MESIR telah kehilangan lagi putra terbaiknya," kata Husni
Mubarak di hari pemakaman Anwar Sadat. Mubarak tak berlebihan.
Sadat memang salah seorang putra utama Mesir di abad ini. Dalam
beberapa hal ia bahkan lebih besar dari pada
pendahulunya--almarhum Gamal Abdul Nasser. Sadat adalah arsitek
perang 1973. Perang ini dianggap sebagai awal kebangkitan
kembali Angkatan Bersenjata Mesir setelah dipukul hancur Israel
di tahun 1967.
Tak hanya itu, Sadat juga otak perdanaian bagi negerinya. Di
tahun 1977 Salat terbang ke Jerusalem, kota suci yang terletak
di wilayah Israel, melakukan ontak damai dengan negeri yang
menadi musuh bebuyutan bangsa Arab selama 30 tahun itu. Walau
kemudian Mesir dikucilkan dari lingkungan pergaulan negara
Timur Tengah, ia tak peduli. "Apa yang saya lakukan adalah
pilihan terbaik untuk Mesir," kata Sadat.
Damai dengan Israel memang mengutungkan Mesir. Ekonominya yang
porak poranda akibat perang berangsur membaik kembali. Jika
dulu semua ban pokok harus dicatu, dan berlaku untuk semua
lapisan masyarakat, sekarang bagian telah bisa diperoleh dengan
sudah di pasar bebas. "Mesir tidak akan pernah lagi punya orang
seperti Sadat," ujar pegawai pemerintah Samir Bikheit.
Anwar Sadat lahir 25 Desember 1918, dari perkawinan campuran
-avah Mesir dan ibu Sudan -- dan tumbuh di lingkungan petani
muslim miskin di desa Mit Abul Kom. Waktu tinggal di Toukh, tak
jauh dari desanya, Sadat sekolah di perguruan Kristen Koptik.
Tapi ia tak pernah terpengaruh. Sadat teup Islam Tahun 1930,
keluarga Sadat pindah ke Kairo. Ia mulai tertarik menjadi
tentara. Tahun 1938, Sadat menamatkan pendidikan di Akademi
Militer dan menyandang pangkat Letnan 11. Selang enam tahun ia
telah menjadi tokoh ketiga dalam Gerakan Perwira Bebas (GPB)
sesudah Nasser dan Zakaria Muhiddin.
Karir Sadat di militer ternyata tak lancar. Ia dipecat (1946)
dari tentara dan dipenjarakan, karena terlibat dalam pemogokan
30.000 buruh tekstil di El Mahalla. Nasser waktu itu bertugas di
Palestina--daerah Israel sekarang. Sadat sebelumnya, tahun 1943,
juga pernah ditahan karena aktivitasnya dalam masalah sosial.
Setelah Nasser kembali dari Palestina (1950), Sadat
direhabilitasi oleh kawannya di GPB. Bertugas kemudian di Rafah
di Gurun Sinai, ia sekaligus menjadi penghubung GPB dengan grup
pemberontak sipil Arab -- kedua oranisasi bawah tanah ini
bercita-cita menjadikan Mesir sebagai republik. Sadat berhasil.
Ketika Nasser merasa gerakannya sudah cukup matang untuk
menggulingkan Raja Earouk, para perwira GPB lalu dihimpunnya di
Kairo. Sadat dipanil dari Rafah. Tapi sewaktu sampai di
ibukota, beberapa jam sebelum kudeta, Sadat tak berhasil menemui
Nasser maupun mendapatkan petunjuk lain. Ia lalu memutuskan
pergi ke rumah jandanya-namanya tak disebutkan--dan mengajak
ketiga putrinya menonton film.
Ke luar dari bioskop, sesampai di rumah bekas istrinya, Sadat
mendapat kabar GPB telah melakukan kudeta. Ia lalu menuju markas
besar tentara di Kairo. Lagi-lagi ia terlambat. GB telah
melakukan pembersihan terhadap jenderal pendukung Farouk.
Revolusi telah berjalan tanpa Sadat.
Tapi Nasser tak meninggalkan Sadat begitu saja. Ia ingin Sadat
juga punya andil. Lalu diperintahkannya Sadat untuk
memberitahukan rakyat. Tanggal 23 Juli 1952 pagi, Sadat
berbicara di corong radio Mesir bahwa GPB telah mengambilalih
kekuasaan dari tangan Farouk. Tak heran jika di awal tahun
1950-an itu Sadat tak menonjol.
Sadat baru berperan sewaktu GPB menggulingkan Mayor Jenderal
Mohammad Najib--tokoh tua yang diangkat GPB menjadi perdana
menteri--tahun 1959. Toh porsinya tetap kecil. Otak GPB tetap
Nasser. Sadat, setelah Nasser di tahun 1956 terpilih menjadi
presiden, cuma diserahi jabatan direktur penerangan Angkatan
Darat. Nasser meragu kan kepemimpinannya. Sadat baru dipercayai
Nasser menjadi orang kedua, wakil presiden, di tahun 1968.
Karir Sadat tetap di bawah bayangbayang Nasser sampai akhir
1969. Ia mulai menonjol, dan diperhitungkan orang, sewaktu
Nasser terserang sakit jantung. Ketika Nasser wafat, setahun
kemudian, Sadat otomatis menjadi penjabat presiden. Tapi
kemampuannya tetap diragukan rakyat. "Siapa saja boleh menjadi
presiden, asal bukan Sadat," kata ketua Parlemen waktu itu, Dr.
Labib Shukeir. Tapi referendum dua bulan kemudian memberikan
kepercayaan kepada Sadat.
Dan ia mengejutkan dunia. Tahun 1972, Sadat mengusir 17.000
warga Soviet yang semula diminu Nasser untuk membantu Mesir
menghadapi Israel. Perinciannya: 12.000 tentara yang melayani
peluru kendali dan senjata berat lainnya, 4.000 lainnya bertugas
sebagai penasihat d pasukan Mesir, dan sisanya menerbangkan
pesawat pemburu Mesir.
Di bidang ekonomi Sadat juga melakukan penyehatan. Ia
meninggalkan sistem sosialis yang dicanangkan Nasser. Sadat
menempuh jalan kapitalis. Dua bulan setelah berkuasa Sadat
menghapuskan penyitaan negara aus milik swasta. Ia juga
menghidupkan kembali pintu perdagangan lewat Terusan Suez.
Langkah Sadat lainnya yang luar biasa ialah melancarkan perang
dengan Israel. Padahal dalam tahun 1973 itu moral tentara Mesir
sudah merosot sekali. Banyak orang menyebut tindakan itu sebagai
"bunuh diri". Sadat membuktikan lain. Mesir menang. Sadat pun
menjadi pahlawan yang dipuja-puja.
Masih ada kejutan baru. "Saya bersedia pergi ke ujung dunia,
tidak terkecuali ke Israel, bila itu memang perlu untuk
menyelamatkan jiwa tentara Mesir dari perang yang sia-sia," kata
Sadat di Parlemen Mesir. Para menterinya, tokoh Organisasi
Pembebasan Palestina Yasser Arafat, bahkan dunia hampir tak
percaya.
Tapi Sadat sungguh pergi ke Israel di tahun 1977. Dan tak
percuma. Hasilnya Isreal secara berangsur menyerahkan kembali
Gurun Sinai, yang didudukinya sejak tahun 1967, kepada Mesir.
Seluruh wilayah itu, berdasarkan perjanjian (1979) Camp David,
sudah akan dikembalikan April 1982. PM Israel Menachem Begin,
seusai pertemuannya dengan Mubarak di Kairo pekan lalu, memberi
jaminan bahwa persetujuan yang telah ditekennya bersama Sadat
dan disaksikan Presiden AS waktu itu Jimmy Carter, tak akan
berubah.
Terakhir Sadat mencurahkan perhatian terhadap masalah Palestina.
Ia mengajukan usul agar 1,2 juta orang Palestina yang mendiami
tepi barat Sungai Jordan dan Jalur Gaza, daerah yang masih
diduduki Israel, diberi otonomi. Tapi usaha Sadat itu ditentang
oleh orang Palestina maupun orang Arab lainnya terutama Suriah
dan Irak.
Dengan tindakan tahun 1977 itu Sadat terpilih sebagai Man of The
Year dari Majalah Time. Dan tahun berikutnya terpilih pula ia
sebagai pemenang Hadiah Nobel untuk Perdamaian bersama Begin.
Hadiah sebesar US$ 164.000 yang menjadi hak Sadat kemudian
disumbangkan untuk pembangunan Desa Mit Abul Kum.
Tapi di mata Dunia Arab langkah Sadat itu tidak populer sama
sekali. Mesir dikucilkan di Timur Tengah. Ketua Majelis Umum PBB
Ismat Kittani dari Irak bahkan sama sekali tidak mengisi buku
belasungkawa yang disediakan perwakilan Mesir. Dalam upacara
pemakaman Sadat juga tak hadir wakil Timur Tengah, kecuali
Maroko dan Sudan. Bahkan mereka bergembira, seperti kelihatan di
Beirut dan Tripoli. "Fajar telah menyingsing di Mesir," kata
Arafat. Ia berharap pengganti Sadat akan bersikap keras
terh'adap Israel.
Di dalam negeri Mesir, kaum oposisi masih bersifat menunggu.
Pemimpin oposisi Jenderal Saadeddin Shazli, kini berada di
Libya, menyatakan ia bersedia "memberikan kesempatan" kepada
Mubarak menggantikan Sadat, asalkan Mubarak tidak mengikuti
jejak Sadat. "Bila Mubarak melanjutkan politik pendahulunya,
kekerasan akan berlanjut," kata Shazli kepada wartawan Le Matin
de Paris. Shazli dibuang Sadat ke luar negeri gara-gara
menentang politik perdamaiannya.
Menurut konstitusi Mesir, Mubarak baru sah menjadi presiden
setelah mendapat dukungan di parlemen dan referendum. Dukungan
parlemen pekan lalu diperolehnya. Referendum (13 Oktober) hampir
pasti dimenangkannya, calon tunggal.
Shazli tak akan berhenti menentang tampaknya, sementara situasi
di Mesir tampak tidak akan berubah secara drastis. Mubarak sudah
menegaskan bahwa garis politik Sadat dalam mengusahakan
perdamaian kekal dengan Israel dan bersekutu dengan AS akan
dilanjutkannya.
Uni Soviet tak banyak berkomentar terhadap kematian Sadat.
Pengamat politik memperkirakan Kremlin pasti merasa lega. Adalah
pimpinan Soviet yang menuduh Sadat sebagai boneka Amerika di
Timur Tengah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini