LEMBARAN sejarah mencatat nama Pangeran Souphanouvong sebagai presiden pertama Laos yang mengakhiri kelangsungan Kerajaan Sejuta Gajah berusia 622 tahun, 1975. Ia terpilih untuk jabatan yang bergaji US$ 7 (tujuh dolar) itu dengan menyisihkan saudara tirinya, Pangeran Souvana Phoma. Ia bukan seorang penganut paham komunis walau punya minat pada pemikiran Marxist kala belajar di Paris, 50 tahun lalu. Pekan lalu, siaran Radio Vientiane yang dipantau di Bangkok memberitakan bahwa pangeran berusia 77 tahun itu mengundurkan diri dari jabatannya karena alasan kesehatan -- sesuai dengan dekrit pengunduran dirinya. Menurut pejabat Kedubes Laos di Bangkok, Pangeran Souphanouvong dirawat di rumah sakit sejak 21 Oktober, sepulangnya dari Moskow. Kabarnya, ia terserang tekanan darah tinggi yang sudah lama ada di tubuhnya. Siapa yang akan menggantikannya? Pengumuman Radio Vientiane hanya menyebut bahwa Deputi PM Phoumi Vongvichit telah ditunjuk sebagai penjabat presiden sambil menunggu Partai Komunis Laos (PKL), Pathet Lao, bersidang bulan mendatang. Kabar-kabar tidak resmi yang beredar tampaknya memperkuat dugaan, Kaysone Phomvihane, 61, ketua PKL yang juga menjabat perdana menteri, merupakan calon tunggal untuk meneruskan pekerjaan Pangeran Souphanouvong. Pertanyaan berikutnya: apakah sosialisme separuh hati yang selama ini dianut Laos akan berubah corak? Tidak mudah menjawabnya. Ketimbang dua negara Indocina lainnya, Kamboja dan Vietnam, 3,6 juta penduduk Laos (pendapatan per kapita US$ 90) dapat hidup sedikit tenteram tanpa dilanda pertikaian politik berdarah. Namun, untuk memperbaiki keadaan perekonomian negara tersebut sulit. Kurangnya tenaga ahli (sebelum tahun 1979 saja diperkirakan 14 persen penduduk, atau sekitar 400 ribu, melarikan diri sebagai pengungsi) dan buruknya sarana yang ada aalan Raya 9 yang menuju pelabuhan Da Nang, Vietnam, hanya bisa dipergunakan pada musim kemarau saja merupakan pengganjal. Karena itu, seperti dilaporkan Yuli Ismartono dari TEMPO yang menghadiri Peringatan Hari Nasional ke-10, di Vientiane, Desember tahun lalu, PM Kaysone Phomvihane menegaskan bahwa Repelita II akan ditujukan untuk mengatasi masalah kurangnya tenaga ahli dan memperbaiki sarana. Sekiranya masalah tersebut dapat diatasi, entah kapan, barangkali Laos bisa melepaskan diri dari topangan bantuan asing, yang terutama diperolehnya dari Moskow, US$ 50 juta per tahun. Garis politik luar negeri Laos hampir tidak bisa lepas dari poros Vientiane-Moskow-Hanoi -- kendati dengan Amerika, RRC, dan negara-negara ASEAN, Laos mempunyai jalinan tersendiri. Kekhawatirannya terhadap RRC dan Muangthai (yang dianggap membantu pemberontak sisa penguasa terdahulu) memang telah menghadirkan 50 ribu tentara Vietnam ditambah 5 ribu penasihat militer Rusia di negara itu. Kehadiran tentara Vietnam itu tadinya dimaksudkan sebagai "bala bantuan manakala Vientiane merasa terancam". Namun, Laos sendiri tidak bisa berbuat apa ketika para tamu tersebut justru memakai kesempatan ini sebagai sarana melancarkan agitasi mereka terhadap Muangthai, yang menyebabkan ketegangan antara kedua negara. JRL Laporan: Yuli Ismartono (Bangkok)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini