Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Senjata Polisi Salah Dor Lagi

Salah tembak kembali terjadi. Saat polisi menjebak bandar narkoba, dua anak tewas. Ceroboh atau kurang berlatih?

1 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEPADATAN kawasan Kebon Jeruk XI, Tamansari, Jakarta Barat, Senin petang pekan lalu seperti bersekutu dengan panas dan hiruk-pikuk. Namun, hal ini tak mencegah Eli, 3,5 tahun, bercanda-ria dengan Mela, 24 tahun, sang ibunda. Tawa mereka terdengar renyah dan lepas. Anak yang sedang lucu-lucunya itu baru saja dimandikan. Harum sabun tercium dari tubuh kecilnya. Namun, siapa sangka, ketika Eli digendong ibunya, sebutir timah panas melepas nyawa dari tubuhnya. Tak jauh dari situ, Ina Surtianah, 12 tahun, lagi menunggu angkutan umum menuju Gajah Mada Plaza pada sore yang sama. Tiba-tiba, dor…, tubuh gadis tanggung itu tertembus peluru. Ia terkapar sambil memeluk kado. Ina tak sempat mencapai restoran cepat saji di pusat perbelanjaan itu, tempat sepupunya memestakan hari lahirnya. Drama pilu itu berlangsung amat cepat. Pelor-pelor tak bermata tak berhati tersebut berasal dari laras senjata api Tim Buru Sergap (Buser) Kepolisian Resor Metro Jakarta Barat. Menurut kepala satuan kriminal polres setempat, Komisaris Polisi Herry Rudolf Nahak, tim reserse petang itu lagi bersiap menangkap tersangka narkoba. Mereka menyamar selaku pembeli. Saat hendak melakukan transaksi senilai Rp 5 juta, seseorang berteriak, "Awas, polisi!" Kontan kedua tersangka ambil langkah seribu. Sigap mengejar, polisi memberondongkan tembakan. Satu buruan dapat ditangkap berikut barang bukti 20 gram sabu-sabu. Satu lainnya, meski kakinya tertembak, berhasil kabur. Tetapi peluru-peluru bersayap juga menembus kepala Eli dan mengenai pinggang Mela. Sedangkan Ina menerima pelor menembus jantung lewat ketiaknya. Begitu para korban terkapar berdarah, warga setempat mengejar para polisi yang kurang hati-hati itu dan mengeroyoknya. Untung, pihak Polres Jakarta Barat, begitu mengetahui kejadian, langsung memburu ke sana dan mengamankan mereka dari amukan massa. Toh anggota Tim Buser, Aipda Dua Roni Syahroni, ketiban sial. Tertangkap dan digebuki massa, ia harus menerima 11 jahitan di dahinya yang sobek. Jajaran polisi tampak terpukul karena insiden itu. Kapolda Metro Jaya, Irjen Makbul Padmanagara, langsung menyambangi korban dan berbelasungkawa. "Kejadian itu murni kecelakaan," kata Herry, masygul. Tampaknya, sebelum memakan korban tak berdosa, peluru-peluru itu mengenai aspal dan tiang listrik. Polda Jakarta telah mengambil alih kasus dan menjadikan tujuh anggota polisi sebagai tersangka. Mereka adalah Iptu Heru Julianto, Briptu Mifil Rifadas, Brigadir Aang Kaharudin, Briptu Arman, Bripka Emilsyah, Briptu Budi Mulani, dan Aipda Roni Syahroni. Pemeriksaan—meski tanpa uji balistik—membuktikan peluru maut yang menewaskan Eli dan Ina berasal dari laras senjata api milik Briptu Budi Mulani. "Ada jelaga di pistolnya," ujar juru bicara Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Prasetyo. Budi sendiri, katanya, mengakui telah melakukan tembakan peringatan ke udara. Alasannya, ia dan rekan-rekannya berada dalam tekanan massa yang mengejar-ngejar mereka dengan teriakan "rampok". Dugaan sementara, ujar Prasetyo, peluru nyasar itu terjadi karena efek pantul atau rekoset (ricochet). Budi terancam dijerat tuduhan pembunuhan tanpa kesengajaan. Ancaman hukumannya lima tahun, berikut pemecatan sebagai polisi. Enam rekannya ikut terancam hukuman penjara sesuai dengan kesalahannya yang ditemukan dalam pemeriksaan. "Mereka satu tim dan masing-masing bertanggung jawab atas operasi," kata Prasetyo. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 2/2003 tentang Peraturan Disiplin Polisi, ketujuh polisi bisa dikenai sanksi administratif. Itu bisa berupa penundaan kenaikan pangkat, pendidikan, gaji, dan sebagainya. Kepala Unit Reskrim Polres Jakarta Barat bisa ikut terkena sanksi serupa. Menurut Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Andi Chaerudin, salah tembak itu akibat polisi kesempitan waktu untuk berlatih dan meningkatkan sistem kemampuan anggota. "Tugas polisi membeludak. Kita kewalahan, tak ada waktu lagi buat anggota untuk berlatih dan mengasah kemampuan menembak," katanya. Apa pun alasan, dua nyawa telah melayang. Arif A. Kuswardono, TNR

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus