BAGAIMANA duduk perkara krisis Pertamina yang termashur itu,
kini jadi pembicaraan lagi Sebab rupanya Let. Jend. Ibnu Sutowo,
yang diberhentikan Maret tahun lalu, dikabarkan punya penjelasan
lain dari yang pernah diberikan pemerintah.
Di Jakarta, di mana ia masih memimpin sejumlah perusahaan, ia
tak pernah bicara ke publik. Tampak pun jarang sekali. Bahkan
ada pernah desas-desus ia tak diperbolehkan ke luar negeri.
Desas-desus itu kini mungkin terbantah, setelah ia ternyata bisa
pergi ke AS - dan ada memberikan komentar yang agak mengejutkan
dari sana.
Ini bermula di Palm Springs, kota kecil sekitar 100 Km dari Los
Angeles, California. Di sana, di lapangan golf Indian Wells
Country Club, berlangsung turnamen Bob Hope Desert Classic.
Ibnu, seorang pecandu golf dan pemain dengan handicap 14, sudah
lima tahun ikut dalam turnamen ini. Ia tokoh yang dihormati di
sini. Tapi kali ini - dengan cuma ditemani putera sulungnya,
Ponco - kehadirannya tak menyolok. Orang lebih banyak
memperhatikan para peserta lain: bekas Presiden Ford, pelawak
kaya Bob Hope, penyanyi Sammy Davis Jr. dan bintang golf serta
jutawan lain. Tapi bagi wartawan Earl Gottschalk yang diberi
tugas khusus oleh harian The Asian Wall Street Journal, Ibnu
Sutowolah yang perlu ditemuinya.
Meskipun agak tak enak bertemu dengan seorang wartawan, Ibnu
secara pendek mau juga menjawab pertanyaan tentang Pertamina.
Kesulitan yang dialami Pertamina, demikian dikabarkan kata Ibnu
dalam suara lirih, bukan karena hutang-hutang besar yang
dilakukannya sebagai Dirut. Tapi "batasan dari pemerintah"-lah,
yang menghalangi kemampuannya untuk "tawar-menawar" dengan
perusahaan minyak dan bank yang jadi penyebab krisis itu.
Sebelum pemerintah Indonesia ikut-campur, kata pensiunan perwira
tinggi itu, "saya punya kebebasan untuk tawar-menawar. Saya bisa
menjalankan perusahaan dengan berhasil. Kini batasan pemerintah
menyebabkan hal itu mustahil".
Ucapannya itu, yang dimuat The Asian Wall Street Journal 14
Pebruari dan masuk ke Indonesia tanpa disensor, sebenarnya tak
mengungkapkan pendiriannya yang baru. Dalam wawancara khusus
dengan TEMPO dua bulan sebelum ia diberhentikan, Ibnu sudah
mengeluh bahwa setelah krisis Pertamina terjadi dan terungkap,
semua kebutuhan Pertamina diserahkan kepada BI (Bank Indonesia),
termasuk dalam melakukan pinjaman ke luar negeri. "Juga semua
urusan keuangan kita ditaruh di BI", katanya waktu itu (TEMPO,
17 Januari 1976).
Betapapun juga, wawancara singkat di Palm Spring itu menegaskan
pendirian Ibnu, bahwa ia tak merasa bertanggungjawab atas
masalah gawat Pertamina dan Indonesia. Ia menambahkan bahwa
"kegawatan yang tak terduga dari resesi dunia" memperburuk
krisis Pertamina. Kini ia menyatakan keprihatinannya tentang
akibat sosial-ekonomi dari masalah Pertamina itu "Eksplorasi
kini sedang mandeg di negeri saya", kata Ibnu. "Ini dirasakan di
mana-mana dalam bidang perekonomian. Banyak perusahaan telah
terpaksa mencopot buruh mereka. Pengangguran sangat terasa".
"Marah"
Yang paling menarik perhatian dari jawaban Ibnu agaknya ialah
sikapnya di dalam masalah tanker Menjelang awal tahun ini,
tersiarlah apa yang disebut "kesaksian di bawah sumpah''
(affidavit) Ibnu Sutowo. Dalam kesaksian ini antara lain
disebutkan bahwa Ibnu menandatangani sejumlah nota pernyataan
hutang (seluruhnya seharga $ 364,2 juta -- Red.) kepada
pengusaha tanker Bruce Rappaport, sebagai pertolongan pribadi
kepada orang ini yang sedang dalam kesulitan. Rappaport kemudian
menagih Pertamina. Ibnu dikabarkan "marah" atas "kelicikan"
Rappaport dalam urusan itu.
Kesaksian itu dalam banyak hal memang menguntungkan posisi
Indonesia di pengadilan, dalam ikhtiar pemerintah untuk
membatalkan perjanjian beli cicil tanker yang dianggap merugikan
itu. Tak mengherankan bila pemerintah agak lega berhasil
memperoleh kesaksian itu dari Ibnu. Tapi Rappaport sebaliknya
menyatakan pernyataan Ibnu itu di bawah tekanan. Dan jika
dilihat jawaban Ibnu tentang soal ini di Palm Springs,
jangan-jangan bisa disimpulkan bahwa appaport benar.
Ibnu, menurut berita The Asian Wall Street Journal awal pekan
lalu itu tak menyalahkan Rappaport. Ia menyalahkan "kondisi
perekonomian yang buruk" yang mengakibatkan Indonesia punya
persoalan dengan Rappaport. Ibnu bahkan tak setuju, bila
perjanjian dengan Rappaport dibatalkan. "Pemerintah Indonesia
mencoba membatalkan perjanjian membeli tanker dari tuan
Rappaport", kata Ibnu. "Nasihat saya ialah jangan batalkan itu.
Jika kita mengadakan janji dengan seseorang, kita dengan dia
jadi partner, baik di masa yang baik maupun di masa sulit".
Permainan
Ucapan Ibnu ini tampak sejajar dengan kata Rappaport kepada
TEMPO yang mengecam niat Menteri Sumarlin untuk membatalkan
perjanjian: "Tuan Sumarlin dan rekan-rekannya hanya menjalankan
permainan mengambil dan memilih perjanjian yang kini sedang
menguntungkan di pasar, serta mengingkari perjanjian yang kini
tak menguntungkan". Tapi sejauh mana ucapan Ibnu tadi akan
berakibat terhadap posisi Indonesia di pengadilan dalam
menghadapi Rappaport, belum bisa dipastikan. Yang jelas
kesaksian di bawah sumpah yang ditandatanganinya dulu, kini jadi
lemah. Untunglah bagi Menteri Sumarlin dan pemerintah Indonesia:
kini tinggal Rappaport saja yang dihadapi, setelah beberapa
kontrak lain berhasil dibatalkan lagi (lihat: Ekonomi).
Menteri Sumarlin sendiri menolak memberi komentar tentang ucapan
Ibnu dari Palm Springs. Katanya ringkas: "Pemerintah tentunya
akan membuat penjelasan". Mungkin setelah menanyai Ibnu Sutowo
sendiri. Kepala Staf Kopkamtib memang kemudian meminta
penjelasan dari Ibnu. Minggu 20 Pebruari, Ibnu Sutowo menulis
surat kepada Laksamana Sudomo, Kaskopkamtib. lsinya menceritakan
tanyajawab di Palm Springs itu.
"Pada saat menantikan giliran untuk memukul bola selanjutnya",
begitu Ibnu, "seseorang mendatangi saya dan menyatakan dirinya
dari The Asian Wall Street Journal" Orang itu "menanyakan
secara wajar" satu pertanyaan. "Apakah alasan masalah
Pertamina?" Ibnu menyatakan menjawab: Satu, pembatasan kredit.
Dua, resesi. Tiga, menjadi lesunya usaha tanker. Wartawan itu
menurut Ibnu lalu bertanya: "Jika anda memimpin usaha itu,
dapatkah anda memulihkannya kembali?" Jawab Ibnu: "Tidak".
Pertanyaan terakhir sesaat sebelum ia meneruskan menuju tee
(tempat penyangga bola) ialah: "Seandainya diminta, bersediakah
anda memimpin usaha itu lagi?" Jawab Ibnu: "Tidak. Saya sudah
bekerja selama 36 tahun untuk pemerintah, itu cukup". Menurut
Ibnu, percakapan itu mungkin cuma dua menit berlangsung, dan
bukan khusus suatu wawancara.
"Saudara Ibu . . ."
Laksamana Sudomo Senin pagi pekan ini kemudian mengumumkan
jawaban Ibnu itu. Ia juga menganggap laporan The Asian wan
Street Journal "memberikan kesan seolah-olah adanya wawancara
khusus" (meskipun di koran itu sebetulnya sudah ditulis bahwa
Ibnu "berbicara hanya beberapa menit dan kemudian melangkah
pergi ke golf tee, meskipun saat gilirannya belum tiba").
Kas Kopkamtib juga menyatakan bahwa "percakapan sehari-hari"
yang meliputi 3 pertanyaan tersebut telah dimanfaatkan untuk
"tujuan tertentu". Laksamana Sudomo kemudian mengingatkan agar
"pers dalam negeri janganlah cepat-cepat memuat suatu berita
dari luar negeri sebelum kita check kebenarannya".
Para wartawan di Jakarata sebetulnya telah berusaha mencari
sumber resmi sehubungan dengan berita itu. Tapi sementara berita
itu sudah cepat beredar di seluruh dunia, sumber resmi di
Jakarta belum juga mau buka suara. Para wartawan juga tak
berhasil dapat jawaban dari Ibnu Sutowo sendiri. Munokin karena
macet di mana-mana, wartawan menanyai Menlu Adam Malik. Seperti
biasa, Adam - mungkin karena lebih tahu cara kerja pers -- mudah
dihubungi dan mudah menjawab. Menurut Adam Malik, sebenarnya
lebih baik Pertamina memanggil Ibnu Sutowo.
Dirut Pertamina Piet Haryono, pengganti Ibnu, ketika ditemui
Fikri Jufri dari TEMPO menjelaskan, bahwa ia tak merasa
berwenang buat memanggil Ibnu Sutowo. "Saudara Ibnu Sutowo sudah
bukan anggota Pertamina lagi", katanya. "Ada tiga badan yang
berhak memanggil saudara Ibnu: dewan komisaris, pemerintah dan
Badan Pemeriksa Keuangan". Yang dimaksudnya dengan "pemerintah",
menurut Piet, "ya bisa menteri pertambangan, bisa juga menteri
keuangan".
Kini, setelah penjelasannya kepada Sudomo, mungkin tak perlu
lagi Ibnu "dipanggil" siapa pun. Yang tinggal ditunggu ialah
komentar - kalau ada dari The Asian Wall Street Journal tentang
bantahan di Jakarta itu. Mungkin koran itu mau mengakui, bahwa
sekali lagi wartawanlah yang salah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini