MATA Washington kini sedang benar-benar memelototi Iran. Malah ada perkiraan bahwa Presiden George W. Bush pada akhirnya akan memilih menggoyang pemerintahan Presiden Mohammad Khatami dan memberikan kesempatan kepada kelompok yang lebih ”sekuler” untuk memerintah. Tapi, menurut penasihat keamanan Condoleezza Rice, pendekatan terhadap Iran berbeda dengan terhadap Irak.
”Dosa” Iran bagi Gedung Putih sudah jelas: menjadi sarang teroris, terutama berkaitan dengan Al-Qaidah, dan memiliki proyek pengembangan senjata nuklir. Serangan bom bunuh diri di Riyadh, Arab Saudi, tiga pekan silam memicu sikap keras Amerika Serikat. Bom di tiga tempat permukiman mewah yang menewaskan 34 orang itu—delapan di antaranya warga AS—disebut sebagai ulah kelompok Al-Qaidah, yang mendapat perlindungan di kawasan Iran timur laut. Di area yang berbatasan dengan Afganistan itulah diduga anggota Al-Qaidah tinggal—mereka masuk dari Afganistan.
Sebelum bom Riyadh, Iran sudah membuat pemerintah Bush gelisah ketika tentara AS melihat kekuatan Syiah di Irak. Kelompok yang selama ini ditindas Saddam Hussein itu bangkit melawan pendudukan AS. Lalu AS mulai menuduh Iran—mayoritas Syiah—berada di belakang ”pembangkangan” Syiah di Irak.
Sikap keras AS tampaknya sudah mengkristal. Pertemuan rutin antara utusan AS dan Iran di Jenewa terhenti. Padahal forum seperti itulah yang selama ini menjadi semacam bumper hubungan kedua negara. Khatami bisa terus menjalankan program reformasi di dalam negeri karena ada dukungan dari Barat. Dengan terputusnya dialog, kubu Khatami terjepit, berjuang sendiri di dalam negeri melawan kubu konservatif dan digencet oleh AS.
Di dalam negeri AS, strategi juga disusun. Berberapa pertemuan tingkat tinggi, terutama yang melibatkan Gedung Putih, Pentagon, dan Departemen Luar Negeri AS, serta Badan Intelijen Amerika (CIA), dilakukan selama seminggu lalu. Mereka menggodok sikap politik luar negeri AS dalam menghadapi isu Iran.
”Proyek merombak Iran” sudah menjadi pembicaraan hangat di antara politikus AS. ”Pemerintahan Iran terdiri atas kelompok baik, yang berusaha melakukan reformasi, dan kelompok jahat, yang memegang hati kekuasaan,” kata Porter Goss, anggota Kongres yang mengepalai Komite Intelijen di Parlemen. ”Perubahan rezim di Iran sepertinya sudah menjadi kepentingan dunia, khususnya rakyat Iran,” kata Senator Joseph Lieberman.
Belum jelas benar bagaimana tepatnya perlakuan AS terhapap Iran nantinya. Yang pasti, rapor Khatami sudah merah: dia dianggap tak cukup keras berusaha memperbaiki keadaan. Meskipun Iran menangkap beberapa anggota Al-Qaidah pertengahan pekan lalu, itu dianggap tak cukup memuaskan Washington. ”Menangkapi tidaklah cukup. Yang lebih penting adalah tidak memberikan tempat hidup bagi anggota Al-Qaidah,” kata Ari Fleischer, juru bicara Gedung Putih.
Lebih jauh, Washington mulai ”memagari” Iran dengan mendekati negara-negara yang selama ini membantu proyek nuklirnya. Hasilnya didapat seketika. Pemerintah Cina langsung menyangkal membantu Iran dalam pengembangan senjata nuklir. Rusia—yang membantu pabrik tenaga atom di Bushehr, Iran—pun mengingatkan Iran agar tak menyelewengkan proyek energi nuklir menjadi produksi senjata.
Semua itu jelas menekan pemerintah Khatami. Tapi sepertinya tak semua kelompok kepentingan Iran sesak napas karenanya. Ada juga pihak yang malah lega, yaitu oposisi, Dewan Perlawanan Nasional Iran. Mereka tak menyia-nyiakan kesempatan dengan memberikan informasi kepada AS tentang keberadaan fasilitas pengayaan uranium di luar Teheran, yang selama ini tak dibuka datanya oleh pemerintah Khatami. Oposisi juga bersedia lebih jauh membantu memberikan informasi sensitif lainnya. ”Inilah saatnya AS benar-benar harus jelas bersikap terhadap rezim Iran,” kata Alireza Jafarzadeh, juru bicara Dewan Perlawanan.
Jika begitu, tampaknya tak tertutup kemungkinan nasib Iran bisa mirip dengan Irak. Asal-muasal AS memutuskan menyerang Irak juga akibat gosokan terus-menerus dari Ahmad Chalabi, pemimpin oposisi yang selama hampir satu dasawarsa bekerja sama dengan sekelompok elite politik di Washington. Chalabi jugalah yang memasok data ke Washington bahwa Irak punya senjata pemusnah massal dan melindungi Al-Qaidah. Bush, yang—setelah 11 September 2001—semula tak menempatkan Irak dalam prioritas, berubah total pada awal 2002.
Apalagi Iran bisa disebut ”mimpi buruk” lama AS. Setelah Revolusi Putih yang digulirkan Ayatullah Khomeini sejak 1963 berhasil membawa kaum mullah ke pucuk pemimpin pada 1979, Iran bak hantu bagi AS. Hubungan dengan AS baru membaik ketika Khatami yang reformis terpilih menjadi presiden (1997). Sederet upaya dialog AS dan beberapa negara Eropa dengan Iran mulai dilakukan sejak saat itu. Tapi ”kemesraan” itu sama sekali tak menghapus kecurigaan AS. Buktinya, dalam pidato kenegaraan Bush pada Januari 2002, Iran diberi label sebagai satu dari tiga negara ”Poros Setan” selain Irak dan Korea Utara.
Posisi Iran di mata pemerintah Bush tampaknya sudah tak bisa dikembalikan ke jalur ”normal”. Apalagi Washington saat ini dikuasai oleh kelompok neokonservatif yang sangat pro-Israel. Kubu para hawkish yang berhasil meyakinkan pemerintah Bush untuk menyerang Irak dan bersekutu dengan Chalabi ini dengan senang hati menggarap ”proyek Iran”, negara yang jelas-jelas mendukung perjuangan Palestina melawan Israel.
Mungkin saja sebentar lagi pemerintah AS menjatuhkan vonis buat Iran. Tapi, sebelum melangkah lebih jauh, pemerintah Bush tampaknya harus mempertimbangkan pesan dalam sebuah editorial di media massa Barat ini: ”Jangan menggigit dulu sebelum yang dikunyah di mulut habis dan ditelan.”
Bina Bektiati (The Washington Post, The Economist, Al-Jazeera, The New York Times)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini