DIKABARKAN, kelompok At Takfir wal Hijrah bersangkutpaut dengan
pembunuhan Presiden Sadat. Memang, sebegitu jauh hanya
disimpulkan bahwa makar ini bersifat dendam pribadi. Letnan
Khalid Al Istanbuli pelaku utama, melepaskan sakit hati umuk
saudaranya yang turut ditangkap pemerintah--dalam operasi
penahanan besar-besaran yang meliputi jumlah 1.536 orang.
Saudara si letnan itu seorang aktivis kelompok ekstrim Islam At
Takfir wal Hijrah (Pengingkaran dan Perubahan Total). Dan
penangkapan massal bulan kemarin itu (TEMPO 19 September, Agama)
memang antara lain berarti pembersihan seluruh anasir ekstrim
agama. Bahkan dikatakan melumpuhkan--untuk kesekian
kalinya--kekuatan Ikhwanul Muslimun.
Takfir, kelompok ekstrim itu, memang sering dianggap bcrada
dalam rumpun Ikhwanul Muslimun. Ia, yang di tahun 1977 diketahui
menculik dan membunuh menteri wakaf waktu itu (menteri agama di
sini), dan di tahun 1974 menyerang sebuah akademi militer dan
merebut senjata, sering dianggap "sayap keras Ikhwan". Sedang
organisasi Jamaah Islamiyah, yang oleh Presiden Sadat dihidupkan
untuk mengakomodasi bekas keluarga besar Ikhwan--dan dipimpin
oleh Syekh Ali Hamid (yang disebut "teman Sadat"), seakan
merupakan proyek pemerintah alias golongan lunak.
Semua memang bisa dihubungkan dengan Ikhhwanul Muslimun, bila
nama itu sekedar dipakai untuk menandai satu subkultur -- yang
sudah berkembang jauh dengan segala variasi dan perubahannya,
sejak organisasinya didirikan oleh Imam Hasan Al Bamna, di kota
kecil Isma'iliah di tahun 1928.
Ikhwanul Muslimun memang sebuah tonggak. Didirikan sebagai
sebuah jam'iyah, perkumpulan keagamaan, ia dengan cepat
berkembang bukan saja di seluruh Mesir, melainkan juga di hampir
segenap negeri Tirnur Tengah. Fungsi politik gerakan ini memang
agaknya yang paling mudah terlihat. Padahal tak kurang besarnya
adalah fungsi pembukaan pikiran keagamaan (meski keduanya
memang satu, atau topang-menopang) lewat berbagai kitab,
risalah maupun media lain.
Di Indonesia misalnya, dua kitab sangat populer. Pertama tafsir
Fi Zhilalil Quran (Di Bawah Bayang-Bayang Al Quran), yang
diarggap tafsir besar sesudah Al Manar oleh para pembaru Idam
Muhammad Abh dan Rasyid Ridha. an kedua Fiqus Sunnah, yang
men bahas fiqh ernpat mazhab dan sampai sekarang tetap dipakai
baik di pesantren maupun madrasah kita. Dua-duanya buah tangan
Seyd Quthb. Dan Seyd Quthb adalah uama Ikhwan yang, ketika
situasi politik sudah berubah, dibunuh Garnal Abdul Nasser di
tahun 1964-setahun sebelum digantungnya ulama yang lain, Abdul
Qadir Audhah.
Dan betapa besar pengaruh Ikhwan di dunia muslim, terlihat dari
reaksi berbagai negara atas penghukuman itu yang mengenai tak
kurang dari enam ulama besar dan ribuan orang yang ditembak atau
dijebloskan ke tahanan. Bahkan menurut koran Al Hayat, Beirut,
penghukuman itulah yang membikin tegang hubungan Mesir dan Sudan
di bawah pemerintah Azhari.
Itu menunjukkan bahwa Ikhwanul Muslimun bukan sekedar "kelompok
ekstrim". Dan memang ia didirikan dengan harapan menjadi
pengatrol kebangkitan Islam yang menyeIuruh. Di mana-mana mereka
membuat sekolah, memajukan berbagai industri kecil, klinik dan
rumah sakit. Juga mencapai golongan intelektual--dan akhirnya
gelombang besar mahasiswa. Bahkan yang termasuk digantung Nasser
tahun 1965 adalah Al Asmawi, ahli fisika inti yang merencanakan
reaktor nuklir Mesir seperti yang diperintahkan Nasser. Ia murid
Seyd Quthb.
Dan inilah memang salah satu hal yang menjadi ciri khas Ikhwanul
Muslimun: tidak begitu lama setelah jam'iyak ini berdiri, mereka
membuka pusat-pusat latihan fisik atau kemiliteran. Ini memang
didasarkan pada konsep kehidupan agama yang total, termasuk ke
dalamnya prinsip jihad dalam arti perang. Relevansinya pun
terlihat di zaman itu sebagai (sambil mendukung semangat
Jamaluddin Al Afghani, pembangkit dunia Islam abad lalu) alat
perlawanan terhadap penjajah di masingmasing negeri Islam.
Kebencian mereka kepada Barat di atas segala-galanya.
Lebih-lebih Inggris, penjajah negeri mereka -- lewat Fuad, dan
kemudian Farouk, sebagai raja-raja boneka.
Perlawanan mereka yang berarti adalah juga terhadap pendudukan
Palestina oleh Yahudi dan pembentukan Israel. Milisi umum yang
dilaksanakan di tahun 1948 itu merupakan ajang besar peruma bagi
pencapaian keinginan mati syahid -- doktrin yang ditekankan sang
imam sendiri sejak semula. Ini diulang lagi dalam perang 1973 di
bawah Sadat, walau organisasi resmi mereka sudah tiada.
MENARIK, bahwa di antara para instruktur yang melatih----warga
Ikhwan dahulu tak lainù Nasserdan Sadat sendiri. Bahkan
orang-orang tua masih bisa mengingat betapa Sadat dan Nasser
dengan menunduk mendengarkan pengajian Imam Hasan Al Banna, di
kantor Ikhwan di Hilmiyah al Jadidah, Kairo. Malahan, sesudah
Mesir resmi menjadi republik, di antara yang pertama dilakukan
Nasser dan Sadat adalah mengunjungi makam Hasan Al Banna. Imam
itu sendiri dibunuh kaki tangan Raja Farouk, 12 Februari
1949--dua bulan setelah pembunuhan PM Nuqrashi Pasha yang
didakwakan dilakukan orang Ikhwan.
Bagi Farouk sendiri, Ikhwan memang ancaman serius, Setidaknya di
tahun-tahun akhir pemerintahan raja yang suka foya-foya itu,
menurut Syeikh Yusuf al Qardhawi--tokoh Ikhwan yang menyingkir
ke Abu Dhabi--dalam bukunya At Tarbiatul Islamiyah wa Madrasatu
Hasan Al Banna, ada pertemuan wakil-wakil Inggris, AS dan
Prancis--yang kemudian meminta kepada Raja agar melarang
perkumpulan para "ulama politik" itu.
Naiknya Jenderal Muhammad Najib, dan kemudian Nasser di tahun
1952, membawa berbagai perubahan yang cepat. Yang dilakukan
Nasser pertama kali adalah membubarkan semua partai. Kecuali
Ikhwanul Muslimun, yang bukan partai.
Tetapi cukup menarik penuturan wartawan Roger Faligot kepada The
Mdle East--tentang adanya peranan CIA dalam perlawanan terhadap
Ikhwan. Allen Dulles, Direktur CIA, dengan meminta bantuan
Gehlen--dari dinas rahasia Jerman, dan bekas Nazi-menggerakkan
perutusan yang dipimpin Farnbacher, bekas jenderal Waffen SS, ke
Kairo. Mereka menawarkan dan kemudian membantu mengorganisad
dinas rahasia Mesir. "Organisasi spionase ini dirancang melawan
Ikhwanul Muslimin, dan membentuk tim sabotase menghadapi
Israel," tulis Faligot.
Januari 1954 muncul keriuhan besar di kalangan mahasiswa--dan
Ikhwanul hluslimin dinilai berdiri dibelakangnya. Ikhwan
kemudian dilarang, Nasser sendiri dinilai oleh para ulama
lawannya sebagai "menyebal dari Islam".
Baik waktu itu maupun lebih-lebih kemudian, pemerintahan Nasser
banyak disusupi "musuh Islam". Yang terakhir itu membentuk
semacam 'dapur'--bagian dari lapisan intelektuil yang bekea
secara terselubung, dan konon sangat didengarkan sang
presiden--terdiri dari campuran non-Islam dan nonpribumi. Yakni:
Koptik dan Armenia--dua-duanya Nasrani. Labib Syuqair, misalnya,
hanyalah contoh paling menonjol dari minoritas Koptik yang
bahkan pernah jadi ketua Parlemen, ketua Dewan Perancang
Nasional dan Sekjen partai Nasser. Koptik yang lain, Musa
Shabri, jugawartawan yang paling didengarkan Nasser--barangkali
lebih dari Hasanain Haikal.
Maka terjadilah percobaan pembunuhan Nasser di Iskandariah, 26
Oktober 1954. Dan ketahuan Mahmud Abdul Latif, penembak sang
presiden adalah anggota 'organ rahasia' Ikhwanul Muslimun. Lewat
pengusutan di pengadilan diumumkan jumlah anggota organ
ini--meski tetap tak jelas 400 orang (dengan 70 orang 'pemimpin
sel'), atau 3.000 orang, atau 10.000. Yang berada di angkatan
kepolisian dihitung 19 perwira. Di angkatan lain tidak
terjumlah.
Hasan Ismail Hudaibi, pewaris kepemimpinan Ikhwan sepeninggal Al
Banna, terpojok dan sekaligus terkesima. Dalam suratnya kepada
Nasser ia berjani akan membereskan organ itu dan menyerahkan
semua senjata dalam waktu 15 hari--dengan beberapa syarat,
antara lain penglepasan para tahanan. Berarti ia mengakui. Tapi
Nasser tak ambil pusing. Bahkan akhirnya para ulama ditembak
atau diantun. Hudaibi sendiri dia jebloskan ke penjara.
Yang terjadi sebenarnya ialah, seperti dikatakan penulis buku
Ikhwanul Muslimun, Ishak Musa al-Husaini, lepasnya
kontrol--akibat menggelembungnya organisasi dengan jutaan
warga--plus kepemimpinan yang kendur. Tapi eksistensi organ
rahasia itu sendiri dipertentangkan: benarkah ia dahulu dimaksud
oleh Imam Al Banna, sang pendiri. Dan kalau ya, apa sasaran yang
dipersiapkan. Sebab banyak ulama mereka sendiri mengutuk
kekerasan seperti itu.
Yang jelas, seperti juga dikatakan al Husaini, betapapun
Ikhwanul Muslimun sebenarnya tak punya konsep yang jelas tentang
apa persisnya yang mereka tuju.
Proses peradilan yang bertahun-tahun itu membuktikan berbagai
kontradiksi - misalnya dalam menjawab apakah suatu lembaga atau
bentuk hukum yang dipraktekkan di Mesir Islami ataukah tidak.
Dan kebingungan, setiddknya bagi orang luar, memang boleh
berlanjut. Nasser, Januari 1956, sebenarnya sudah mengumumkan
konstitusi yang menjadikan Mesir Negara Arab Islam di bawah satu
partai --yakni Uni Sosialis Arab. Taruhlah Islam di situ hanya
nama, tapi yang diperbuat Sadat--yang "jauh lebih Islam"
dibanding pendahulunya-sebenarnya sudah lebih maju. Jamaah Islam
itu misalnya -- yang disuruhnya bentuk untuk wadah bekas
keluarga besar Ikhwanul, sebagai konsesi.
Juga apa yang di zaman Nasser dikenal sebagai "dapur Kristen dan
nonpri" tiak terdengar lagi. Minoritas Kristen malahan tinggal
menduduki jabatan-jabatan kecil seperti--yang sekarang-Menteri
Negara Urusan Luar Negeri (bukan Menlu), Butrosy (Petrus Ghali.
Atau anggota Parlemen biasa, seperti Ibrahim Faraj.
Untuk itu Sadat sudah meriskir ketidaksukaan golongan Koptik -
yang lalu memilih tokoh keras Shenouda III sebagai paus mereka.
Dan sejak Shenouda inilah Koptik dinilai lebih "bersemangat".
Dalam satu konperensi, misalnya, menurut mingguan Kuwait, AI
Balagh, diputuskan tidak hanya lebih menggencarkan usaha
penginjilan. Melainkan juga melarang KB bagi anggota jamaah.
Maka terbukalah kembali persaingan keras yang boleh dihitung
sejak 1882, saat Inggris masuk Mesir. Semangat yang pernah
disuarakan tokoh Kristen dan ditulis di koran Al Jaridah
misalnya, organ Partai Nasionalis, diingat kembali kaum Koptik
-- seperti juga kecenderungan umat Kristen Libanon--tak suka
digolongkan ke dalam kelompok Arab yang diidentikkan dengan
Islam itu.
Tetapi Sadat masih berbuat yang lain lagi, dua tahun lalu.
Parlemen, di bawah wibawanya, memutuskan menerirna Syari'at
Islam sebagai dasar undang-undang. Keributan memang terjadi di
kalangan intelektuil--khususnya Koptik. Bukan saja rasa moral
mereka mengkhawatirkan diberlakukannya bentuk-bentuk hukum
seperti potong tangan atau rajam. Tapi juga karena kemungkinan
adanya ancaman hukuman mati bagi mereka yang berpindah agama.
Untuk itu Parlemen membentuk komisi yang dipimpin ketuanya
sendiri, Sufi Abu Thalib. Dan komisi itu tertunda-tunda-sampai
kini. Itulah agaknya, ditambah perjanjian Camp David yang tak
pernah disukai khususnya oleh kalangan Islarn keras, yang boleh
dianggap sebagai bayang-bayang di belakang gugurnya 'sang
pahlawan perdamaian'.
Tetapi keterlibatan Ikhwanul Muslimun? Mana ada organisasi itu
lagi-resminya? Kelompok frustrasi, atau jagoan-jagoan kecil,
memang bisa tumbuh bila tanah memungkinkan--di samping para
pemimpi. Tetapi seperti kata ulama Ikhwan tadi, Syekh Yusuf
Qardhawi, berlalunya waktu lebih setengah abad-sejak 1928
--bukanlah soal kecil. Ketentuan telah banyak berubah, katanya,
pemikiran baru bermunculan dan nilai-nilai telah mengalami
pergeseran -- di Mesir dan dunia seluruhnya. "Tidaklah masuk
akal setiap yang lama akan tetap menuruti keadaannya semula, di
tengah dunia yang bergerak dengan cepat."
Benar. Dan Sadat pun rubuh bersimbah darah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini