Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAGU kebangsaan Amerika Serikat Star Spangled Banner terdengar gemuruh, berdesakan keluar dari pengeras suara seperti menggedor-gedor gendang telinga. Saya terbangun dan melirik arloji. Pukul delapan pagi waktu... ah, di manakah saya sekarang? Dan zona waktu apakah yang menjadi patokan? Sejenak saya termangu memandang ke sekeliling kamar. Ada sejumput rasa asing yang samar.
Ini bukan kamar biasa. Kesadaran saya kembali dengan cepat. Ini Combined Bachelor’s Quarters, ”losmen spesial” yang cuma terdapat di penjara Guantanamo. Setiap suite di losmen ini terdiri dari dua kamar tidur, masingmasing dengan dua ranjang. Karena saya satu-satunya perempuan dalam rombongan wartawan yang diundang Gugus Tugas Bersama (Joint Task Force [JTF]) Guantanamo, saya beruntung mendapat suite sendiri. Jadi, bolehlah jika saat ini saya dipanggil Guantanamera—perempuan dari Guantanamo—seperti judul lagu beken Kuba yang liriknya ditulis penyair besar Jose Marti.
Ini bukan tempat biasa dan saya di sini bukan pada hari yang biasa pula. Hari ini, 3 November 2005, umat Islam di seluruh dunia sedang merayakan Idul Fitri. Termasuk lebih dari 500 tawanan perang Afganistan dan tersangka anggota Al-Qaidah. Ini keempat kalinya mereka merayakan Lebaran di sini. Jauh dari keluarga, jauh dari liputan media, kecuali oleh segelintir wartawan yang diundang. Seperti apakah suasana Lebaran di penjara yang selalu menjadi topik pembicaraan dunia dalam 2-3 tahun terakhir?
SEBELUM mengunjungi sel tawanan, rombongan wartawan diajak mengelilingi kompleks seluas 116 kilometer persegi. Terletak di Provinsi Guantanamo, salah satu daerah penghasil tebu dan benang wol terbesar di Kuba, Gitmo—sebutan populer untuk pangkalan militer AS ini—terletak 15 kilometer dari pusat kota yang bernama sama: Guantanamo. Pemerintah Amerika menyewa Gitmo dari Kuba sejak 1903.
Di Gitmo, bermukimlah 8.000 personel militer dan pekerja sipil. Lebih dari 40 persen pekerja sipil adalah Filipino, mulai dari resepsionis losmen sampai koki penjara. Sisanya berasal dari Jamaika dan Haiti. Meski terletak di wilayah Kuba, hampir tak terasa suasana Negeri Cerutu kecuali di restoran yang menyediakan plaintains alias pisang goreng ala Kuba. Menu lainnya pizza, meatloaf, beef steak, lobster.…
Tur berlanjut. Di satu lokasi saya terkesima melihat pemandangan di depan mata. Terlalu luar biasa untuk dipercaya, tapi itulah faktanya: mal yang ditata elok, toko-toko cendera mata, kedai kopi Starbucks, McDonald’s, deretan bar dan bioskop yang memasang poster Jarhead, film baru garapan Sam Mendez berdasarkan buku laris Anthony Swofford, purnawirawan marinir yang pernah bertempur di Kuwait.
Ada lagi yang poster yang mengiklankan layanan microdermabrasion sebuah salon kecantikan. Ini layanan buat ”mengampelas” muka agar licin sebening kristal. Naluri kewanitaan saya muncul tiba-tiba, diteruskan oleh mulut yang bertanya spontan, ”Apakah setiap pangkalan militer AS semewah ini?” Sersan Jebari Carter, yang berkulit legam dan berusia 23 tahun, pemandu kami, dengan sigap menjawab, ”Oh yeah, pemerintah membuat kami nyaman. Itu penting bagi kestabilan moral prajurit.”
Astaga! Tidak pernah terbayangkan oleh saya sebelumnya, seorang serdadu perlu ke salon untuk mempercantik wajah. Wartawan Rusia yang berada di rombongan kami menyeletuk, ”Di pangkalan militer kami yang ada cuma vodka.”
Dua kilometer dari ”pusat kota” Gitmo, suasana berubah 180 derajat. Di mana-mana terbaca slogan Joint Task Force-GTMO: Honor Bound to Defend Freedom. Setelah melewati check point, akhirnya saya menjejakkan kaki di sepotong wilayah yang pernah menggemparkan dunia: kamp X-Ray. Masih ingat gambar tawanan berbaju oranye tergeletak di lantai, diborgol dan diberi masker gas yang disiarkan oleh hampir semua saluran televisi di dunia pada Januari 2002? Inilah lokasi maut itu. Sekarang X-Ray sudah ditutup dan seperti dibiarkan terbengkalai oleh rimbun alang-alang serta tanaman sejenis pare setinggi paha orang dewasa. Para penghuninya dipindahkan ke Kamp Delta.
Di kamp Delta yang dihuni seribu tawanan, kami disambut Sersan Anthony Mendez yang menggantikan Jebari Carter. Ia mengingatkan kami bahwa berbicara dengan tawanan atau mengambil gambar mereka dari leher ke atas adalah perbuatan terlarang. ”Jika ada foto-foto yang sensitif akan segera dihapus.” Suara parau Mendez tegas tak bisa dibantah.
Kamp Delta terdiri dari 408 blok yang terbagi dalam lima kamp: 1, 2, 3, 4, 5. Setiap blok ditutup terpal hijau yang menyisakan sedikit celah untuk melihat tawanan di dalam sel. Nomor kamp menunjukkan tingkat kepatuhan tawanan. Kamp 1 dikhususkan bagi mereka yang bersikap semikooperatif. Sedangkan kamp 5 merupakan wilayah maximum security bagi tawanan paling berbahaya. Warna seragam juga berbeda. Penghuni kamp 1 memakai warna krem, kamp 5 oranye.
Tawanan yang dinilai kooperatif mendapatkan comfort items berupa sajadah, peci, minyak wangi, tasbih dan Al-Quran yang harus diletakkan pada kantong putih yang ada di dinding. Tujuannya, menurut Mendez, agar tak disentuh penjaga. ”Para penjaga tak dibenarkan memegang Al-Quran,” katanya. ”Itu aturan di sini.” Ketika saya tanyakan berita tentang penjaga Gitmo yang mengencingi kitab suci umat Islam itu, Mendez menyergah. ”Itu kelakuan penjaga yang tidak disiplin. Dia kencing di luar sel dan tetesan air seninya tertiup angin mengenai Al-Quran yang sedang dibaca tawanan.” Penjaga itu, menurut Mendez, sudah dihukum selain meminta maaf kepada tawanan yang bersangkutan. Tentu saja sulit memverifikasi kebenaran kisah ini lebih jauh lagi. Wallahu ’alam.
Tiba-tiba terdengar suara azan zuhur berkumandang. Menurut Mendez, selesai azan tawanan diberi waktu setengah jam untuk menunaikan salat. Ia menunjukkan simbol kerucut seperti tanda lalu lintas berwarna kuning dengan huruf ”P” yang diletakkan di tengah lorong. ”P itu artinya prayer. Wilayah mereka untuk salat.”
Saya tak bisa menahan keingintahuan. ”Bagaimana caranya mereka tahu arah kiblat, Pak?” Mendez menunjukkan gambar anak panah berwarna hitam di tempat tidur tawanan, serta di lapangan di mana tawanan boleh keluar selama satu jam setiap hari. ”Itu arah kiblat,” katanya. Saya mengecek arah beberapa anak panah, baik yang di dalam sel maupun di lapangan. Semua menuju ke arah yang sama. Sayang saya tak mendapatkan informasi, apakah tawanan diperbolehkan melakukan salat Idul Fitri di lapangan itu, lengkap dengan khotbah sesudah salat yang menjadi syarat sempurnanya salat ini.
Di kamp 4, kami mendapat pemandu baru, Letnan Donna Batiste namanya. Berbeda dengan kamp lain yang merupakan sel terpisah, kamp 4 terdiri dari bangsal-bangsal panjang seperti pendapa. Tiap bangsal terdiri dari 10 tempat tidur, beberapa bangku panjang, dan meja pingpong. Di tembok bangsal ada poster orang sedang salat serta pengumuman dalam beberapa bahasa seperti Arab, Pashtun, Rusia. Di kamp ini untuk pertama kalinya saya melihat tawanan dalam jumlah banyak. Hampir semuanya berkulit gelap, berjenggot tebal, dan memakai seragam tahanan berwarna putih.
Ketika mata saya bersirobok dengan mata mereka, hampir semua memalingkan pandangan lalu beringsut memasuki bangsal. Mungkinkah karena saya perempuan? Tunggu dulu! Ada seorang tawanan muda yang membalas senyum saya dengan malu-malu. Kaki kirinya terbalut, ia berjalan pincang. Saya tanyakan kepada Batiste apakah luka itu didapatnya dalam penjara? Batiste mendekati pemuda itu, yang menjelaskan dengan bahasa isyarat sambil menendang-nendangkan kakinya yang luka. Ketika kembali mendekati saya, Batiste menjelaskan bahwa kaki pemuda itu keseleo karena... bermain sepak bola!
Di kamp 5 yang memiliki tingkat pengamanan tertinggi, semua tawanan diisolasi selama 24 jam penuh. Pagar berlapis-lapis dikendalikan secara elektronik. Pemandu kami, Kapten Eric de Forest, menyebutkan jumlah maksimal tawanan 100 orang. Saat ini terisi lebih dari 50 persen. Sel di kamp ini istimewa karena semuanya berpendingin udara. Terik matahari Karibia yang mengelupas kulit tak terasa seperti di empat kamp lainnya. Namun, dengan tempat yang begitu terisolasi serta mengingat siklus badai Amerika yang sedang aktif mengepung wilayah ini, satu pertanyaan lagi-lagi meluncur spontan dari mulut saya. ”Bagaimana strategi penyelamatan tawanan jika badai datang atau kebakaran mengancam?” Jawaban sang kapten singkat saja, ”Mereka sudah pernah berlatih evakuasi.”
Jumat 4 November 2005. Saya memasuki dapur raksasa tempat makanan tawanan dimasak. Seorang koki wanita paruh baya asal Filipina yang memperkenalkan dirinya sebagai Kim menyambut ramah. Ia sibuk mengeluarkan roti dari oven, mencacah sayur-mayur, mengaduk lauk-pauk di penggorengan besar. Sersan Jonathan Sym yang menjadi pemandu kali ini menunjukkan menu makanan Idul Fitri kepada saya: nasi kebuli, shish kebab sapi, hidangan ayam, selada tabouleh. Untuk pencuci mulut ada manisan baklava, kurma, buah segar dan susu cokelat. ”Ini hidangan istimewa,” kata Sym. ”Biasanya tawanan tidak mendapat dua porsi protein. Untuk Idul Fitri kali ini kami meningkatkan kuantitas dan kualitas sesuai dengan menu Timur Tengah.” Sym lalu meminta saya mencicipi makanan itu, yang terasa nikmatnya.
Dengan sajian seenak ini, bagaimana menjelaskan ihwal 100 tawanan yang mogok makan pada Agustus lalu? Sampai-sampai beredar kabar pemerintah Amerika melakukan kekerasan dengan memasukkan selang ke hidung mereka agar makanan bisa mencapai perut? Seorang sersan lain yang bernama Edmonson meluruskan berita itu. Ia mengakui masih ada 21 orang tawanan yang mogok makan dan dipaksa menerima makanan lewat bantuan selang. Katanya, ”Selang yang digunakan adalah selang steril lunak berdiameter 3,3 mm, bukan selang kotor setebal jari yang menyebabkan tawanan muntah darah seperti yang dituduhkan.” Edmonson lantas menunjukkan potongan selang steril itu kepada wartawan.
Selesai mengecek persiapan makanan Idul Fitri, tibalah saat yang paling mendebarkan: wawancara dengan Mayor Jenderal Jay Hood, otoritas militer tertinggi dan penanggung jawab Gitmo. Pertanyaan saya tentang apakah undisclosed location yang disebut pemerintah AS sebagai tempat penahanan Hambali itu sebenarnya tak lain dari Gitmo yang dipimpinnya, tak dijawab oleh Hood. Ia juga menampik semua berita miring yang saya tanyakan: mulai dari perlakuan cabul interogator perempuan terhadap tawanan laki-laki, pelecehan Al-Quran, hingga penyiksaan tawanan lewat pengaturan jam tidur mereka (sleep deprivation). Akumulasi pertanyaan seperti ini tampaknya mengganggu Hood. ”Bagaimana mungkin Anda mempercayai semua tuduhan itu setelah melihat dengan mata kepala sendiri keadaan di sini?” katanya separuh menghardik. Giliran saya yang terkejut dengan reaksinya—dan agak tersinggung. Wawancara tak lagi nyaman.
Kabar wawancara itu rupanya beredar cepat. Malam harinya di penginapan, Sersan Jebari Carter menunjukkan wajah masam kepada saya. Untunglah, malam itu ada Clive Stafford Smith, Direktur Penyuluhan Hukum Reprieve, organisasi hak asasi manusia yang mewakili 40 tawanan di Gitmo, termasuk juru kamera Aljazeera, Sami Muhy al-Din al-Hajj.
Begitu populernya Clive Smith sekarang sehingga ia dijadikan tokoh dalam drama teater berjudul Guantanamo: Honor Bound to Defend Freedom, yang sedang dipentaskan di Washington D.C. setelah sukses di London. Menurut Smith, banyak teknik penyiksaan sadis di Gitmo yang tak akan diakui Jenderal Hood, termasuk mendekatkan silet ke penis tawanan. ”Perjuangan kami ada di pengadilan opini publik. Sejauh ini kami menang. Berkat tekanan pengacara dan sorotan media, kondisi Guantanamo mulai membaik,” katanya. Sisa malam kami habiskan dengan membahas rumor bahwa Badan Intelijen Amerika, CIA, mengoperasikan 15 penjara rahasia lain di delapan negara—sebuah tuduhan yang tidak diakui sekaligus tidak disangkal oleh Amerika.
Yang jelas, berada di dalam Gitmo jauh berbeda dengan citra yang tersaji di media massa selama ini. Di sini semua serba rapi, terorkestrasi, tak ada kesan seram—kecuali jika kita berbicara dengan pengacara tawanan seperti Smith, atau membaca buku For God and Country, Faith and Patriotism Under Fire tulisan Kapten James Yee, perwira militer muslim AS yang pernah menjadi imam Guantanamo dan diolok-olok sebagai ”Taliban Cina” oleh koleganya (lihat Derita Yusuf di Guantanamo, Tempo 13 November 2005).
Ketika keesokan harinya Sersan Carter mengantar kami ke bandara, ia mengajak kami mampir ke sebuah toko cendera mata. Kepada saya ia menunjukkan sebuah kaus dengan tulisan ”The Taliban Towers at Guantanamo Bay. The Carribean’s Newest 5-Star Resort”.
Saya tak tahu lagi mana yang lebih benar: selera humor saya yang tumpul, atau kalimat itu yang tak peka pada nilai kemanusiaan. Saya hanya bisa melongo. Selamat tinggal, Gitmo! Tak ada lagi lagu kebangsaan yang menggedor-gedor telinga setiap pagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo