BUKAN situasi perekonomian Iran yang makin memburuk, yang menjadi sebab tak adanya offensif baru - yang besar dari negeri itu, dalam perangnya melawan Irak. Terutama sejak urungnya rencana serangan besar Iran pada hari Idulfitri yang lalu, yang diikuti dengan copotnya menteri pertahanan Iran, Kolonel Mohammad Salimi, orang memang menduga-duga masa depan perang yang menahun ini - tapi juga situasi perekonomian negeri itu. Digantinya Menteri Salimi memang belum usah menunjuk pada berjangkitnya perbedaan pendapat di antara para pengambil keputusan mengenai rencana perang. Setidak-tidaknya, ia mundur bersama empat menteri lain, lewat perdebatan Majelis (Parlemen) bagi pemberian suara kepada Kabinet Mir Hussein Musavi, Agustus lalu. Tapi apa yang dikemukakan sang perdana menteri sendiri, di gedung yang berkarpet biru dengan kursi-kursi merah itu, lebih menyangkut sebab pokok. Ia menyodorkan angka biaya perang yang tahun ini berjumlah US$ 12,7 milyar (termasuk ongkos penampungan para pengungsi perang, dan berbagai proyek tambahan yang dikerjakan Yayasan Para Syahid), dan itu berarti sekitar 42% angaran belanja negara. Tambahan lagi, jumlah itu hampir tiga kali lipat dibanding jumlah tahun sebelumnya yang US$ 4,3 milyar. Kenyataan itu tidak menggembirakan. Tapi itu paralel saja dengan kenyataan tahun lalu: anggaran belanja rutin negara yang melonjak 17,6% dibanding tahun sebelumnya, seperti ditunjukkan oleh laporan Bank Sentral. Tetapi, dalam pada itu, penerimaan negara juga naik - dengan 24,6%. Sedangkan di sektor perdagangan luar negeri, catatan menunjukkan defisit yang hampir US$ 3 milyar - tapi dengan jumlah itu, defisit tahun lalu sudah ditekan dengan 9,3%. Penerimaan Iran sendiri, yang mencapai US$ 14,3 milyar, dinyatakan merupakan kemajuan dibanding sebelumnya, dengan 0,8%. Bahkan sang perdana menteri bisa mengemukakan angka GNP yang naik. Tahun 1978/1979 GNP turun 15,7%, akibat revolusi. Tahun berikutnya turun lagi 15,5%, akibat perang. Tapi tahun berikutnya naik sedikit - 2,8% - sementara tahun terakhir naik lagi dengan 15,2%. Tidak dikatakan ahwa dibanding tahun terakhir sebelum revolusi, angka itu masih lebih rendah sekitar 25%. Tapi yang ingin dikemukakan memang hasil jerih payah bertahan, dalam suasana yang pada tahun-tahun sebelumnya menurun dengan curam itu - usaha yang menurut sang perdana menteri memperlihatkan buahnya sejak awal 1983. Bukan situasi ekonomi yang makin runyam, memang, yang menghalangi ofensif besar terhadap Irak. Orang bahkan bisa menduga bahwa, dari segi ekonomi, justru segala Jerih payah untuk meralh "sediklt kemajuan" itu diinginkan untuk tidak hilang sia-sia - terutama lewat pembelian senjata, secara gelap, dengan harga 3-4 kali lipat. Kecuali Ayatullah Khomeini berkehendak lain, atau Irak melancarkan ofensif besar terhadap negeri ini, orang agaknya bisa mempertimbangkan dari pidato Musavi:'Insya Allah ada niat pembangunan pada tahun-tahun mendatang. Mengorek situasi dua tahun lalu, sang perdana menteri - dalam perdebatan yang hangat itu, yang disiarkan ke seluruh negeri lewat radio dan televisi - menyebut masa-masa sanksi ekonomi, "saat ketika kita praktis sendirian di dunia ini". Iran juga, katanya, punya deposit di negeri-negeri tertentu, "Tapi tidak satu pun bersedia mengembalikannya kepada kita." Ia juga mengingatkan pada lumbung-lumbung yang sebagian kosong, "seperti yang masih terjadi tahun lalu". Dan lumbung-lumbung itu kini terisi memang. Nun, roti lebar yang jadi makanan pokok, adalah barang paling murah yang tidak seorang pun tak mampu membeli meski barangkali tak ada orang Iran yang akan memakannya.tanpa mentega, sayuran (selada), dan buah. Betapapun, yang harganya melonjak memang bukan pengisi perut yang paling dasar. Sampai kepada daging saja, harga sekarang sudah menggila hingga 12 kali dibanding tahun pertama revolusi: 120 menjadi 1.500 rial. Gula, dari 24 ke 300 sampai 400 rial. Udang satu box (2 kilo) kini 6.000, dulu cuma 750. Rokok Bahman dan Azadi 350 sampai 400, dibanding 170 dulu. Itulah sebabnya mengapa kupon dikeluarkan (dengan harga barang 1/4 dari harga di luar) dan mengapa orang antre. "Tanpa kupon tak mungkin saya sekeluarga hidup," kata seorang sopir taksi. Benar, tiap jiwa hanya mendapat tiga kilo beras (bukan makanan pertama) atau 250 gram gula. Tapi sebuah keluarga besar - dan keluarga miskin biasanya besar - justru bisa beroleh keuntungan dari sistem yang per kepala itu. Bisa beroleh kelebihan, untuk dijual ke pasar bebas. Kemajuan dalam pada itu tampak juga: jumlah barang lebih banyak. Dan, "Sekarang kita antre tak perlu dari pukul 5 pagi," kata seorang pelayan toko konveksi "juga antrean tidak lagi panjang." Betapapun, situasi harga dan antrean itulah yang menjadi sasaran pokok gerutuan orang Iran. Langkanya berbagai jenis barang (orang tak akan lagi bisa membeli televisi warna ukuran besar, atau radio enam band, bahkan untuk onderdil mobil dengan harga kupon mereka harus antre 3-4 bulan), selaras belaka dengan politik pengetatan ikat pmggang, yang dalam pelaksanaan berarti pembatasan Impor secara keras demi pertimbangan devisa. Barang konsumsi mewah mutlak haram. Tiadanya keleluasaan itu (bahkan tiadanya hiburan, kecuali bioskop, dengan film sangat terbatas) ternyata mempunyal dampak yang ustru diharapkan: tabungan naslonal naik pesat - tercatat 5.111,7 milyar dolar tahun lalu, alias sekitar 31/2 kali tabungan pada 1979. Tiadanya bunga bagi para deposan (prinsip bank Islam mulai secara riil diterapkan Januari tahun ini) rupanya tidak menghalangi mereka: bank, dengan prinsip profit-loss sharing, menghubungkan para penabung itu dengan berbagai cabang usaha yang direkomendasikan. Toh tidak ada kegairahan investasi swasta di satu bidang ini: perumahan. Kenyataan bahwa, dengan keadaan itu, harga sewa rumah terhitung yang paling rendah naiknya, ternyata, disebabkan oleh usaha pemerintah yang getol di bidang perumahan: 125.402 unit rumah dibangun, dan rekening bank untuk mengumpulkan sumbangan bagi perumahan miskin dibuka dengan 20 juta rial. Dalam pada itu, terdapat banyak sekali rumah bagus - dan mewah - yang kosong ditinggalkan penghuninya, yang diambil alih pemerintah dan disewakan murah. Jelas, ini sebuah pukulan bagi usaha real estate. Tapi Iran memang sebuah negeri yang berniat - menurut UUD-nya menumbuhkan ekonomi "yang tidak menyebabkan penumpukan kekayaan individu atau kelompok pribadi atau membuat pemerintah sebagai majikan absolut yang besar" (pasal 43 ayat 2), yang tidak mengizinkan monopoli dan rente (ayat 5) dan menekankan bentuk koperasi (pasal 44). Usaha pemerintah membuka hubungan dagang lebih besar dengan dunia luar (termasuk Jerman, dan Yunam, di sampmg Jepang dan Turki) bisa dlanggap sebagai upaya untuk mengejar surplus. Dengan Turki, misalnya, Iran ternyata bisa mengekspor banyak komoditi. Dengan Jerman, negeri Barat pertama yang perdana menterinya datang ke Teheran, Juli yang silam, hubungan tentunya tidak boleh retak: Jerman masih menyimpan warisan kekayaan Syah yang tidak kecil, berwujud saham pada perusahaan-perusahaan Krupp dan Deutsche Babcock. Jerman juga terikat pada penyelesaian proyek listrik tenaga nuklir di Iran dengan nilai US$ 3,2 milyar. Bahkan, hal yang barangkali tak akan diakui Iran adalah ini: berita, seperti yang datang dari Te Economist, yang menyebutkan bahwa negeri ini mengimpor US$ 3 juta barang kebutuhan sehari-hari pada tiga bulan pertama tahun ini, langsung dari negeri "Setan Besar" - Amerika Serikat. Ulah siapa? Adakah biangnya kaum Bazari, yang gehsah ltu, wakil pahng khas yang menunjukkan semangat bebas (termasuk untuk menjadi kaya) yang ada di negeri mana pun? Atau, sebuah sindikat yang juga melibatkan sementara mullah, seperti yang terkadang didesas-desuskan mereka yang anti revolusi di Teheran? Atau kalangan pemerintah sendiri, diam-diam, karena kebutuhan? Itikad khas Iran - untuk menjadi negeri pertama, setidaknya di dunia Islam, yang memecahkan rantai ketergantungan dengan negara-negara adikuasa - memang boleh juga dianggap sedang diuji. Dan contoh-contohnya sebenarnya sudah ada. Tidak hanya RRC. Yang lebih mirip dengan Iran agaknya Burma, dengan warna berbeda. Hasil akhirnya memang belum lagi pasti. Sama statusnya adalah masa depan perang Iran-lrak sendiri "Tak seorang pun tahu kapan berakhir bukan kami yang memulai," kata semua pejabat dan intelektual pemerintah di Teheran. Hanya, satu kenyataan menarik bisa ditunjukkan oleh laporan Bank Sentral itu. Pada tahun terakhir kekuasaan Syah dan tahun pertama revolusi, pendapatan luar negeri Iran persis sama: angka US$ 24 milyar pada indeks. Tetapi, sementara pada masa Syah pembayaran luar negeri sedikit melebihi penerimaan, pada awal masa Khomeini pembelanjaan itu turun dahsyat ke bawah angka US$ 18 milyar. Dan, segera sesudah itu, pecah perang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini