Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mulutmu harimaumu! Ungkapan kuno ini agaknya harus dicamkan oleh Abdul Nazer Benbrika alias Abu Bakr. Gara-gara memuji Usamah bin Ladin sebagai orang hebat, lelaki asal Aljazair itu diterkam Polisi Federal Australia. Sanjungannya kepada pemimpin Al-Qaidah saat diwawancarai radio Australian Broadcasting Corporation Agustus lalu membuatnya diciduk dengan tuduhan antek teroris.
Abu Bakr, 45 tahun, ditangkap setelah polisi memantau aktivitasnya selama 240 jam—sejak ia menyatakan mendukung Usamah. Selasa lalu, 450 polisi Negara Bagian New South Wales dan Victoria menyerbu 24 rumah pengikut lelaki itu di Melbourne dan Sydney. Tujuh belas orang ditangkap. ”Kami punya cukup bukti tentang rencana mereka,” kata Kepala Polisi Negara Bagian Victoria, Komisaris Christine Nixon.
Lelaki yang diduga pemimpin Kelompok Islam Fundamentalis Australia itu dicokok di Melbourne bersama tujuh pengikutnya. Sembilan lainnya ditangkap di Sydney setelah melawan. Di antaranya, Omar Baladjam, 28 tahun, yang roboh tertembak. Di Sydney, polisi menemukan bahan-bahan kimia, bahan peledak, senjata api, komputer, tas ransel, dan dokumen perjalanan.
Jaksa Pengadilan Melbourne Richard Maidment menjelaskan, para tersangka itu umumnya imigran dari Asia dan Timur Tengah. Tidak ada yang dari Indonesia. Enam orang lainnya warga negara Australia. ”Dua tersangka pernah mengikuti latihan di Pakistan,” kata Maidment dalam surat dakwaannya.
Polisi menduga, mereka tengah merancang aksi teror. Pembelian bahan-bahan kimia yang mirip bahan bom London ditangani Kelompok Sydney. Kelompok Melbourne bertugas membeli alat merakit bom. Mereka disebut-sebut mendanai aksi bermodalkan duit pencurian mobil. Aparat Intelijen Australia (AISO) yakin, 800 warga muslim Australia mendukung kekerasan politik dan 80 di antaranya terlatih dalam olah kemiliteran.
Bukti itu klop dengan jejak rekaman pembicaraan telepon mereka, walau polisi tak menjelaskan kapan rekaman itu dibuat. Polisi Melbourne Chrys Murray mengatakan, mereka telah menyadap pembicaraan telepon seorang pria kepada Abu Bakr yang meminta izin menjadi martir di Australia. ”Dia ’meminang’ seorang pria untuk bom bunuh diri,” katanya.
Murray membantah kabar serangan itu dirancang sebagai ”kado” untuk Ratu Inggris Elizabeth II yang akan membuka Pekan Olahraga Persemakmuran di Melbourne, Maret tahun depan. Polisi yakin rencana serangan itu telah digagalkan. Toh, setelah penggerebekan, penjagaan ketat tetap berlangsung di Sydney Opera House, Harbour Bridge, dua kilang minyak Sydney, pasar bursa, dan stasiun kereta api utama Melbourne.
Kapan tepatnya polisi Australia mulai merancang penangkapan di atas? Setelah Perdana Menteri John Howard menerima laporan intelijen soal ancaman teroris. Howard segera minta parlemen memberi kemudahan untuk menahan tersangka selama tujuh hari tanpa dakwaan melalui amendemen Undang-Undang Antiteror yang tengah diajukan. Meski baru wacana, polisi sudah menahan selama tujuh hari.
Australia adalah negeri yang ikut menyokong pasukan Amerika di Irak dan Afganistan. Dalam wawancara dengan radio ABC Agustus lalu, Abu Bakr mengaku siap melawan pendukung AS di Irak dan Afganistan. ”Jihad bagian dari agamaku...,” kata ayah dua anak itu.
Sang Ustad berkali-kali membantah dirinya terlibat jaringan teroris. Sejak pindah ke Australia pada 1989, ia mengaku hanya berniat mengajar Al-Quran dan Sunah. Tapi izin tinggal permanennya di Australia tak kunjung terbit. Bertahun-tahun ia berusaha, tetap gagal. Belakangan malah dituduh teroris. Visanya dinyatakan kedaluwarsa dan paspornya disita pada Maret lalu.
Adam Houda, pengacara Abu Bakr, menegaskan bahwa klien dan kelompok pengajiannya tak bersalah. Para pemimpin Islam Australia juga sepakat. Mereka menganggap sanjungannya kepada Bin Ladin sekadar suara kekecewaan minoritas muslim di Negeri Kanguru. Bahkan Walid Kadous, Koordinator Jaringan Advokasi Hak Sipil Muslim Australia, menuding penangkapan ini semata-mata rekayasa pemerintah.
Dia mengatakan: ”Saya yakin tak satu pun merencanakan serangan seperti London atau Madrid.”
Eduardus Karel Dewanto (Reuters/Aljazeera/BBC/AFP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo