SELAIN terancam kebangkrutan eko, nomi akibat anjloknya harga minyak dan Perang Teluk yang tak kunjung selesai, Iran tampaknya juga terguncang menghadapi gejolak politik di dalam negeri. Persaingan pengaruh dan rebutan kekuasaan diam-diam di kalangan pemimpin puncak Iran belakangan ini makin seru. Kali ini kubu Ayatullah Hussein Ali Montazeri, calon resmi pengganti Ayatullah Khomeini, yang kena gempur. Mehdi Hashemi, salah seorang pembantu terdekat Montazeri, pertengah an September lalu ditangkap dengan seabrek tuduhan: pembunuhan, penculikan, pemilikan senjata secara tidak sah, penguasaan dan pemalsuan dokumen rahasia pemerintah. Penangkapan atas sejumlah orang dalam satu komplotan yang dituduh dipimpin Hashemi itu baru diungkap media Iran 27 Oktober lalu, sekitar dua minggu setelah penangkapan dilakukan. Khomeini sendiri ternyata yang turun tangan menangani soal ini. Tokoh revolusi Iran ini memberikan wewenang khusus kepada menteri penerangan dan keamanan dalam negeri, Mohammad Mohammadi Reyshahri, untuk menangkap, menyelidiki, dan membawa komplotan itu ke pengadilan. "Lobi dan pernyataan yang dibuat dan diedarkan di bawah berbagai nama yang berbeda oleh kelompok kontrarevolusi yang berkaitan dengan komplotan Hashemi bukan hanya meningkatkan kecurigaan, tapi juga penyebab hadirnya jalur yang menyimpang dari revolusi Islam," kata Khomeini seperti ditulis media cetak di Teheran. Sejumlah pengamat melihat perkembangan terakhir itu sebagai kemenangan kelompok Presiden Ali Khamenei dan Ketua Parlemen Hashemi Rafsanjani, saingan Montazeri. Konon, tak berapa lama setelah penangkapan Hashemi, Montazeri menemui Khomeini mengajukan pengunduran diri dari jabatan yang disandangnya, sebagai calon "Pemandu Revolusi". Tapi langsung ditolak Khomeini. Sejak awal, penunjukan Montazeri sebagai calon pengganti Khomeini oleh 83 anggota "majelis ahli", November tahun lalu, telah mengundang perdebatan. Kabarnya, berbagai pihak di kalangan ulama menentang penunjukan yang lebih banyak diarahkan Khomeini itu. Konon, Montazeri, 63, dianggap tak mempunyai pengetahuan dan pengaruh yang cukup yang amat diperlukan sebagai pemimpin Republik Islam Iran masa datang. Diduga Khomeini memilih Montazeri karena faktor kesetiaan semata. Selain itu, Montazeri juga dianggap kurang berwibawa, sampai-sampai di belakang punggungnya ia sering diejek dengan julukan "si meong" karena ia sering menyeringai. Lagi pula, sikap Montazeri setelah diangkat, kabarnya, mengesalkan pemimpin Iran lainnya. Ia dianggap terlalu kepagian bersikap seperti telah menggantikan Khomeini, lebih-lebih setelah banyak duta besar asing mengunjungi kantornya di Qom. Hashemi konon mengepalai bagian hubungan luar negeri -- dengan gerakan Islam di luar Iran di kantor Montazeri itu. Kelompok oposisi terlarang Iran Mujahidin Khalq menyebut peristiwa penahanan itu sebagai bagian perebutan kekuasaan antara kelompok konservatif dan pihak radikal, terutama berkaitan dengan soal perang dengan Irak. Kelompok Hashemi memang dituduh pemimpin Iran lainnya sebagai pihak yang menginginkan perang dihentikan. Padahal, "perang sampai menang" merupakan garis yang ditetapkan Khomeini yang tak bisa ditawar lagi. Perekonomian Iran sendiri semakin runyam. Scrangan Irak atas instalasi minyak Iran, yang belakangan semakin gencar, menyebabkan produksi menurun sampai 600 ribu barel per hari. Penjatahan BBM diberlakukan kembali. Kebutuhan pokok pun belakangan ini mulai langka didapat di Iran. Kabarnya, terjadi juga sistem catu untuk roti, daging, susu, dan beras. Pengamat asing di Teheran kini menyebut-nyebut Hashemi Rafsanjani sebagai calon pengganti Montazeri. Selain karena Rafsanjani lebih berwibawa, juga karena ialah tokoh yang kelihatan paling berambisi. Tapi hal ini langsung dibantah oleh Rafsanjani akhir Oktober lalu. Farida Senjajs
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini