Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Agar Predator Tak Punah Diburu

Di luar negeri, kampanye antikonsumsi sirip hiu gencar dilakukan. Indonesia belum punya aturan untuk membendung laju perburuan hiu, juga tak mau tunduk kepada ketentuan internasional.

1 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

VICTOR Wu meletakkan telepon. Wajahnya riang. Salah seorang anggota tim Program Konservasi Hiu WildAid Singapura ini baru saja mendapat pesanan kartu bertuliskan "No Shark Fin, Thank You." Pemesannya sepasang muda-mudi yang akan melangsungkan pernikahan.

Mengganti sup sirip hiu di pesta-pesta perayaan dengan makanan lain, seperti dilakukan oleh pasangan muda-mudi itu, menurut Wu, amat sering terjadi beberapa bulan terakhir. Kartu-kartu yang dipesan ke WildAid itulah yang kemudian dipasang di meja-meja hidangan. Di dalam kartu, selain pemberitahuan ketiadaan sup sirip hiu, ada informasi singkat tentang alasan tak disajikannya sirip hiu.

Kartu model begitu merupakan bagian dari rangkaian kampanye anti-sirip hiu yang beberapa bulan terakhir digencarkan kembali. Wu pantas berlapang dada. Soalnya, kampanye yang digelar sejak tiga tahun lalu ini mulai membawa hasil. Bentuknya bermacam-macam, dari penggantian sirip hiu dalam perayaan-perayaan hingga penawaran menu pengganti oleh restoran-restoran ketika ada pelanggan yang memesan sirip hiu.

Kampanye yang berjalan lamban di awal itu mampu menyedot perhatian publik. Apalagi setelah beberapa tokoh dunia ikut bergabung, misalnya Peter Benchley, pengarang novel laris Jaws, dan Presiden Taiwan Chen Shui Bian. Tak cuma dalam kata-kata, Chen membuktikannya dalam keseharian. Pada pernikahan putrinya, Chen Hsing Yu, akhir tahun 2001, ia tak menyediakan masakan sirip hiu.

Menurut Wu, kampanye besar-besaran yang digelar WildAid di negara-negara konsumen sirip hiu—Taiwan, Hong Kong, Singapura, Inggris, Italia, Thailand, dan Australia—didasari kenyataan bahwa populasi hiu di seluruh dunia menurun drastis sejak 20 tahun lalu. Penyebabnya adalah permintaan sirip hiu yang meroket. Kecepatan permintaan yang diiringi perburuan hiu besar-besaran tak diimbangi peningkatan populasi predator lincah ini. Soalnya, di alam, pertumbuhan hiu amat lambat. Selain itu, hiu mengalami matang kelamin pada umur yang relatif tinggi serta fekunditasnya rendah. Sifat-sifat biologis seperti ini membuat hiu amat rentan terhadap frekuensi penangkapan yang tinggi.

Jumlah penangkapan yang melangit, menurut Wu, membuat populasi hiu dunia merosot hingga 90 persennya. "Ditandai dengan makin sulitnya nelayan menangkap hiu," Wu memberikan contoh. Nelayan-nelayan di Amerika Tengah saat ini kerap dijumpai memburu hiu ke Pulau Cocos dan Kepulauan Galapagos. "Sesuatu yang tak pernah dilakukan nelayan di sana," ujar Wu.

Untuk Indonesia, Wu menyebut akhir-akhir ini jumlah nelayan Indonesia yang kepergok memasuki perairan Australia untuk mencari hiu makin bertambah. "Ini menjadi indikasi jelas bagaimana hiu di negara Anda makin sukar dicari," ujarnya.

Apa yang dinyatakan Wu dialami benar oleh para nelayan di Pulau Seraya Besar, Nusa Tenggara Timur. Dengan pancing rawai—pancing besar dari baja yang disusun dan dipasang dengan pelampung—menangkap hiu merupakan pekerjaan utama nelayan Seraya Besar.

Rusdin, 43 tahun, ketua kelompok nelayan Seraya Besar, menyebut bahwa setahun terakhir tangkapan hiu menurun. Untuk mendapatkan dua-tiga ekor hiu dalam satu minggu, Rusdin perlu menebar rawai di tempat-tempat yang lebih jauh. Padahal pada tahun-tahun sebelumnya ia kerap menjerat lima hingga tujuh hiu tiap minggu.

Kebingungan Rusdin juga menjadi keprihatinan Manajer Kemitraan Konservasi The Nature Conservancy (TNC), Titayanto Pieter. Sebagai gambaran betapa merosotnya populasi hiu, ia mencontohkan hasil survei TNC, World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia, dan Conservation International (CI) di Kepulauan Raja Empat, Papua, akhir tahun lalu. Dari total 500 jam pengamatan, yang bisa teramati hanya tiga ekor hiu. Padahal Kepulauan Raja Empat merupakan salah satu perairan yang paling kaya di dunia dari segi keanekaragaman hayati.

Pengalaman di lapangan itu, menurut Titayanto, semestinya memberikan peringatan dini bagi pembuat kebijakan untuk mencegah kemerosotan populasi hiu. Soalnya, menurut Titayanto, di dunia perikanan Indonesia mengemuka sikap "There is always the next frontier." "Setelah hiu semakin jarang, para nelayan mulai mengincar pari dan pari manta. Sesudah pari, apa lagi?" ujar Titayanto prihatin.

Toh, bagi nelayan seperti Rusdin dan nelayan Seraya Besar lainnya, amat sulit buat berpaling dari hiu. Soalnya, harganya amat menggiurkan, bervariasi pada rentang antara Rp 270 ribu dan Rp 1 juta tiap kilogramnya. Jadilah perburuan atas hiu jalan terus.

Padahal, menurut Titayanto, ada kenyataan bahwa harga akhir sirip hiu di pasar yang menggerakkan tata niaga dan margin dalam keseluruhan sistem dinikmati paling besar oleh para pedagang, bukan oleh nelayan. Sebagai catatan, di restoran-restoran Singapura, satu mangkuk sup sirip hiu yang berkualitas baik bisa dijual US$ 100 atau sekitar Rp 850 ribu.

Insentif harga itu, menurut Titayanto, hanya memicu pemanenan tanpa memberikan hasil yang seimbang bagi nelayan. Semakin gencar pemanenan, semakin kecil saja total hasil panen yang diperoleh nelayan karena tak ada masa bagi hiu untuk membesar. Kondisi ini membuat nelayan tak punya pilihan selain menangkapi hiu yang belum matang kelamin.

Hebatnya lagi, pemerintah Indonesia belum punya aturan untuk membendung laju perburuan hiu. Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada, tak ada satu pun jenis hiu di Indonesia yang dilindungi—artinya dapat dimanfaatkan sesuai dengan kebijakan yang ada berdasarkan kaidah-kaidah pemanfaatan berkelanjutan.

Sikap Indonesia yang properdagangan sirip hiu, menurut Wu, terlihat pada konferensi ke-12 para pihak yang berkepentingan (COP 12) dalam Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) di Santiago, Cile. Ketika itu, ditetapkan hiu paus (whale shark) masuk dalam Appendix 2 CITES. Artinya, perdagangan internasional hiu harus diatur sesuai dengan ketentuan-ketentuan CITES. Indonesia pada konferensi ini menolak memasukkan hiu paus ke dalam Appendix 2 CITES.

Pemerintah Indonesia, menurut Rokhmin, sudah mengajukan reservasi kepada sekretariat CITES melalui depository country, yakni Swiss. Ini berarti Indonesia dianggap bukan anggota CITES khusus untuk jenis hiu paus. Untuk itu, Indonesia tak tunduk kepada ketentuan-ketentuan CITES dalam perdagangan internasional hiu paus. Kendati begitu, menurut Rokhmin, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap telah mengirimkan surat kepada kepala dinas kelautan dan perikanan provinsi di seluruh Indonesia untuk mengantisipasi beberapa komoditas perikanan yang masuk dalam daftar Appendix CITES.

Padahal, menurut Wu, dukungan politis dari pemerintah terhadap pelarangan perburuan hiu sangat penting. Soalnya, ada aturan pun kerap dilanggar, apalagi tidak ada aturan. "Wilayah perairan Indonesia yang kaya akan menjadi kuburan bagi hiu," Wu mengeluh.

Meski begitu, Wu tak berkecil hati. Jauh-jauh hari ia sudah sadar untuk tak terlalu berharap banyak ada upaya penghentian perburuan hiu dari negara-negara produsen. Soalnya, keadaan ekonomi nelayan di negara penghasil sirip hiu umumnya rendah dan amat bergantung pada sirip hiu yang harganya menggiurkan itu.

Maka, menurut Titayanto, ketika persoalan konservasi hiu belum bisa diharapkan dilakukan di negara produsen, aktivis konservasi berpaling ke negara-negara konsumen. Semangatnya adalah, "Kalau tak ada yang beli, tak akan ada yang mau menjual," ujar Titayanto. Poin ini pula yang dipakai WildAid untuk mengampanyekan pengurangan dan penghentian konsumsi sirip hiu di negara konsumen.

Di Indonesia sendiri, menurut Stephen D. Wattimena, Manajer Program Perikanan WWF Indonesia, pihaknya membuat brosur-brosur kampanye penyadaran publik akan posisi hiu. Brosur-brosur ini disebarkan WWF bagi pencinta makanan laut. "Untuk menggugah kesadaran agar tidak mengonsumsi sirip hiu," ujar Stephen.

Meski masih tergolong baru, kampanye itu, menurut Wu, sudah menunjukkan tanda-tanda menggembirakan. Jika dibandingkan dengan masa 5-10 tahun lalu, kesadaran publik negara konsumen akan ancaman kepunahan hiu sudah jauh lebih maju. Sedangkan buat Indonesia, menurut Titayanto, dalam jangka panjang dibutuhkan dukungan dari tingkat paling atas untuk membuat rencana pengelolaan hiu secara berkelanjutan.

Agus Hidayat, Levianer Silalahi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus