Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Suara Ibnu Terdengar Dari Palm ...

Ucapan Ibnu Sutowo di Palm Springs dimuat Aswi, berbeda dengan penjelasan pemerintah. Kaskopkamtib minta penjelasan Ibnu Sutowo dan mengumumkannya. Pers dalam negeri supaya mengecek kebenarannya.

26 Februari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGAIMANA duduk perkara krisis Pertamina yang termashur itu, kini jadi pembicaraan lagi Sebab rupanya Let. Jend. Ibnu Sutowo, yang diberhentikan Maret tahun lalu, dikabarkan punya penjelasan lain dari yang pernah diberikan pemerintah. Di Jakarta, di mana ia masih memimpin sejumlah perusahaan, ia tak pernah bicara ke publik. Tampak pun jarang sekali. Bahkan ada pernah desas-desus ia tak diperbolehkan ke luar negeri. Desas-desus itu kini mungkin terbantah, setelah ia ternyata bisa pergi ke AS - dan ada memberikan komentar yang agak mengejutkan dari sana. Ini bermula di Palm Springs, kota kecil sekitar 100 Km dari Los Angeles, California. Di sana, di lapangan golf Indian Wells Country Club, berlangsung turnamen Bob Hope Desert Classic. Ibnu, seorang pecandu golf dan pemain dengan handicap 14, sudah lima tahun ikut dalam turnamen ini. Ia tokoh yang dihormati di sini. Tapi kali ini - dengan cuma ditemani putera sulungnya, Ponco - kehadirannya tak menyolok. Orang lebih banyak memperhatikan para peserta lain: bekas Presiden Ford, pelawak kaya Bob Hope, penyanyi Sammy Davis Jr. dan bintang golf serta jutawan lain. Tapi bagi wartawan Earl Gottschalk yang diberi tugas khusus oleh harian The Asian Wall Street Journal, Ibnu Sutowolah yang perlu ditemuinya. Meskipun agak tak enak bertemu dengan seorang wartawan, Ibnu secara pendek mau juga menjawab pertanyaan tentang Pertamina. Kesulitan yang dialami Pertamina, demikian dikabarkan kata Ibnu dalam suara lirih, bukan karena hutang-hutang besar yang dilakukannya sebagai Dirut. Tapi "batasan dari pemerintah"-lah, yang menghalangi kemampuannya untuk "tawar-menawar" dengan perusahaan minyak dan bank yang jadi penyebab krisis itu. Sebelum pemerintah Indonesia ikut-campur, kata pensiunan perwira tinggi itu, "saya punya kebebasan untuk tawar-menawar. Saya bisa menjalankan perusahaan dengan berhasil. Kini batasan pemerintah menyebabkan hal itu mustahil". Ucapannya itu, yang dimuat The Asian Wall Street Journal 14 Pebruari dan masuk ke Indonesia tanpa disensor, sebenarnya tak mengungkapkan pendiriannya yang baru. Dalam wawancara khusus dengan TEMPO dua bulan sebelum ia diberhentikan, Ibnu sudah mengeluh bahwa setelah krisis Pertamina terjadi dan terungkap, semua kebutuhan Pertamina diserahkan kepada BI (Bank Indonesia), termasuk dalam melakukan pinjaman ke luar negeri. "Juga semua urusan keuangan kita ditaruh di BI", katanya waktu itu (TEMPO, 17 Januari 1976). Betapapun juga, wawancara singkat di Palm Spring itu menegaskan pendirian Ibnu, bahwa ia tak merasa bertanggungjawab atas masalah gawat Pertamina dan Indonesia. Ia menambahkan bahwa "kegawatan yang tak terduga dari resesi dunia" memperburuk krisis Pertamina. Kini ia menyatakan keprihatinannya tentang akibat sosial-ekonomi dari masalah Pertamina itu "Eksplorasi kini sedang mandeg di negeri saya", kata Ibnu. "Ini dirasakan di mana-mana dalam bidang perekonomian. Banyak perusahaan telah terpaksa mencopot buruh mereka. Pengangguran sangat terasa". "Marah" Yang paling menarik perhatian dari jawaban Ibnu agaknya ialah sikapnya di dalam masalah tanker Menjelang awal tahun ini, tersiarlah apa yang disebut "kesaksian di bawah sumpah'' (affidavit) Ibnu Sutowo. Dalam kesaksian ini antara lain disebutkan bahwa Ibnu menandatangani sejumlah nota pernyataan hutang (seluruhnya seharga $ 364,2 juta -- Red.) kepada pengusaha tanker Bruce Rappaport, sebagai pertolongan pribadi kepada orang ini yang sedang dalam kesulitan. Rappaport kemudian menagih Pertamina. Ibnu dikabarkan "marah" atas "kelicikan" Rappaport dalam urusan itu. Kesaksian itu dalam banyak hal memang menguntungkan posisi Indonesia di pengadilan, dalam ikhtiar pemerintah untuk membatalkan perjanjian beli cicil tanker yang dianggap merugikan itu. Tak mengherankan bila pemerintah agak lega berhasil memperoleh kesaksian itu dari Ibnu. Tapi Rappaport sebaliknya menyatakan pernyataan Ibnu itu di bawah tekanan. Dan jika dilihat jawaban Ibnu tentang soal ini di Palm Springs, jangan-jangan bisa disimpulkan bahwa appaport benar. Ibnu, menurut berita The Asian Wall Street Journal awal pekan lalu itu tak menyalahkan Rappaport. Ia menyalahkan "kondisi perekonomian yang buruk" yang mengakibatkan Indonesia punya persoalan dengan Rappaport. Ibnu bahkan tak setuju, bila perjanjian dengan Rappaport dibatalkan. "Pemerintah Indonesia mencoba membatalkan perjanjian membeli tanker dari tuan Rappaport", kata Ibnu. "Nasihat saya ialah jangan batalkan itu. Jika kita mengadakan janji dengan seseorang, kita dengan dia jadi partner, baik di masa yang baik maupun di masa sulit". Permainan Ucapan Ibnu ini tampak sejajar dengan kata Rappaport kepada TEMPO yang mengecam niat Menteri Sumarlin untuk membatalkan perjanjian: "Tuan Sumarlin dan rekan-rekannya hanya menjalankan permainan mengambil dan memilih perjanjian yang kini sedang menguntungkan di pasar, serta mengingkari perjanjian yang kini tak menguntungkan". Tapi sejauh mana ucapan Ibnu tadi akan berakibat terhadap posisi Indonesia di pengadilan dalam menghadapi Rappaport, belum bisa dipastikan. Yang jelas kesaksian di bawah sumpah yang ditandatanganinya dulu, kini jadi lemah. Untunglah bagi Menteri Sumarlin dan pemerintah Indonesia: kini tinggal Rappaport saja yang dihadapi, setelah beberapa kontrak lain berhasil dibatalkan lagi (lihat: Ekonomi). Menteri Sumarlin sendiri menolak memberi komentar tentang ucapan Ibnu dari Palm Springs. Katanya ringkas: "Pemerintah tentunya akan membuat penjelasan". Mungkin setelah menanyai Ibnu Sutowo sendiri. Kepala Staf Kopkamtib memang kemudian meminta penjelasan dari Ibnu. Minggu 20 Pebruari, Ibnu Sutowo menulis surat kepada Laksamana Sudomo, Kaskopkamtib. lsinya menceritakan tanyajawab di Palm Springs itu. "Pada saat menantikan giliran untuk memukul bola selanjutnya", begitu Ibnu, "seseorang mendatangi saya dan menyatakan dirinya dari The Asian Wall Street Journal" Orang itu "menanyakan secara wajar" satu pertanyaan. "Apakah alasan masalah Pertamina?" Ibnu menyatakan menjawab: Satu, pembatasan kredit. Dua, resesi. Tiga, menjadi lesunya usaha tanker. Wartawan itu menurut Ibnu lalu bertanya: "Jika anda memimpin usaha itu, dapatkah anda memulihkannya kembali?" Jawab Ibnu: "Tidak". Pertanyaan terakhir sesaat sebelum ia meneruskan menuju tee (tempat penyangga bola) ialah: "Seandainya diminta, bersediakah anda memimpin usaha itu lagi?" Jawab Ibnu: "Tidak. Saya sudah bekerja selama 36 tahun untuk pemerintah, itu cukup". Menurut Ibnu, percakapan itu mungkin cuma dua menit berlangsung, dan bukan khusus suatu wawancara. "Saudara Ibu . . ." Laksamana Sudomo Senin pagi pekan ini kemudian mengumumkan jawaban Ibnu itu. Ia juga menganggap laporan The Asian wan Street Journal "memberikan kesan seolah-olah adanya wawancara khusus" (meskipun di koran itu sebetulnya sudah ditulis bahwa Ibnu "berbicara hanya beberapa menit dan kemudian melangkah pergi ke golf tee, meskipun saat gilirannya belum tiba"). Kas Kopkamtib juga menyatakan bahwa "percakapan sehari-hari" yang meliputi 3 pertanyaan tersebut telah dimanfaatkan untuk "tujuan tertentu". Laksamana Sudomo kemudian mengingatkan agar "pers dalam negeri janganlah cepat-cepat memuat suatu berita dari luar negeri sebelum kita check kebenarannya". Para wartawan di Jakarata sebetulnya telah berusaha mencari sumber resmi sehubungan dengan berita itu. Tapi sementara berita itu sudah cepat beredar di seluruh dunia, sumber resmi di Jakarta belum juga mau buka suara. Para wartawan juga tak berhasil dapat jawaban dari Ibnu Sutowo sendiri. Munokin karena macet di mana-mana, wartawan menanyai Menlu Adam Malik. Seperti biasa, Adam - mungkin karena lebih tahu cara kerja pers -- mudah dihubungi dan mudah menjawab. Menurut Adam Malik, sebenarnya lebih baik Pertamina memanggil Ibnu Sutowo. Dirut Pertamina Piet Haryono, pengganti Ibnu, ketika ditemui Fikri Jufri dari TEMPO menjelaskan, bahwa ia tak merasa berwenang buat memanggil Ibnu Sutowo. "Saudara Ibnu Sutowo sudah bukan anggota Pertamina lagi", katanya. "Ada tiga badan yang berhak memanggil saudara Ibnu: dewan komisaris, pemerintah dan Badan Pemeriksa Keuangan". Yang dimaksudnya dengan "pemerintah", menurut Piet, "ya bisa menteri pertambangan, bisa juga menteri keuangan". Kini, setelah penjelasannya kepada Sudomo, mungkin tak perlu lagi Ibnu "dipanggil" siapa pun. Yang tinggal ditunggu ialah komentar - kalau ada dari The Asian Wall Street Journal tentang bantahan di Jakarta itu. Mungkin koran itu mau mengakui, bahwa sekali lagi wartawanlah yang salah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus