PNG. Masalahnya menurut Somare, semata-mata karena
tidak ada tanah kosong lagi di Port Moresby untuk membangun
kantor kedutaan baru dan perumahan staf diplomatiknya.
Pernyataan Somare itu, beberapa hari kemudian dibenarkan oleh
seorang jurubicara Deparlu PNG. Katanya, permohonan Perancis dan
Korea Selatan untuk mendirikan kedutaan di Port Moresby, juga
telah ditolak dengan alasan serupa. Pokoknya, pemerintah PNG
tidak membolehkan negara lain yang belum punya hubungan
diplomatik dengan negeri itu sebelum merdeka, untuk membuka
kedutaannya di sana.
Dengan demikian, hanya Australia, Selandia Baru, Indonesia,
Pilipina, Jepang dan AS memiliki korps diplomatiknya di Port
Moresby. Kebijaksanaan yang baru diumumkan setelah Somare pulang
dari Indonesia, menimbulkan banyak tanda tanya di sana. Sebab
bagaimana mungkin di negeri yang tak padat penduduk itu sudah
tidak ada tanah kosong untuk membangun kedutaan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini